Ada pemandangan berbeda ketika saya mendarat di bandara Soetta dua kali dalam sebulan ini. Biasanya antrian taksi, apalagi si biru favorit bisa sampai satu hingga satu setengah jam.
Namun kali ini cuma ngantre lima taksi saja, itupun langsung dapat, bahkan taksi non-biru malah tampak menanti penumpang.
Hari ini malah langsung dapat taksi biru tanpa antrian, dan semakin sedih menatap taksi lainnya yang pasrah bagai menunggu godot.
"Saya sudah dua jam ngantri biar dapat penumpang mas," keluh supir taksi ketika menjawab pertanyaan saya yang tumben bisa dapat taksi cepat. "Ini masih untung, kemarin malah sampai empat jam nangkring," tambahnya.
"Gara-gara tiket naik ya mas?" tanya saya kembali.
"Enggak tau juga. Tapi sejak 25 Desember tahun lalu sampai sekarang penumpang semakin turun."
Hmmm, kalau lihat tanggalnya, memang benar sih, keluhan tiket naik dimulai dari akhir tahun, hanya orang masih maklum karena libur panjang harga tiket pasti mahal.
Tapi kalau keterusan begini itu yang aneh, sudah hampir dua bulan harga tiket masih setia meninggi.
Kalau bicara hukum ekonomi, seharusnya harga tiket turun karena permintaan menurun, dan untuk menarik minat agar orang mau bepergian naik pesawat seharusnya ada diskon di awal tahun.
Awalnya pajak bandara menjadi tertuduh karena dianggap paling mahal di Asia Tenggara, padahal sudah beberapa tahun tidak mengalami kenaikan.
Lalu kambing hitamnya pindah ke avtur, tapi setelah harga avtur turun koq harga tiket masih tetap bertengger di batas atas. Lha, kalau begini, siapa lagi kambing hitam berikutnya?