Sejak berusia tiga tahun hingga saat ini, saya hidup dan besar di kota Metropolitan Jakarta, hanya diselingi saat kuliah di Bandung dan Jogjakarta selama total tujuh tahun saja. Boleh dibilang saya menjadi saksi hidup ketika daerah Kebon Jeruk masih berupa sawah dan terasa asing di kuping para pendatang lain di Jakarta.
Sekitar tahun 1980 - 1990 an, Jakarta mulai berkembang dan lalu lintas mulai macet, tapi masih terbatas pada jam-jam tertentu saja seperti berangkat dan pulang kerja. Harga mobil, walaupun boleh dibilang murah bila dibandingkan saat ini, masih terlalu mahal dan jadi barang mewah karena tidak semua orang punya mobil. Saya beruntung karena menjadi bagian dari 30% penghuni kelas yang orang tuanya punya mobil. Selebihnya tidak punya, paling mentok juga motor.
Semenjak reformasi, harga mobil melonjak tinggi mengikuti kurs Rupiah. Di sisi lain kredit mulai dilonggarkan sehingga justru semakin banyak orang memiliki mobil walau harganya semakin mahal dan semakin tahun semakin meningkat tajam, persis seperti harga rumah. Ini tentu sebuah anomali mengingat jumlah mobil semakin meningkat justru karena harganya semakin melangit, bukan malah turun penjualannya.
Hal ini berdampak pada semakin padatnya Jakarta dari waktu ke waktu, dari hari ke hari. Dulu waktu rumah saya di Bekasi butuh waktu 1,5 - 2 jam perjalanan ke kantor di bilangan Blok M. Sekarang menurut teman yang masih tinggal di Bekasi, butuh waktu 2 - 3 jam perjalanan. Sepuluh tahun belakangan ini malah sudah tidak ada lagi jam bebas macet, bahkan tengah malam sekalipun. Mungkin setelah jam satu malam hingga jam lima subuh lalu lintas mulai lengang, selebihnya macet luar biasa.Â
Sepuluh tahun lalu kita masih bisa prediksi, kalau pagi kemacetan dimulai dari pinggiran ke tengah kota, sore hari sebaliknya. Sekarang dua arah boleh dibilang hampir sama saja, baik ke luar maupun ke dalam kota tetap macet, minimal padat merayap. Dari jam enam pagi hingga jam 12 malam jalanan protokol ibukota selalu padat. Nyaris tidak ada ruang tersisa pada rentang waktu tersebut untuk sekedar bernafas lega sambil mengemudikan kendaraan. Sekarang orang mungkin beralasan ada pekerjaan konstruksi sehingga menghambat arus lalulintas. Tapi di daerah yang tidak terdampak langsung, toh kemacetan tetap terjadi bahkan pada jam kantor sekalipun.
Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan bagi saya, apakah orang-orang tersebut punya kantor atau sudah memindahkan kantornya di dalam mobil? Apakah pada saat yang bersamaan ada ribuan orang ketemu klien sehingga harus meninggalkan kantor pada jam kerja? Atau mengikuti rapat di luar kantor secara bersamaan? Atau memang sudah banyak orang kaya yang tidak perlu ngantor lagi, tapi bosan di rumah sehingga harus memacetkan jalan raya? Hanya Tuhan yang tahu alasannya, namun sejujurnya kemacetan saat ini sudah sangat luar biasa melelahkan.
Perlu ada upaya serius tak hanya sekedar membangun moda transportasi umum saja, tapi yang lebih penting juga mengembalikan kantor pada khittahnya. Saya ingin membayangkan orang-orang betah bekerja di dalam kantor sehingga jalanan sepi pada jam kerja, tidak lagi keluyuran yang menambah kemacetan lalulintas di jalan raya, atau membuat kantor virtual di rumah agar orang tidak lagi senang bepergian.