Mohon tunggu...
Dita Utami
Dita Utami Mohon Tunggu... Administrasi - ibu rumah tangga

ibu rumah tangga yang peduli

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Akhiri Zona Merah dan Awali Zona Hijau

2 September 2020   08:32 Diperbarui: 2 September 2020   08:39 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
galamedia.pikiranrakyat.com

Sejak tahun 2000 kita banyak mengalami terror. Pengeboman rumah-rumah ibadah, maupun tempat-tempat umum. Kita mungkin masih ingat bom Bali 1 dan 2, beberapa bom di Jakarta dan beberapa di tempat lain seperti Mojokerto, Makassar, Medan dlsb.  Tak hanya di Indonesia saja tetapi juga di beberapa dunia seperti peristiwa black September yang mengguncang dunia.

Sejak itu, dunia memang menyadari satu hal bahwa terorisme itu ada di sekitar kita; pada kehidupan kita sehari-hari yang mengancam entah kapan. Membuat banyak orang dan pihak harus selalu waspada. Sehingga sikap itu seringkali disebut Islamphobia padahal mungkin itu suatu cara untuk bertahan terhadap ancaman.

Terorisme pada prinsipnya bersumber dari radikalisme, dan radikalisme biasanya bersumber dari mindset tertentu soal perbedaan. Radikalisme tak hanya soal takviri yaitu orang yang suka mengkafir-kafirkan orang ; membuat jarak yang cukup jauh dengan orang yang berbeda keyakinan. Tapi sudah sampai pada keyakinan bahwa menyakiti atau bahkan membunuh orang yang berbeda adalah sah di mata Allah. Mereka yakin bahwa jihad yang agaung dimata Allah adalah membasmi orang-orang itu.

Para pengbom Bali meyakini bahwa turis-turis asing yang setiap malam mendatangi bar dan pub di Bali adalah orang-orang asing dengan keyakinan (agama) yang berbeda dengannya, karena itu mereka patut dibasmi alias dibunuh. Karena itu para teroris itu dengan sukarela baik energy dan finansial  merakit bom yang sedemikian besar dan dibawa ke Bali dengan mobil. Pada beberapa bom selanjutnya di Jakarta dan di beberapa tempat di Indonesia seperti bom Marriot dan BEJ bom dibawa orang  yang rela menjadi 'pengantin' Allah. Mereka yakin, jika mereka mati dengan cara itu maka akan diterima oleh Allah dan disambut dengan sederet bidadari cantik.

Kita ingat Black September adalah hal yang mencengangkan orang dimana orang tidak saja meledakkan dirinya tetapi mereka dengan berani membajak pesawat dan menabrakkannya ke menara kembar. Mereka yakin bahwa pengorbanan mereka tak sia-sia bagi kebesaran agama.

Paham jihad dan ideologi seperti itulah yang kita hadapi pada masa-masa Indonesia penuh terror. Bagaikan virus, dia menjangkiti banyak pihak dengan ideologi yang sulit untuk menerima perbedaan. Virus radikal itu bagaikan zona merah dan bisa saja menjangkiti orang muda, yang pengangguran maupun yang sudah mapan. Terbukti bom Surabaya dilakukan oleh satu keluarga dengan korban puluhan orang yang sedang beribadat di gereja.

Sampai tahun ini, sudah 20 tahun sejak era itu ada dan mungkin kita harus mengakhirinya sekarang. Virus radikal harusnya tidak ada lagi bada bangsa kita dan tergantikan dengan semangat persatuan untuk membangun masa depan yang lebih cerah; zona hijau menanti kita.

Tantangan itu bukan soal ideologi yang berbeda tetapi soal pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Dengan ekonomi mapan dan pendidikan yang baik kita bisa melakukan banyak hal pada  bangsa kita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun