Demokrasi dan  fair play adalah budaya asing yang kurang cocok dengan iklim tropis negeri ini. Demokrasi lebih menonjolkan kemampuan individual, kompetisi yang keras, dan keharusan bermain sesuai aturan alias fair play tanpa ada kompromi.Â
Bangsa kita yang terbiasa gotong royong, kolaborasi, 'dipaksa' untuk berkompetisi satu sama lainnya. Akhirnya muncullah berbagai 'kecurangan' untuk menggapai "kemenangan", ditambah rasa gengsi yang tinggi membuat orang mudah sikut sana sikut sini tanpa peduli aturan atau etika yang berlaku.
Cuaca panas iklim tropis sangat mudah membuat orang terbakar emosinya sehingga muncullah budaya gotong royong dan kolaborasi untuk mendinginkan suasana. Demokrassi lebih cocok di negeri empat musim karena ada saat untuk mendinginkan suasana di musim salju, dan kembali menghangat untuk berkompetisi kembali di musim panas.
Jadi untuk rekonsiliasi kembali pasca pemilu, hidupkan kembali budaya kolaborasi dengan nangkring bersama di warung kopi antara cebong dan kampret. Lupakan persaingan yang telah usai sambil menanti pengumuman KPU.Â
Ke depan, mungkin proses pemilihan presiden tidak lagi dilakukan secara kompetisi langsung, tapi dengan gotong royong melalui perwakilan yang nongkrong di gedung DPR. Mungkin ini sebuah kemunduran, namun untuk beberapa waktu ke depan lebih baik mundur selangkah daripada memaksakan diri berkompetisi tapi yang terjadi malah polarisasi bangsa.
Di Asia, negara yang murni melaksanakan demokrasi justru lebih sering rusuh dan terkotak-kotak ketimbang semi demokrasi seperti Malaysia, Thailand, Singapura, Jepang, Korsel, atau malah demokrasi terpimpin (istilah lain dari semi otoriter) seperti Tiongkok dan Korut.Â
Lihatlah India, Pakistan, Sri Lanka, Filipina, Bangladesh, semua melaksanakan demokrasi namun sering terjadi kerusuhan baik antar etnis maupun golongan.
Suka atau tak suka, bangsa kita memang (belum) sepenuhnya siap untuk berkompetisi. Kompetisi malah membuat kita terpecah belah karena gengsi yang terlalu tinggi.