HRD dan User bukan dua kutub yang berlawanan, melainkan dua mata yang saling melengkapi---melihat dari sisi yang berbeda, tetapi menuju arah yang sama: kebutuhan tim.
Siapa yang lebih tahu kebutuhan tim: HRD atau User?
Pertanyaan ini terdengar sederhana, tetapi menyimpan ketegangan lama yang sering tak diucapkan. Ia muncul di banyak ruang organisasi---terutama saat proses rekrutmen terasa tak tuntas, atau saat karyawan baru ternyata tidak cocok dengan dinamika tim.
Sering kali, HRD dan User saling merasa tahu lebih banyak. Yang satu merasa sudah melihat gambaran besar, yang lain merasa paling paham kondisi riil di lapangan.
Namun, benarkah ini soal siapa yang lebih tahu?
Apa yang Dilihat HRD?
HRD biasanya bekerja dari sisi strategis dan sistemik. Mereka memahami struktur organisasi, nilai budaya, regulasi ketenagakerjaan, dan peta kompetensi. HRD tahu bagaimana satu posisi berpengaruh pada skema besar, serta bagaimana menjaga keseimbangan antar-unit.
Namun, di sisi lain, HRD sering kali tidak berada langsung dalam dinamika tim harian. Mereka mungkin tahu job desc di atas kertas, tetapi belum tentu merasakan nuansa emosi, tekanan kerja, relasi antarpersonel, atau urgensi karakter yang lebih kasat mata.
Apa yang Dirasakan User?
User, dalam hal ini atasan langsung atau tim yang akan bekerja bersama, lebih tahu kebutuhan secara operasional. Mereka tahu dinamika tim, tahu "lubang" yang perlu diisi, tahu seperti apa karakter yang bisa menyatu dalam tim, tahu apa yang tidak terlihat dari CV atau sertifikat.
Namun, User juga kadang terlalu fokus pada kebutuhan jangka pendek. Tak jarang mereka ingin seseorang yang "sudah jadi", punya pengalaman panjang, dan siap berlari sejak hari pertama---tanpa mempertimbangkan aspek jangka panjang seperti berkembangnya potensi atau keseimbangan gaji antarlevel.
Di sisi lain, User juga bisa terjebak dalam bias personal---yakni memilih kandidat berdasarkan "feeling cocok", kesamaan latar belakang, atau rekomendasi personal, bukan semata kompetensi objektif. Misalnya, lebih menyukai kandidat yang gaya komunikasinya serupa, atau menolak kandidat karena pengalaman buruk sebelumnya, meski konteksnya berbeda. Kadang juga ada ketergantungan pada intuisi, tanpa data pendukung. Misal: "aku kurang sreg". Bias ini manusiawi, tetapi bisa mengaburkan potensi sesungguhnya dari seorang kandidat jika tidak diseimbangkan dengan penilaian sistemik.
Di Sini Sering Terjadi Ketimpangan
Yang menarik, dan seringkali menyedihkan, adalah saat terjadi kesalahan dalam proses ini, fokus justru langsung diarahkan kepada karyawan. Ketika performa tidak sesuai harapan, yang disorot adalah individunya.
Jarang sekali organisasi bertanya:
- Apakah proses rekrutmen sudah cukup tajam dan menyeluruh?
- Apakah HRD dan User betul-betul sejalan soal kebutuhan?
- Apakah indikator seperti "pengalaman" benar-benar relevan atau hanya warisan rasa aman dari masa lalu?