Mohon tunggu...
Diyauddin
Diyauddin Mohon Tunggu... Lainnya - Analis Lab45

Analis Utama Maha Data Lab45

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Propaganda dan Rekayasa Media Sosial

5 April 2022   20:00 Diperbarui: 5 April 2022   22:22 1795
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Proses big data dan interaksi data sceintist-data analyst LAB45. Sumber: Penulis

Propaganda media dalam sebuah gelar pasukan tempur merupakan bagian tak terpisahkan dalam kampanye perang. Pada perang dunia ke-2 strategi blitzkrieg Jerman berhasil menaklukkan Prancis dengan memanfaatkan radio dan kendaraan lapis baja. Pada tahun 2014, ISIS menaklukkan kota Mosul dengan menggunakan internet sebagai senjata.

Tanda pagar (tagar) AllEyeOnISIS bergema di media sosial, seluruh dunia tertuju pada peristiwa itu. Gambar dan video viral sangat cepat melalui instagram dan twitter, ISIS memberitahukan kepada dunia aksi heroik mereka dengan penggunaan tagar di media sosial.

Keberhasilan ISIS melalui media sosial membuat strategi yang digunakan mulai terjadi penyesuaian. Media sosial menjadi salah satu aset fundamental sebagai instrumen dalam perang. Meminjam istilah Brooking (2018), “the invasion was launched with a hashtag.”

Kata ‘Uraa' menjadi viral sejak Putin melakukan invasi ke Ukraina, hal ini dikutip dan dibagikan berulang-ulang baik teks, gambar maupun video di media sosial. Kata yang kurang lebih berarti ‘hore’ untuk membangkitkan moral dan semangat pasukan Rusia, konon kata ‘uraa’ diserukan oleh pasukan merah Uni Soviet ketika berhasil menduduki Jerman pada Perang Dunia ke-2. Di berbagai platform media sosial tidak sedikit netizen yang membagikan video perkembangan terkini perang antara Rusia vs Ukraina.

Perang yang agak berbeda seperti yang dibayangkan sebelumnya, dalam sebuah video yang viral, ketika perang berkecamuk warga Ukraina masih mondar-mandir dengan santai di tengah laju gelar pasukan Rusia. Begitu pula tidak sedikit pasukan Rusia maupun Ukraina yang merekam dan memposting aktivitas mereka saat bertempur.

Bagaimana dengan netizen Indonesia? Hal yang bertolak belakang dengan sikap resmi politik luar negeri Indonesia yang mendukung resolusi PBB dalam mengecam agresi Rusia ke Ukraina. Di media sosial Putin digambarkan sebagai sosok gagah dan karismatik yang di saat bersamaan Zelensky digambarkan sebagai komedian, hal membuat netizen Indonesia terlihat cenderung lebih mendukung Rusia. 

Tentu hal ini bukan satu-satunya alasan, narasi bahwa Putin yang pro Islam dan latar belakang Zelensky yang Yahudi ditambah AS-Israel yang dianggap standar ganda dalam menyikapi Palestina dan Ukraina jelas membuat netizen Indonesia menjadi bagian “sempurna” untuk memuluskan strategi propaganda Rusia di media sosial dengan memanfaatkan celah sentimen anti AS-Israel.

Social Media Intelligence (Socmint)

Dalam konteks perang, prinsip utama Clausewitz yakni center of gravity merujuk pada kapasitas militer lawan seperti kapital, aliansi, pemimpin, hingga opini publik adalah doktrin perang yang harus dilemahkan jika ingin memenangkan perang. Menghancurkan pusat gravitasi musuh berarti memenangkan pertempuran.

Adanya jaringan internet dan telekomunikasi membuat perang secara fisik juga sangat bergantung pada operasi propaganda media, meskipun kapabilitas militer pada center of gravity adalah instrumen yang sangat krusial, akan tetapi media sosial menjadi sarana penting sebagai instrumen baru dalam perang. Rusia dan Ukraina sama-sama menggunakan media sosial untuk saling menjatuhkan sekaligus untuk memenangkan opini.

Ada beberapa teknik yang dikenal sebagai metode pengumpulan informasi intelijen yaitu human intelligence (humint), imagery intelligence (imint), technology intelligence (techint), signal intelligence (sigint), measurement and signature intelligence (masint) dan open source intelligence (osint). Semua teknik ini dapat digunakan bersamaan untuk memperoleh derajat informasi A-1 (informasi benar dan dikonfirmasi oleh sumber lain) dalam intelijen.

Teknik osint menjadi salah satu metode dalam pengumpulan informasi dasar untuk dijadikan sebagai intelijen. Perkembangan dunia digital yang begitu cepat menunjukkan aktivitas di dunia maya telah menjadi habitus baru masyarakat dunia. Masyarakat digital terbentuk melalui proses interaksi antar orang di dunia digital. Era telah berubah, yang dulunya informasi sangat terbatas menjadi era overload informasi.

Interaksi antar pengguna media sosial harus diakui sering menjadi referensi utama netizen dan tidak sedikit dapat mempengaruhi kebijakan atau peristiwa yang akan terjadi di masa yang akan datang. 

Dalam politik, teknologi digital menyediakan berbagai platform yang menjadi kanal dimana masyarakat dapat terlibat langsung dalam diskursus politik kontemporer yang terjadi. Interaksi masyarakat dengan figur-figur prominent tertentu menjadi tidak berjarak.

Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa media sosial memainkan peran penting dalam sirkulasi ide dan percakapan tentang politik dan kebijakan publik. Namun, di tengah derasnya arus informasi, kita kadang sulit membedakan antara fakta (signal) dan hoaks (noise). Pada titik ini, social media intelligence (Socmint) sebagai kelanjutan dari osint dibutuhkan untuk tidak terjebak pada kampanye disinformasi.

Media Sosial dan Politik

Di Indonesia, pada tahun 2014 dan 2019 Jokowi menjadi sosok yang sangat populer melalui jejaring media sosial saat itu. Relawan media sosial terbentuk di berbagai daerah, tentu dengan catatan, bahwa pendengung (buzzer) yang terbentuk ada yang natural-organik dan ada pula yang terorganisir rapi dengan sistem komando hierarkis. 

Hal yang sama juga tentu dilakukan oleh rival-rivalnya. Singkatnya, kesadaran signifikansi media sosial terbentuk dalam konteks politik menjadi sebuah medan tarung yang tidak mungkin ditinggalkan oleh para kompetitor politik.

Teknik-teknik propaganda yang telah diperbarui menemukan tempatnya yang baru dan praktis. Orang mampu mengorganisir pergerakan tanpa organisasi (organize without organization). Efek cuitan dari satu akun influencer atau figur yang berpengaruh dapat mempengaruhi dinamika suatu isu bahkan pilihan politik.

Propaganda berkembang yang awalnya hanya dari pamflet, gambar yang kaku dan seruan-seruan melalui radio menjadi lebih menarik dengan infografik dan video yang bahkan sudah live on the spot dan real time. Sasarannya jelas, yaitu masyarakat umum dalam hal ini warganet atau netizen.

Isu yang dikemas dengan baik dapat menyentuh pikiran dan emosi masyarakat adalah yang paling sering digunakan dalam teknik propaganda. Sehingga, produsen isu tidak segan-segan menggunakan isu identitas atau sara sebagai ramuan utama. Lalu sasaran dan targetnya adalah seperti apa yang pernah dikatakan Hitler, bahwa arahkan selalu propaganda itu kepada massa rakyat banyak, jangan ditujukan kepada kaum intelektual.

Ada adagium yang mengatakan ‘propaganda dilahirkan kaum agama dan yang merawat serta membesarkannya adalah kaum politisi’. Jadi tidak mengherankan isu identitas dan sara begitu diminati bahkan dalam konteks tarung politik praktis.

Pada Oktober 2021 pada webinar yang bertajuk ‘Tarung Opini Politik di Media Sosial” yang diadakan Lab 45, dipaparkan beberapa hasil riset terkait politik di media sosial. Secara umum akun-akun influencer/buzzer yang aktif di 2019 masih eksis di tahun 2021 (sampai sekarang) dan cenderung masih konsisten menjadi pendukung figur atau kelompok masing-masing.

Tidak terjadi pergeseran akun secara signifikan, pergeseran keberpihakan akun hanya terjadi pada beberapa tokoh influencer disebabkan peralihan koalisi partai, kekecewaan terhadap figur, masuk dalam posisi tertentu atau sebaliknya terdepak dari lingkar kekuasaan. Singkatnya, polarisasi yang terjadi dalam konteks politik di media sosial saat ini merupakan “residu” pilpres 2019.

Pada titik tertentu polarisasi ini dapat disebut sebagai “fanatisme buta”. Dalam konteks media sosial fanatisme terhadap figur dan kelompok tertentu membuat jagat cuit (social network analysis) yang terbentuk terisolasi dari perbincangan natural (echo chamber) bahkan cenderung bernuansa rekayasa (social media engineering). Hal ini disebabkan orkestrasi isu berupa tagar atau keyword tertentu yang ditrendingkan merupakan suatu yang tidak bergerak secara alamiah di media sosial.

Polarisasi netizen pro-kontra terhadap isu pembubaran FPI. Sumber : www.lab45.id
Polarisasi netizen pro-kontra terhadap isu pembubaran FPI. Sumber : www.lab45.id

Hal yang cenderung akan bertahan dalam tarung opini politik tahun 2024 adalah pola-pola dan metode operasi media sosial seperti perang tagar, pembentukan cyber army, penggunaan bot engine, jasa trending topik (agensi), manipulasi opini publik, black campaigne, smoke screen, dan operasi semburan fitnah/hoaks (firehose of falsehood) sebagai perang psikologi dalam propaganda komputasi.

Popularitas dan Elektabilitas

Akhir-akhir ini isu tentang big data menjadi ramai dibincangkan di tengah masyarakat, hal ini disebabkan statement beberapa figur politik yang mewacanakan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden yang menurut mereka hal itu berdasarkan analisis big data. 

Hal ini menuai polemik di masyarakat, mayoritas masyarakat dan warganet menolak wacana penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden. Hal ini dapat kita lihat dari hasil beberapa lembaga survey dan analisis big data.

Social Network Analisis isu penundaan pemilu. Sumber: twitter/@lab45_
Social Network Analisis isu penundaan pemilu. Sumber: twitter/@lab45_

Berbeda dengan survei dengan menggunakan 'sampling' dengan berbagai metodenya, big data merujuk pada populasi data yang ada di crawling lalu mengalami proses anotasi kemudian diekstraksi menjadi data yang terstruktur dan diolah oleh mesin (engine), hasil dari mesin big data ini selanjutnya dianalisis oleh analis yang akhirnya akan menjadi sebuah produk analisis. 

Dalam konteks politik media, big data digunakan untuk mengukur popularitas seorang figur, sementara pada survei selain digunakan untuk mengukur popularitas juga mengukur elektabilitas seorang figur.

Proses big data dan interaksi data sceintist-data analyst LAB45. Sumber: Penulis
Proses big data dan interaksi data sceintist-data analyst LAB45. Sumber: Penulis

Popularitas adalah satu tahap bagi seorang figur politik untuk mencapai target elektabilitas. Popularitas biasanya di ukur dari eksposur figur di media, semakin banyak diberitakan dan dibicarakan semakin baik. 

Strategi media untuk mencapai popularitas yang tinggi tidak harus berisi isu atau konten yang positif saja, kadang isu yang kontroversial sengaja dihembuskan ke publik untuk menaikkan eksposur, jadi tidak mengherankan jika ada figur yang memainkan strategi playing victim agar menjadi perbincangan di publik.

Persepsi publik pada survei diharapkan akan dipengaruhi oleh operasi media dari figur tersebut. Semakin tinggi elektabilitas figur semakin tinggi pula kemungkinan masyarakat memilih figur tersebut.

Elektabilitas dapat di ukur melalui hasil survei, tapi yang akan menjadi variabel pembeda antara popularitas dan elektabilitas adalah signal dan noise. Jika untuk mencapai popularitas noise menjadi variabel yang memungkinkan untuk digunakan sebagai strategi, pada sisi elektabilitas noise sebisa mungkin dihindari.

Hal yang mutlak harus dilakukan figur untuk mendapatkan elektabilitas yang tinggi adalah rekam jejak yang positif. Jadi tidak mengherankan ada figur yang jauh-jauh hari muncul di media dengan segala kontroversinya lalu mendekati pemilu hadir sebagai figur dengan polesan citra yang baik bahkan heroik.

Untuk mencapai tujuan tertentu dalam aktivitas politik karisma figur, popularitas media, elektabilitas survei, kinetik, kemampuan finansial dan beberapa hal lainnya merupakan beberapa variabel yang sangat menentukan. 

Dalam hal ini tak ada satu pun variabel yang bisa berdiri sendiri. Akan tetapi penting untuk diperhatikan, fenomena saat ini tidak sedikit dibentuk oleh viralitas online dan fakta-fakta alternatif, menurut Singer “a new kind of communications became a new kind of war”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun