Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

People Power, Sebuah Kemunduran Demokrasi?

18 Mei 2019   20:05 Diperbarui: 18 Mei 2019   20:12 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
People Power 1998 Akankah Terulang? (sumber: kompas.com)

Gerakan People Power kembali mengemuka dalam beberapa hari terakhir ini, ketika hasil real count KPU semakin jelas menunjukkan kemenangan paslon 01 atas paslon 02. Ketidakpuasan paslon 02 beserta pendukungnya dengan terus menerus menggaungkan kecurangan dalam pilpres berujung pada rencana pengerahan massa tanggal 21-22 Mei 2019 untuk 'memaksa' KPU memenangkan paslon 02 bagaimanapun caranya.

Gerakan ini memang bukan hal baru di Indonesia. Sejarah pernah mencatat perjuangan rakyat yang dimotori mahasiswa tahun 1966 untuk menentang PKI sekaligus membidani orde baru, yang ternyata juga melahirkan rezim semi otoriter. Tahun 1974 terjadi peristiwa Malari yang juga merupakan gerakan mahasiswa untuk menentang rezim orde baru saat itu yang ternyata korup dan berusaha melanggengkan kekuasaan mereka. Namun upaya tersebut gagal karena kuatnya rezim saat itu.

24 tahun berlalu, diawali krisis moneter yang melanda negara-negara di Asia termasuk Indonesia, kondisi ekonomi memburuk dan pemerintah tak mampu mengendalikan kejatuhan kurs Rupiah yang berakibat pada mahalnya harga-harga saat itu. Memburuknya ekonomi membuat rakyat kembali bergerak dan dimotori mahasiswa akhirnya berhasil menumbangkan rezim semi otoriter tersebut serta melahirkan orde reformasi yang membuka lebar-lebar pintu demokrasi.

Di beberapa negara, people power biasanya digunakan untuk menumbangkan rezim yang otoriter, seperti pernah terjadi di Filipina, Cekoslowakia, beberapa negara Arab seperti Tunisia, Lybia, Mesir, dan Yaman, dan atau disertai dengan krisis ekonomi seperti di Indonesia dan Venezuela. Sebagian berakhir damai, sebagian berakhir dengan pertumpahan darah, bahkan hingga pemisahan negara seperti Ceko dan Slowakia, Serbia dengan Montenegro, dan menyusul Kosovo.

Namun di era demokrasi yang sudah lebih terbuka sekarang ini, apakah masih relevan menggunakan people power untuk menyalurkan ketidakpuasan terhadap hasil pemilu. Sekarang kita sudah jauh lebih bebas menyuarakan pendapat, bahkan cenderung kebablasan seperti tersebarnya hoax sehingga perlu dikendalikan. Saluran legalnya juga sudah disediakan dengan adanya lembaga Bawaslu yang bertugas menjadi wasit dalam pemilu, dan MK sebagai hakim dalam menentukan sah tidaknya hasil pemilu.

Kalau kita sudah tidak percaya lagi kepada lembaga yang legal untuk menyalurkan ketidakpuasan terhadap hasil pemilu, apakah rakyat harus dikorbankan demi memuaskan pihak-pihak yang kalah bertarung dalam pemilu. Sebaiknya kita perlu merenungkan kembali apa sih tujuan kita bernegara, tinggal dalam satu negara, kalau masih ada pihak yang memaksakan kehendak untuk berkuasa walau secara formal jelas kalah dalam pemilu.

Kecurangan yang menjadi dasar ketidakpuasan sudah seharusnya dibuktikan secara formal melalui mekanisme pengaduan ke Bawaslu dan bisa ditindaklanjuti di MK, bukan sekedar diteriakkan di medsos. Lagipula, butuh pembuktian yang tidak sedikit, minimal separuh plus satu dari selisih suara antar kedua paslon yang dianggap curang sehingga mampu mengubah hasil pemilu.

Kita harus mempercayai lembaga formal karena itulah institusi resmi yang diakui negara untuk menjadi wasit, terlepas dari adanya kemungkinan penyalahgunaan wewenang dalam lembaga tersebut. Toh penyalahgunaan wewenang juga bisa dilaporkan kepada pihak berwajib selama ada bukti kuat.

Kalau setiap orang yang kalah atau tidak puas lalu mengerahkan massa untuk memaksakan kehendak, buat apa ada demokrasi. Kita takkan pernah menjadi dewasa dalam berdemokrasi kalau tidak pernah siap untuk kalah. Ketika negara lain sudah memikirkan untuk hidup di luar angkasa, kita masih terkungkung untuk memaksakan kehendak berkuasa. Tentu ini sebuah kemunduran dalam berdemokrasi bila kita terus menerus seperti ini.

Apakah kita ingin seperti Cekoslowakia yang terpisah karena perbedaan etnis, keyakinan dan gaya hidup, bangsa Ceko lebih dekat pada etnis Jerman, beragama Protestan, serta lebih serius dan pekerja keras, sementara bangsa Slowakia gaya hidupnya benar-benar slow, santai, dan cenderung religius, beragama Katolik, serta lebih dekat ke etnis Magyar/Hongaria. Memang pemisahan berjalan damai, tapi tetap saja menyakitkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun