Mohon tunggu...
Octavia DivaSyafira
Octavia DivaSyafira Mohon Tunggu... Lainnya - NULIS TAPI DIKETIK

Sebagai bentuk pemanfaatan dari Ilmu yang saya dapatkan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perundungan Berakhir Pemakaman

26 Maret 2022   14:10 Diperbarui: 26 Maret 2022   14:51 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perundungan adalah bentuk dari segala tindakan seseorang yang menggunakan kekuatan untuk memaksa, menyakiti, hingga mengintimidasi pihak lain. Umumnya korban perundungan adalah pihak yang lebih lemah dari pelaku perundingan. Diketahui bahwa tindak perundungan sudah dimulai sejak ratusan ribu tahun yang lalu. Istilah yang digunakan pada zaman dahulu yaitu siapa yang lebih kuat maka dia yang akan bertahan hidup lebih lama. Bentuk perundungan dikelompokan ke dalam 6 kategori, yaitu: kontak fisik langsung, kontak verbal langsung, perilaku non-verbal langsung, perilaku non-verbal tidak langsung, cyber bullying, dan pelecehan seksual.  

Perundungan dapat terjadi diberbagai struktural kehidupan bermasyarakat, seperti pada instansi pendidikan. Berdasarkan hasil Kajian Konsorsium Nasional Pengembangan, ditemukan bahwa hampir di setiap instansi pendidikan (sekolah) di Indonesia memiliki kasus perundungan. Sedangkan, hasil survey International Center For Research On Women (ICRW), sekitar 84% anak di Indonesia pernah mengalami tindak bullying di sekolah. Badriyah Fayumi, Komisioner Bidang Pendidikan KPAI, menyebutkan bahwa tindakan perundungan paling banyak dilakukan oleh teman sekelas dengan persentase 42,1%, diikuti dengan tindakan perundingan dari guru dengan persentase 29,9%, dan dilakukan oleh temen kelas lainnya dengan persentase 28%. Sejatinya sekolah merupakan tempat untuk membentuk karakter yang bernorma dan menjadi tempat yang aman untuk setiap anak berkembang dan tumbuh, namun rasanya hal itu tidak sesuai.

Perundungan semakin marak terjadi terlebih dengan semakin mudahnya informasi tersebar. Melalui media sosial, pelaku cenderung merasa aman karena identitas dapat disembunyikan. Mudahnya pengguna internet menjangkau dan berkomentar terhadap pihak lain menjadi kesempatan emas bagi pelaku untuk melakukan perundungan. Media sosial pun seakan menjadi tempat untuk mempermalukan seseorang. Dikutip dari cnnindonesia.com, berdasarkan laporan DCI Indonesia mendapat poin 76 dari 100 untuk penilaian kesopanan daring, dimana semakin tinggi skor semakin rendah kesopanan. Penggunaan internet yang tidak bijak dan tidak sesuai umur, menyebabkan seseorang dengan mudahnya berprilaku buruk di dunia maya

Berbagai dampak negatif akan mengancam korban perundungan baik secara fisik hingga mentalnya. Korban dapat menjadi pendiam, murung, dan tidak percaya diri. Perundungan juga dapat merusak karakter korban hingga menurunkan daya pikir serta kecerdasan korban, sehingga korban cenderung takut untuk melapor. Dampak yang akan timbul bergantung pada kondisi individu korban, tindakan dari pelaku, dan lamanya perundungan itu terjadi. Karena, tidak semua pihak mampu menanggung beban yang sama dengan pondasi individu yang berbeda-beda. Seperti perumpaan pondasi bangunan yang terbuat dari bambu dibandingkan dengan yang terbuat dari baja, maka secara logika pondasi dari baja lebih mampu menanggung beban lebih berat daripada pondasi dari bambu. Hal ini pun, menggambarkan bagaimana korban memikirkan jalan keluar untuk mengakhiri situasi perundungan ini. Hasil studi dari Tandiono dan kawan-kawan tahun 2019, di sebuah SMA Negeri di Tangerang Selatan, menunjukan bahwa 57% dari seluruh siswa partisipan mengalami perundungan, 26% di antaranya memiliki “ide” bunuh diri. Berdasarkan data dari WHO tahun 2016, angka bunuh diri pada usia 15-29 tahun lebih tinggi daripada usia 30-49 tahun. Berdasarkan data Kementrian Kesehatan keinginan untuk bunuh diri pada pelajr SMP dan SMA tahun 2015 yaitu, sekitar 5.095 perempuan dan 4.988  laki-laki. Dalam project WHO tahun 2013-2020, negara-negara di dunia berkomitmen untuk menurunkan 10% angka kematian karena bunuh diri dan setiap tanggal 10 September diperingati sebagai Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia.

Lalu apakah mungkin, bahwa pelaku perundungan merupakan seorang korban yang mengalami perundungan juga?. Ditinjau dari berbagai sumber, individu yang memiliki lingkungan keluarga dan pertemanan yang kurang baik maka akan memiliki emosi yang tidak stabil. Tumbuh dalam lingkungan yang kasar akan membentuk karakter yang kasar pula, sehingga bisa “menciptakan” pelaku perundungan. Berbagai faktor lainnya yang menyebabkan seseorang berprilaku buruk, yaitu seperti sebagai bentuk balas dendam akan kejadian masa lalu, sebagai bentuk senioritas yang diturunkan secara turun temurun, dan ketidakmampuan dalam mengelola emosi. Terlepas dari segala bentuk alasan pelaku perundungan yang dilakukan, tidak akan membenarkan setiap tindakan tersebut.

Bijak dalam bersikap tidak hanya diterapkan pada kehidupan di dunia nyata, namun hal ini pun harus diterapkan dan diselaraskan dengan kehidupan di dunia maya. Sebagai generasi penerus, sudah sepatutnya kita lebih bijak dalam bermedia sosial dan tidak bisa mengabaikan adanya tindakan perundungan ini. Dengan lebih peduli dan tidak menyudutkan korban perundungan, dapat membantu mengurangi dampak buruk dan mencegah hal yang lebih buruk lagi. Memberikan vibes positif pada media sosial kita, juga dapat menjadi langkah yang mungkin saja membantu orang lain. Selain itu, pencegahan “terciptanya kembali” pelaku perundungan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu cara yaitu, pencegahan sejak usia dini dengan mendeteksi adakah indikasi seorang anak mengalami atau menjadi pelaku perundungan. Orang tua pun diharapkan bijak dalam memberikan kebebasan dalam berinternet, karena internet dapat saja menjadi boomerang bagi pembentukan karakter anak. Hal utama lainnya yaitu memiliki Kecerdasan emosional yang dibentuk sedari dini dalam mencegah perilaku buruk. Dengan adanya kemampuan dalam mengelola dan melampiaskan setiap emosi tentunya akan berkolerasi positif terhadap terciptanya generasi yang baik dalam bermedia sosial.

Referensi:

Tandiono, I., M. Dewi, F., I., R. Soetikno N. 2020. Ide Bunuh Diri Pada Remaja Korban Perundungan: Keberfungsian Keluarga Dan Kualitas Hubungan Pertemanan Sebagai Prediktor. Jurnal: Psikologi. Vol. 13 No. 2

Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. 2019. Situasi dan Pencegahan Bunuh Diri. ISSN 2442-7659

Andayani, P. 2015. Efektivitas Teknik Social Skills Training Untuk Mereduksi Perilaku Bullying Remaja Perempuan. Universitas Pendidikan Indonesia.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI. Bullying. https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/8e022-januari-ratas-bullying-kpp-pa.pdf. Diakses pada 26 Maret 2022.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun