Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tuhan Lebih Menyayangi Bangsa Jepang

30 September 2017   13:01 Diperbarui: 30 September 2017   19:41 12628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Air mataku tak sengaja menetes kala pesawat perlahan melepaskan diri dari garbarata bandara Narita menuju runway membawaku kembali ke bumi pertiwi. Sedih rasanya meninggalkan bumi Dai Nippon yang pernah menjajah kita selama tiga setengah tahun dan kalah perang dunia kedua namun mampu bangkit kembali menjadi "Macan Asia" sesungguhnya.

Aku teringat saat pertama kali mendarat, sapaan ramah khas orang timur masih kental terasa ketika aku bertanya arah jalan menuju keluar bandara dan menukarkan tiket JR Pass. Mereka tak sungkan untuk tidak sekadar menunjuk arah, tapi mengantar aku hingga tampak konter tiketnya. Mereka baru melepas kala kita telah mengerti arah yang ingin dituju. Rasa amanpun melingkupi diri kala melihat tingkah laku dan keramahan mereka selama di negeri mentari terbit ini.

Gedung Korban Bom Atom Hiroshima (Dokpri)
Gedung Korban Bom Atom Hiroshima (Dokpri)
Naik komuter dengan aman (Dokpri)
Naik komuter dengan aman (Dokpri)
Nyaris tak ada metal detector di setiap gedung atau mal yang kulalui. Tas kecil pun tetap aman di bangku kereta Shinkansen walau ditinggal ke toilet sekejap. Sepanjang pengetahuanku, nyaris tak pernah terdengar ada kejadian ledakan bom di pusat keramaian kota, atau di stasiun metro bawah tanah. Orang-orang berjalan sebagaimana mestinya tanpa merasa takut akan gangguan keamanan dalam perjalanan. Mau selfie atau pegang hape sambil jalan tak perlu takut disambar orang tak dikenal.

Bangunan tradisional masih terjaga baik (Dokpri)
Bangunan tradisional masih terjaga baik (Dokpri)
Dua kali hape nyaris hilang. Pertama saat jatuh saat berjalan kaki menyusuri jalan sunyi di daerah Kawaguchiko. Saat hendak mengambil foto, baru tersadar hape telah lenyap dari kantung celana, dan segera aku buru-buru kembali ke jalan asal, sampai satu menit berjalan baru tampak hape tergeletak begitu saja, padahal beberapa puluh meter di depanku ada orang juga sedang berjalan kaki di jalur yang sama. Kedua saat sedang di keramaian Imperial Palace Kyoto, saat aku hendak beranjak tiba-tiba beberapa orang berteriak memanggilku, menunjuk ke arah hape yang terjatuh di hadapannya.

Ketepatan waktu juga membuatku nyaman menyusun rencana perjalanan. Sengaja kubuat jeda waktu antar moda (pergantian dari kereta ke kerata atau dari bis ke kereta) paling lama satu jam, bahkan ada yang cuma selisih tujuh menit! Tapi semua berjalan lancar. Nyaris sempurna waktu yang kulalui bahkan hingga hitungan menit tanpa khawatir macet di jalan atau terjadi delay perjalanan kereta (walau saat terakhir kejadian juga sih delay kereta NEX dari stasiun Tokyo ke bandara selama 20 menit karena menunggu sambungan dari Yokohama).

Penumpang mengantri naik komuter (Dokpri)
Penumpang mengantri naik komuter (Dokpri)
Penumpang masuk kereta dengan tertib dan mengikuti antrian walaupun harus mengular karena situasi ramai. Naik atau turun eskalator tetap tertib, di sisi kiri untuk diam dan di sisi kanan untuk yang mendahului. Mobil yang akan belok kananpun rela menanti penyeberang jalan hingga selesai melintas. Tidak ada bunyi klakson saat kondisi sedang macet, dan tak ada yang mencoba mencari celah antrean. Semua berlangsung tertib dan teratur tanpa ada yang merasa harus didahului atau mendahului.

Mobil berhenti menanti penyeberang jalan (DOkpri)
Mobil berhenti menanti penyeberang jalan (DOkpri)
Semua nyaris sempurna, seolah Tuhan sedang menunjukkan inilah kondisi ideal hidup di dunia. Hidup aman, tenteram, damai, nyaris tanpa gejolak atau teror melanda. Tanpa banyak ceramah atau demo untuk menunjukkan jalan Tuhan, mereka telah mendemonstrasikan secara nyata hidup dalam harmoni dengan tindakan. Semua seperti telah berjalan secara sistematis dan terkontrol dengan sendirinya tanpa perlu dikawal malaikat, walau CCTV bertebaran di mana-mana. Sepertinya Tuhan lebih menyayangi bangsa Jepang ketimbang kita semua. Hanya cobaan alamiah saja yang diberikan Tuhan berupa gempa bumi dan tsunami, bukan karena ulah manusia.

Ingin rasanya hidup seperti di Jepang dan tetap selalu berharap kapan bangsa kita bisa seperti mereka. Namun di sisi lain, sebenarnya alangkah bosan juga hidup nyaris tanpa hambatan seperti itu. Jadi jangan heran kalau banyak turis asal Jepang melancong ke negeri kita, untuk melepas penat keteraturan hidup agar bisa lebih bebas dan relaks, bahkan ada yang rela jadi artis di sini untuk sekadar mengekspresikan jiwanya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun