Mohon tunggu...
Divia Ayu Prihatina
Divia Ayu Prihatina Mohon Tunggu... Tutor - Mahasiswa Pendidikan Sosiologi FIS UNJ

Education is Investation

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kajian Pemikiran Talcott Parsons: Fungsionalisme Struktural terhadap Resistensi Masyarakat atas UU Cipta Kerja

15 November 2020   17:41 Diperbarui: 15 November 2020   17:52 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Belum lama ini kita digemparkan dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang memunculkan resisten di berbagai kalangan masyarakat. Tidak sedikit dari kalangan mahasiswa, buruh hingga pelajar di berbagai daerah di Indonesia turut menyuarakan kritiknya terhadap RUU Cipta Kerja dengan aksi membanjiri kantor-kantor pemerintahan daerahnya masing-masing. Beberapa pimpinan daerah mendukung suara rakyat dengan ikut turun menemui mereka demi menentang pengesahan UU Cipta Kerja yang dianggap merugikan rakyat khususnya masyarakat kecil.

Di samping itu, tidak  sedikit dari masyarakat yang juga membagikan kekecewaannya dengan mencanangkan #MosiTidakPercaya melalui media sosial terkait dengan kesepakatan pemerintah dalam mengesahkan RUU tersebut menjadi UU. Akan tetapi, penolakan yang dilayangkan oleh segenap masyarakat dan organisasi yang ada di Indonesia itu tidak sama sekali diindahkan oleh sang 'wakil'. Karena pada keyataannya kini RUU yang kontroversial itu telah resmi disahkan sebagai UU Cipta Kerja.

Pasca disahkannya UU Cipta Kerja atau biasa kita kenal dengan sebutan Omnibus Law dalam Rapat Paripurna DPR di Senayan, Jakarta, Senin (5/10) lalu. Memang sudah mengundang banyak kritik bahkan penolakan dari berbagai kalangan masyarakat. Pasalnya RUU final yang  berisi dokumen setebal 905 halaman dengan 'disederhanakannya' menjadi 76 UU dalam 11 kluster ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dinilai bergerak terlampau cepat dan sejak awal pembahasan  RUU dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan diam-diam, serta dinilai lebih condong memberikan jalan kepada para investor yang berpotensi akan semakin menyulitkan hidup rakyat.

Bagaimana tidak, UU yang ditolak sebagian besar masyarakat ini dinilai merugikan rakyat lantaran beberapa alasan. Salah satunya isu yang menjadi perdebatan dalam UU Cipta Kerja ini ialah penguasaan SDA berdasarkan Pasal 33 UUD RI 1945. Terdapat 3 aktor ekonomi yakni negara, swasta, dan masyarakat sipil. Peran dari ketiga aktor tersebut dibatasi oleh Pasal 33 ayat 4 tentang perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Akan tetapi, yang menjadi alasan di sini adalah semakin tercerminnya komitmen pemerintah yang kian rendah dalam melindungi Sumber Daya Alam (SDA) atau hutan, lahan, bahkan laut Indonesia. Hal ini dapat kita rasakan dari kebakaran hutan yang tiap tahunnya terus berulang.

Selain itu, akibat dari ketergesa-gesaannya penyusunan UU Cipta Kerja ini juga berpotensi memperburuk hak perlindungan bagi pekerja/buruh dan pekerja perempuan. Karena seperti yang sudah dikatakan di atas bahwa substansi UU Cipta Kerja condong pada kepentingan para penguasa, sehingga bukan lagi dilandasi atas dasar semangat untuk meindungi masyarakat atau buruh yang memiliki kekuasaan lebih lemah.

Berangkat dari persoalan di atas, hal tersebut terkait dengan pokok pikiran Talcott Parsons mengenai teori fungsionalisme struktural. Dimana pendekatan ini memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang terintegrasi secara fungsional  ke dalam suatu bentuk ekuilibrium. Sementara pendekatan ini timbul melalui cara pandang yang menyamakan masyarakat dengan sebuah organisme biologis. Selain itu, pandangan ini juga merupakan pengaruh dari pandangan Herbert Spencer dan Auguste Comte yang menyatakan bahwa adanya saling ketergantungan dan keterkaitan antara suatu organ tubuh dengan organ tubuh lainnya, begitu pun dengan kondisi suatu masyarakat.

Masyarakat akan tumbuh dan berkembang dari masyarakat sederhana menuju kepada masyarakat kompleks. Dalam hal ini pertumbuhan dan perkembangan masyarakat tersebut berjalan secara perlahan atau evolusioner. Walaupun institusi social terus bertambah banyak, hubungan antara satu dengan yang lainnya akan tetap dipertahankan karena setiap intitusi baru itu berkembang dari institusi yang sama. Hal ini dianalogikan seperti organisme biologis, dimana bagian-bagian dalam organisme social itu memiliki sistemnya sendiri atau dengan kata lain subsistem yang dalam beberapa hal tertentu ia dapat berdiri sendiri.

Hal tersebut lah yang melatarbelakangi munculnya fungsionalisme struktural yang sangat mempengaruhi pemikiran Talcott Parsons. Maka dari asumsi itulah kemudian Parsons mengembangkannya menjadi suatu masyarakat mesti dilihat sebagai suatu system dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain. Dengan demikian, hubungan yang saling mempengaruhi di antara bagian-bagian tersebut bersifat timbal balik. Sekalipun integrasi social itu tidak dapat dicapai dengan sempurna, namun secara fundamental system sosial selalu lebih cenderung bergerak ke arah ekuilibrium yang sifatnya dinamis.

Parsons juga mengatakan bahwa system sosial akan selalu berproses ke arah integrasi sekalipun terjadi ketegangan, disfungsi, dan penyimpangan. Begitu pun dengan resisten masyarakat terhadap UU Cipta kerja ini, meski menimbulkan berbagai penolakan, namun hal itu tidak menjadikan masyarakat kita terpisahkan dari para pemerintah. Artinya antara masyarakat dengan pemerintah akan tetap terintegrasi meski terdapat ketegangan di antaranya. Hal itu dikarenakan masyarakat kita memiliki fungsionalismenya sendiri.

Sementara perubahan-perubahan dalam system sosial,terjadi secara gradual melalui penyesuaian-penyesuaian dan tidak terjadi secara revolusioner. Hal ini justru berbanding terbalik dengan perubahan system social kita dimana terjadi secara cepat sehingga menimbulkan resisten masyarakat  atas pengesahan UU Cipta Kerja tersebut. Meski demikian, factor paling penting yang memiliki integrasi suatu system social yaitu consensus atau mufakat di antara para anggota masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan tertentu.

Oleh karena itu, Parsons menilai bahwa pada dasarnya masyarakat membentuk suatu system ialah demi keberlanjutan system itu sendiri yang telah memenuhi syarat. Dimana system tersebut harus terstruktur supaya mampu menjaga keberlangsungan hidupnya dan juga harus mampu harmonis dengan system yang lain. Tidak hanya itu, system juga harus mempunyai dukungan dari system yang lainnya, mampu mengakomodasi para aktornya secara proporsional, mampu melahirkan partisispasi yang memadai dari para aktornya, mampu mengendalikan perilaku yang berpotensi mengganggu, dan bila terjadi suatu konflik kemudian menimbilkan kekacauan maka harus segera dapat dikendalikan, serta harus memiliki bahasa actor dan system sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun