Dulu, saat kecil, aku sering membayangkan rumah impian. Ada taman mungil di depan, suara burung di pagi hari, dan ruang baca di dekat jendela. Namun, kini, impian itu berubah menjadi pertimbangan rasional yang sangat panjang.
Beberapa waktu lalu, aku hampir saja mengambil KPR. Semua terasa seperti fase yang wajar di usia 30-an. Penghasilan sudah ada, pekerjaan cukup stabil, dan punya rumah sendiri terdengar seperti pencapaian hidup yang menggembirakan. Apalagi saat melihat rumah contoh yang cantik, lengkap dengan taman mungil dan pencahayaan hangat, seolah berbisik lembut, "Ini saatnya kamu punya rumahmu sendiri."
Namun, aku lalu duduk diam, membuka lembar simulasi cicilan, dan mulai berhitung dengan jujur.
Cicilannya ternyata memakan lebih dari 40% penghasilanku. Sisa yang ada terasa tak cukup, karena masih harus berbagi dengan kebutuhan hidup, orang tua, tabungan masa depan, dana darurat, dan biaya kesehatan yang tak pernah bisa diprediksi.
Makin aku hitung, makin terasa bahwa aku akan hidup dari gaji untuk membayar rumah, bukan untuk hidup itu sendiri.
Keresahan itu bertambah saat aku menyadari lokasi rumah yang kutaksir cukup jauh dari tempat kerja. Ongkos transportasi pun akan membengkak. Pilihannya: cicilan rumah atau kenyamanan waktu dan tenaga. Keduanya tidak bisa dipeluk bersamaan.
Di ujung kebingunganku, tersirat satu hal yang membuatku makin mantap mundur: aku menyadari bahwa mengambil KPR dengan porsi cicilan sebesar itu akan mengorbankan satu hal penting— kesempatan untuk berkembang.
Aku tidak akan bisa mengambil kursus tambahan, ikut pelatihan kerja, atau menjajal profesi sampingan untuk mengasah potensi— hal-hal kecil yang sebetulnya penting agar aku terus tumbuh dan lebih berdaya di dunia kerja.
Akhirnya, aku memilih untuk menunda. Bukan karena menyerah, melainkan karena aku ingin mempersiapkan diri lebih matang.
Aku mulai membuka peluang baru dengan
- mengambil pekerjaan lepas sesuai keahlianku di bidang penulisan,
- membuat konten pendek tentang topik yang kusukai, dengan harapan bisa dimonetisasi suatu hari nanti,
- mengatur ulang keuangan agar bisa menabung lebih besar dan lebih cepat, dan
- mencari informasi tentang rumah subsidi atau skema cicilan ringan yang lebih masuk akal.
Selain itu, rasanya pantas mempertimbangkan strategi alternatif yang dilakukan beberapa temanku. Dimulai dengan membeli sebidang tanah di kampung halamannya, lalu membangun rumah kecil satu ruangan lebih dahulu. Mereka sendiri masih tinggal dan bekerja di kota, menyewa kamar sederhana. Namun, aku yakin, mereka merasa lebih tenang karena tahu, suatu hari nanti sudah ada tempat untuk pulang. "Pelan-pelan aja, yang penting bukan nol," katanya.