Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Wrong Man on the Wrong Place

17 September 2017   22:00 Diperbarui: 17 September 2017   22:01 1668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sewaktu saya bertugas di daerah dulu, banyak pejabat yang duduk bukan berdasarkan keahlian atau kompetensinya. Ada kepala bidang tata bangunan dijabat oleh sarjana agama, ada pula kepala dinas kesehatan dipimpin oleh sarjana teknik, sementara dokternya sendiri malah jadi kepala dinas sosial. Itu terjadi di hampir semua level eselon, kecuali sebagian eselon IV dan staf yang memang masih ditempatkan sesuai dengan keahliannya.

Alasan klasik yang sering dikemukakan adalah bahwa jabatan itu lebih mengedepankan fungsi manajerial, jadi bisa siapa saja duduk di situ selama mampu mengelola suatu organisasi. Seperti tulisan saya sebelumnya, toh pekerjaan terberat PNS adalah mengetik, jadi gak perlu orang pintar untuk duduk di situ. Namun dibalik itu sudah menjadi rahasia umum bila jabatan tertentu apalagi yang bersifat strategis dan mendatangkan rezeki menjadi kursi yang hanya diduduki oleh orang yang dekat dengan penguasa setempat.

Harap maklum kalau di daerah sulit untuk maju dan berkembang, kecuali kapasitas pimpinan daerahnya memang mumpuni seperti Bu Risma atau Kang Ridwan Kamil. Maju atau tidaknya suatu daerah sangat bergantung siapa yang memimpin, karena akan berdampak seterusnya sampai ke level bawah. Bila pemimpinnya hanya mengejar target setoran, maka jangan harap ada pembaharuan atau perkembangan di daerahnya. Para kepala dinas hanya sibuk mengejar target, tak peduli kualitas pekerjaan yang diamanahkan kepadanya. Tidak usah heran kalau jalan raya yang dilalui setiap hari hampir setiap tahun dilapis aspal, tapi tiga bulan kemudian kembali bolong. Lha kepala dinasnya saja sarjana sosial, sementara pengawas lapangannya sarjana ekonomi yang tidak mengerti teknis jalan.

Saat bekerja di kementerian, masih lumayan situasinya karena kementerian teknis biasanya hanya menerima orang-orang berlatar belakang teknis. Namun bukan berarti tidak ada wrong man on the wrong place. Saking banyaknya sarjana teknik, kepala bagian hukumpun dijabat oleh orang teknik, demikian pula kepala bagian komunikasinya. Bukannya tidak ada sama sekali sarjana hukum atau sarjana komunikasi, namun bisa jadi pangkatnya belum cukup, atau memang bukan merupakan orang kepercayaan pimpinan. Untuk menduduki jabatan apapun, diutamakan orang yang dipercaya oleh pimpinan, baru keahlian atau kompetensinya. Toh semua bisa dipelajari, dan yang namanya pejabat cukup mengelola saja, kan sudah ada staf teknis yang mengerti masalah.

Itulah sekelumit kondisi pemerintahan saat ini. Memang cukup sulit mengelola sebuah unit organisasi yang berisi ribuan orang untuk mengisi posisi jabatan tertentu karena banyak faktor yang harus dipertimbangkan, baik teknis maupun non teknis. Celakanya faktor non teknis masih lebih dominan daripada faktor teknis sehingga sering terjadi sebuah posisi dibiarkan kosong selama beberapa bulan, bahkan ada yang nyaris setahun karena lamanya mencari sosok yang tepat untuk mengisi posisi tersebut. Jadi tak perlu heran kalau kecepatan kerja pemerintah sekarang masih belum seperti yang diharapkan, selama penempatan orang masih kurang sesuai dengan kemampuannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun