Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Segarnya Mandi di Pulau Seribu Mata Air

22 November 2015   20:28 Diperbarui: 22 November 2015   20:28 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wakatobi yang selama ini terkenal dengan surga diving dan snorkling dengan taman lautnya yang jernih ternyata juga menyimpan potensi lain yang tak kalah serunya. Masih tak jauh dari air, tapi kali ini adalah mata air tawar yang menjadi tempat mandi warga setempat. Kepulauan Wakatobi sendiri merupakan kumpulan atol alias pulau karang yang timbul di sebelah barat perairan Laut Banda, terdiri atas empat pulau utama yang membentuk akronimnya yaitu Pulau Wangi-wangi (Wa), Kaledupa (Ka), Tomia (To) dan Binongko (Bi). Dahulunya kepulauan ini disebut dengan Kepulauan Tukang Besi lantaran banyaknya tukang besi yang berasal dari Pulau Binongko. Nama Tukang Besi sepertinya kurang menjual sehingga diubah menjadi akronim dari keempat pulau besar tersebut.

Ada beberapa alternatif menuju Wakatobi, bisa melalui laut dari Bau-Bau atau Kendari, atau melalui pesawat udara dari Kendari atau Makassar. Demi kecepatan dan kenyamanan, saya pilih naik pesawat karena lebih cepat dibanding naik kapal laut karena sempitnya waktu. Rupanya naik pesawat berbiaya tinggi karena selain tiketnya seharga 10 kali lipat kapal, ternyata letak bandaranya jauh dari kota Wanci, sekitar 17 Km dan kondisinya sangat sepi, hampir tidak ada ojek di bandara Matahora (eits, bukan Manohara ya). Taksi gelappun juga langka dan habis karena banyaknya tamu saat itu. Terpaksa saya minta bantuan salah seorang petugas bandara untuk mengantar sampai ke kota dengan ongkos 100 Ribu Rupiah! Bandingkan bila naik ferry yang langsung merapat di tepi kota dan tinggal berjalan kaki menuju penginapan.

Pulau Wangi-wangi yang menjadi ibukota Kabupaten Wakatobi ternyata menyimpan puluhan mata air yang timbul di sela-sela batuan kapur walaupun letaknya di dataran rendah. Air tawar relatif gampang diperoleh karena tanah kapur lebih mudah menyerap air hujan daripada jenis tanah lainnya. Di sekitar kota Wanci saja paling tidak terdapat empat mata air yang ramai dikunjungi warga yang mandi tiap pagi dan sore hari. Hebatnya lagi, airnya tetap jernih walaupun sudah dipakai mandi beramai-ramai serta meninggalkan sisa sabun ke badan air. Jadi bila kita berkunjung ke sini, begitu selesai diving atau snorkling, kita bisa langsung mandi di mata air.

Kontamale merupakan gua mata air terbesar yang terletak di pusat kota Wanci. Tidak jauh dari situ terdapat mata air Tekosapi yang terletak di tepi jalan utama Wanci. Bergeser sedikit ke timur di sebelah taman kota Wanci juga terdapat mata air yang dipakai mandi cuci. Terakhir menjelang masuk ke pelabuhan, juga terdapat mata air yang terbuka, bukan berbentuk gua seperti tiga mata air sebelumnya. Itu yang sempat saya kunjungi, belum lagi puluhan mata air lainnya yang tersebar di antara permukiman penduduk di pulau tersebut. Saya sendiri coba mandi di mata air Tekosapi yang sedang ramai pengunjung, brrrr, ternyata airnya dingin juga, walaupun tidak seluruh badan disiram.

Karena waktu sempit, hanya sehari semalam, saya hanya sempat berkeliling Pulau Wangi-wangi saja. Selain mata air tadi, tentunya Sombu Dive tak dilewatkan begitu saja walau tidak harus diving. Bekas tempat penyimpanan balok es ini sekarang menjadi salah satu titik bermulanya diving atau snorkling. Airnya sangat jernih dan tampak ikan-ikan kecil berlarian di dasar laut yang masih nampak dari permukaan. Tidak tampak keruh dan sedikit sekali kotoran di permukaan air, walaupun masih ada saja orang iseng membuang kotoran atau sampah di laut. Lautnya sendiri cukup dalam sehingga lebih tepat menjadi tempat bersandar kapal kecil daripada berenang.

Perjalanan dilanjutkan ke Pantai Cemara yang merupakan obyek wisata pantai dengan permukaan laut dangkal sehingga para wisatawan dapat berenang di tepian dengan ombak yang tak terlalu besar. Di sini banyak terdapat saung tempat bersantai sambil menikmati laut yang tenang. Agak aneh mengingat jaraknya tidak terlalu jauh dari Sombu Dive namun kedalaman pantainya bisa berbeda jauh. Tempat ini cukup ramai dikunjungi wisatawan lokal yang asyik berenang sambil menunggu sunset. Disini juga terdapat tempat penyewaan peralatan diving bagi para penggemar surga bawah laut. Sebenarnya pantai Waha tidak terlalu jauh dari sini, namun mengingat waktu dan kondisinya juga relatif tidak jauh berbeda, saya putuskan untuk menuju kampung Bajo yang menjadi tempat bermukim para nelayan asal Bajo.

Kampung Bajo sendiri terletak dekat Pasar Sentral Wanci dan pelabuhan dan menjadi permukiman terpadat di Wanci. Rumah-rumahnya sendiri sebagian besar berada di atas laut atau hasil reklamasi pantai. Bahkan perahu nelayan bisa parkir di depan rumah melalui kanal-kanal sempit yang terdapat di antara rumah-rumah penduduk. Kondisinya agak kumuh dan kurang terawat, namun anehnya airnya tetap jernih dan tampak sekali dasarnya hingga tampak kotoran yang dibuang ke kanal atau laut. Di ujung kampung terdapat menara pandang yang sayangnya tidak bisa dijangkau karena masih dalam peremajaan. Orang Bajo memang dikenal sebagai pelaut tangguh, terbukti di hampir setiap pulau pasti terdapat kampung Bajo sebagai pangkalan melautnya.

Malamnya saya sempatkan mampir ke pasar malam yang terletak depan pelabuhan ferry Wanci. Di sini aneka makanan diperjualbelikan, mulai dari makanan khas Wangi-Wangi yang berbentuk kerucut, ikan-ikan dan hasil laut lainnya yang langsung dijual dari nelayan. Pengunjungnya cukup ramai dan berdesak-desakan karena harganya cukup murah dibanding pasar. Saya sendiri cuma membeli makanan khas Wanci yang rasanya agak aneh, sedikit hambar bercampur bau ikan laut.

Esoknya, sebelum terbang kembali ke Makassar, saya sempatkan untuk mampir ke Benteng Liya di Desa Togo. Bentengnya sendiri berupa tumpukan batu koral, sama bentuknya seperti benteng keraton Buton atau benteng None di Pulau Timor. Namun benteng ini juga telah dilengkapi meriam untuk menangkal serangan dari arah pantai. Benteng ini berada di puncak bukit sehingga dapat melakukan pemantauan di daerah bawahnya. Sayangnya sudah banyak pohon tumbuh di sekitar benteng sehingga menghalangi pandangan ke laut. Di sekitarnya juga telah dipenuhi rumah-rumah dan menjadi perkampungan sendiri dan tampak kurang terawat dengan baik. Di dalam benteng terdapat masjid dan makam keramat raja-raja yang memerintah di pulau Wangi-wangi yang menjadi bagian dari kerajaan Buton saat itu. Untuk menuju kesini, lagi-lagi saya harus menyewa ojek karena sopir taksi tidak bersedia mengantar tapi langsung menuju bandara.

Sebagai oleh-oleh, berikut foto sunset yang diambil di ujung pelabuhan Wanci.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun