Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cinta Tak Harus Ingin Memiliki

7 Mei 2018   11:54 Diperbarui: 7 Mei 2018   15:53 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Tribunnews.com

Rasa ingin memiliki memang sudah menjadi fitrah manusia, apalagi kalau sudah cinta mati. Kalau sudah mencintai rasanya ingin segera memiliki, dan kalau sudah memiliki rasanya tidak ingin melepas barang sedetik pun, kalau perlu tambah lagi koleksinya. 

Kita belum terbiasa untuk sekedar samen leven atau meminjam sementara sesuai kebutuhan saja. Apapun yang dicintai rasanya ingin segera dimiliki selama bisa dibeli dan punya duit, termasuk rumah dan kendaraan pribadi, bahkan pasangan sekalipun.

Tapi sadar atau tidak rasa ingin memiliki tersebut membuat jalanan semakin penuh dan harga tanah semakin mahal. Bayangkan bila setiap hari keluar 500 kendaraan baru, dikali 365 hari berarti ada sekitar 182.500 kendaraan baru per tahun! 

Itu tidak termasuk kendaraan lama yang masih beredar dan tidak dibatasi tahun edarnya. Padahal pertumbuhan jalan raya tak lebih dari 4% per tahun. Jadi bisa dibayangkan jalanan menjadi parkir mobil karena semua kendaraan beredar pada hari yang sama.

Demikian pula dengan rumah, apalagi yang berbentuk tapak alias landed house. Kalau setiap hari laku 100 unit rumah saja dengan ukuran rata-rata 60 meter persegi, bisa dibayangkan dalam setahun butuh lahan 219.000 m2 atau sekitar 21 Hektar per tahun dalam satu wilayah tertentu. 

Padahal Kota Bekasi saja luasnya hanya 21.000 Ha dan sudah 90% lebih terisi, jadi tinggal tersisa 2100 Ha saja yang bisa dibangun alias tinggal 100 tahun lagi kota jadi penuh, belum termasuk sarana dan prasarana umum. Kebayangkan betapa sesaknya kota bila seluruh lahannya dibeli untuk dibangun rumah.

Jadi percuma saja kita teriak-teriak minta kemacetan dihilangkan atau dikurangi, atau harga rumah semakin mahal dan makin tidak terjangkau oleh generasi milenial. Lha wong kepemilikan kendaraan tidak dibatasi, mobil tua pun masih bebas beredar di jalan raya. 

KPR juga semakin memanjakan pembeli dengan semakin panjangnya jangka waktu pinjaman menjadi 20 tahun, jadi harga rumah yang mahalpun terpaksa tetap dibeli walau harus ngpos-ngosan ngejar setoran demi membayar cicilan rumah plus bunganya yang aduhai.

Di negara-negara maju, keberadaan kendaraan dibatasi umurnya hingga 10-20 tahun ke belakang. Lebih dari itu harus dikandangi atau dianggap barang antik yang harus memiliki izin khusus dengan pajak yang sangat tinggi. 

Di kota-kota besar pemilikan rumah semakin dibatasi, dan para penduduk dipaksa untuk tinggal di apartemen dengan sistem sewa. Nyaris tidak ada lagi rumah tapak di area perkotaan kecuali di kawasan bersejarah (heritage) yang dilindungi dan tidak boleh diubah baik bentuk bangunan maupun fungsinya.

So, untuk kehidupan kota di masa depan yang lebih baik, perlu ditanamkan bahwa rasa cinta itu tak harus memiliki, tapi cukup dengan menyewa sampai batas waktu yang diperlukan. Kemana-mana cukup naik angkutan umum, dan tinggal cukup menyewa apartemen atau rusun sampai pindah kerja ke tempat lain. Tak perlu meninggalkan jejak setiap pindah ke tempat baru karena hanya akan menambah beban biaya operasional saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun