Mohon tunggu...
ditha amalia
ditha amalia Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kepemilikan Stasiun Televisi Berpengaruh terhadap Opini Publik?

11 Desember 2018   20:43 Diperbarui: 11 Desember 2018   20:52 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sebelum tahun 1987 saluran televisi Indonesia hanya memiliki TVRI sebagai saluran televisi nasional. Namun seiring dengan perkembangan zaman dan semankin banyaknya penduduk masyarakat di Indonesia, menjadi sebuah peluang untuk membentuk stasiun televisi yang lain.  Maka seiring perkembangan tersebut banyak bermunculan televisi-televisi swasta. Televisi swasta pertama yang muncul di Indonesia adalah RCTI (Rajawali Citra Televisi) pada tahun 1987, lalu munculah saluran-saluran televisi lain seprti SCTV, Indosiar, Antv, dan TPI. Kemunculan saluran televisi tersebut dapat menjadi alternatif masyarakat dalam mencari informasi dan hiburan, yang mana pada saat itu televisi sangat diminati oleh masyarakat.

Sejauh ini, masyarakat Indonesia banyak disuguhi dengan berbagai macam pemberitaan, mulai dari politik, ekonomi, budaya, sosial dan bahkan kehidupan orang-orang terpandang di Indonesia. Kehadiran televisi ini, secara perlahan dan terus menerus merubah cara pola fikir masyarakat menjadi lebih maju lagi. Kemunculan beberapa stasiun televisi swasta memberi pencerahan bagi masyarakat dalam mengakses informasi dengan cepat. Kemunculan saluran televisi swasta disambut hangat oleh para industriawan, dimana mereka dapat mengiklankan produk mereka secara luas tanpa ada batasan ruang. Pada waktu TVRI berjaya dimasanya, periklanan dilarang dengan alasan untuk mengurangi sikap konsumerisme masyarakat. Menurut Collin Campbell Konsumerisme adalah kondisi sosial yang terjadi saat konsumsi menjadi pusat kehidupan banyak orang dan bahkan menjadi tujuan hidup. Ketika semua itu terjadi segala kegiatan hanya berfokus pada pemenuhan konsumsi saja.

Dengan demikian, seharusnya media massa dapat menjadi sebuah media yang dapat memberikan informasi yang postif agar masyarakat dapat mendapatkan informasi secara benar dan tepat. Hal ini juga tidak lepas dari perhatian masyarakat, dimana munculnya Komisi Penyiaran Indonesia sebagai media pengendali informasi-informasi yang beredar di media massa. Sebagian besar media massa tampak memihak dengan beberapa pejabat maupun yang memilki kekuasaan di Indonesia. Di orde baru ini, sebagian besar media tampak diam akan terjadinya korupsi, terutama dikalangan stasiun televisi swasta. Dimana sebagian masyarakat merasa dicurangi akan ketidakadilan informasi yang didapat di media televisi. Kecurigaan ini muncul sebab berbedanya informasi yang didapat masyarkat dari satu stasiun dengan stasiun lain.

Hal ini tentu saja tidak terlepas dari pengaruh kepemilikan media televisi. Dimana orang yang berkuasa dan dekat dengan pemilik stasiun televisi, akan mendapatkan imbalan yaitu dengan informasi mengenai dirinya yang positif. Berbagai contoh pemilik stasiun televisi antara lain ANTV dan TV One yang dimiliki oleh Aburizal Bakrie yang merupakan politisi Partai Golkar, MetroTV yang pemiliknya adalah Surya Paloh yang berada di partai Nasdem, MNC TV dan RCTI dimilki oleh Hary Tanoesoedibjo yang berada di Parta Perindo, lalu TRANS TV dan TRANS7 yang dimiliki oleh Chairul Tanjung ( donatur Partai Demokrat ). Dengan demikian, kepemilikan media menjadi aktor yang penting terhadap penyampaian informasi yang terlepas dari kepentingan politik dan juga kekuasaan.

Kepemilikan stasiun televisi yang bersikap netral tentu dapat memberikan citra yang posotif terhadap media massa. Terkadang kepemilikan media massa yang tidak netral menjadi tolak ukur bagi masyarakat terhadap keefektifan informasi yang disampaikan. Sering kali para pemilik kepentingan politik memanfaatkan televisi sebagai alat kampanye sehingga mereka bersedia menjadi donatur dan bahkan berupaya memiliki sebuah stasiun televisi. Hal ini seharusnya tidak mempengaruhi ruang redaksi dalam memproduksi berita, namun tetap saja kenetralan redaksi seringkali gagal berkompromi dengan kepentingan penguasa media. Apalagi jika pengusa suatu media tersebut adalah salah seorang aktor dari sebuah politik. Maka, tidak heran jika pemberitaan tentang dirinya dan partainya dapat diarahkan sesuai keinginan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun