Mohon tunggu...
Ditheosvi Alvira
Ditheosvi Alvira Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswi | "There is always something to be thankful for"

Kalau berkenan baca tulisanku, terima kasih ya! :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Punah

7 Mei 2020   01:07 Diperbarui: 7 Mei 2020   01:05 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rumah kita hancur!

Pesan baru yang kuterima seketika membuat sendiku lebur.  Mataku mulai nanar, aku berusaha untuk tidak mempercayai kalimat yang dikirimkan lewat SMS itu. 

Berpacu dengan degup jantung yang semakin cepat, airmata tak dapat ku bendung. Ku biarkan ia mengalir agar batinku tenang. Semakin aku berusaha untuk tenang, semakin batinku berkecamuk.  Semua kenangan bermain dalam benakku, bergiliran. 

Di sana, di rumahku, tempat aku tumbuh dengan penuh kasih sayang, tempat di mana aku berani merajut asa dengan percaya bahwa semua damba dapatku dekap dan menjadi tempat ternyaman yang kutuju untuk meneduhkan segala lelah.  

Rumah itu dibangun oleh pahlawanku dijadikannya markas untuk memupuk kebahagiaanku beserta adik-adik. Aku rasa pondasinya kuat dan kokoh, tetapi nyatanya rumah itu hancur seketika.  Gempa biang keladinya. Gempa tak hanya membuat hancur bangunannya ia mengikutsertakan hatiku. 

Terbayang kecipak air sungai di turunan depan rumahku seirama dengan riangku meniti hari-hari dulu. Sampai datang di mana hari yang ku benci. Pilu harus kutelan dengan sempurna di sana ketika melihat pahlawanku terbujur kaku di ruang tengah. Hari itu, langitku berubah menajdi gelap, harapan-harapanku mulai berantakan. Aku betul-betul berduka. Di depan tubuh  kaku itu ku lafalkan Yassin dengan adik-adikku. 

Aku tak mengerti mengapa pahlawanku pergi? Karena otak kecilku tak mampu mencerna. Yang kudengar dari mulut orang- orang dewasa yang datang ke rumahku adalah

 "Bapak di panggil Yang Maha Kuasa"

Tapi mengapa Bapak dipanggil ? Mengapa tak dibiarkan dulu Bapak bermain dan mengasihi kami sampai besar? Pertanyaan itu, kala itu selalu hadir di kepalaku. Semenjak itu ruang -- ruang rumahku seolah kosong. Setiap sore kami selalu berharap Bapak datang dengan tentengan buah tangan. Hal yang biasa Bapak lakukan kepada kami untuk menyenangkan hati kami. 

Kenangan itu menari -- nari dipelupuk mataku. Aku hanyut dibawa tarian itu. Kubiarkan tubuhku meliuk --liuk mengikuti irama luka itu . Tarian itu semakin erotis , aku mabuk. Dan kaget manakala bunyi SMS menyapaku

Gempa kuat sekali

Lantak semua persendianku, aku sudah tak kuasa membayangkan keadaan rumah gadangku. Rumah yang ku impikan ketika lelah menyapa. Rumah yang ku rindu ketika duka membelai. Tak ada yang mampu aku lakukan. Aku hanya mohon kuasa-Nya diberikan aku iman dan kesabaran menghadapi ini. Bayangan adik -- adikku yang berada dalam ketakutan menghantam kuat dadaku. Sesak !!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun