Mohon tunggu...
Milisi Nasional
Milisi Nasional Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Akun twitter @milisinasional adalah reinkarnasi baru dari akun twitter @distriknasional yang jadi korban totalitarianisme firaun anti kritik.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Kafir Gaya Said Aqil

8 Maret 2019   16:43 Diperbarui: 8 Maret 2019   16:53 1289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.merdeka.com

Tidak cukupkah surplus kesholehan yang sudah dimiliki oleh negeri ini, sampai-sampai kita harus mengotak-atik lagi perkara kekafiran?

Demokrasi Indonesia memang belum sepenuhnya dewasa, problem terkait agama dan setinmen kebencian masih kerap berdengung sebagai bahan jualan oknum-oknum politisi negeri ini. Mempolitisasi kesholehan mungkin sering kita dengar berkumandang di bumi persada Indonesia. Kita membuat garis perbedaan tegas soal siapa yang sholeh dan siapa yang tidak, dan kemana para kaum yang dianggap sholeh itu menjatuhkan pilihan politiknya. Padahal perkara politik adalah mengenai jaminan kesejahteraan dan keadilan dalam kehidupan bernegara, bukan melulu soal perkara jaminan pahala dan investasi amal sholeh untuk kehidupan akhirat.

Tapi mungkin perkara lumrah agama begitu berdengung dalam kancah perpolitikan tanah air, mengingat Indonesia masih menjadi negara terdepan dalam perkara relijiusitas. Wajar begitu jika kita melihat keshalehan seseorang acap dijadikan barometer kapasitas kepemimpinan dalam diri seorang. Tapi hal yang aneh muncul dari ucapan Said Aqil Sirajd. Said Aqil mengatakan istilah kafir tidak dikenal dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara dan bangsa. Maka setiap warga negara memiliki hak yang sama di mata konstitusi. Karena itu yang ada adalah non-muslim, bukan kafir.

Padahal sejak negara ini belum berdiri pun masyarakat Indonesia kadung menggunakan kata tersebut sebagai pembeda antara beriman dan tidak beriman, dan mereka berdamai dengan kata itu. Kata kafir bahkan dicatat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai sebuah kata yang merujuk pada seseorang yang tidak percaya pada Allah SWT dan rasul-nya. Ucapan mengenai negara tidak mengenal kata kafir seperti yang diucapkan oleh Said Aqil jelas mengejutkan publik, apalagi itu diucapkan pada sebuah forum besar Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Banjar, Jawa Barat pada 1 Maret 2019 silam.

Publik sontak bertanya apakah ini pernyataan pendapat dari pikiran Said Aqil seorang atau pernyataan resmi PBNU yang dinyatakan oleh Said Aqil sebagai ketua PBNU. Tapi yang jelas belum ada deklarasi yang mengatasnamakan PBNU yang mengucapkan bahwa NU melarang penyebutan kafir oleh para jemaatnya. Mungkin ucapan Said Aqil pendapat pribadinya seorang yang merasakan keresahan yang melihat penggunaan kata kafir secara banal, terlepas dari konteks historisnya. Dan kata kafir yang kerap digunakan sebagai pembenaran seseorang dalam melakukan tindakan diskriminatif.

Kata kafir memang semakin bertendensi negatif semenjak kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama yang bukan seorang muslim tapi secara semena-mena membuat tafsiran yang dianggap keliru bagi umat muslim. Berangkat dari kasus tersebut ucapan mengenai kafir semakin runcing dan mempertajam perbedaan antara orang islam dan penganut agama lain.

Adakah pelarangan tersebut adalah motif politis? Demi merangkul suara pemilih di luar Islam kepada salah satu pasangan calon dalam pemilu, sebab sebagaimana yang kita tahu ada seorang imam besar NU yaitu K.H Maruf Amin yang dipinang Capres petahana. Hal tersebut masih samar kelihatannya, tapi yang jelas ada sebuah kompromi dengan umat di luar islam entah untuk kebaikan negeri ini atau untuk penguatan eksistensi NU dalam lingkaran kekuasaan pemerintah.

Di sisi yang lain rencana penghapusan kata kafir itu mendapat kritikan yang sangat keras. Rencana itu dinilai terlalu berani dalam mengatur-atur konsep baku yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Munarman Juru Bicara Front Pembela Islam, bahwa menghapus sebutan kafir berarti mau menghapus nomenklatur kafir dari Alquran. Hal tersebut akan sama artinya dengan menganggu konsep baku yang telah ditetapkan Allah SWT.

"Berani sekali mereka mengubah istilah dan konsep baku dari Allah. Mereka sudah menantang Allah itu," ujar Munarman. Menurutnya, ada lebih dari 500 kata kafir di dalam Alquran. Artinya mereka menolak konsep ini. Kata dan konsep kafir itu bukan ujaran kebencian ataupun diskriminasi. Itu istilah yang diberikan Allah kepada manusia yang menutup diri dari kebenaran Islam yang dibawa melalui baginda Rasulullah SAW. Memadankan konsep kafir dan warga negara adalah sebuah kekesatan berpikir menurut Munarman.

Akankah kritikan keras dari FPI itu berbalik menjadi batu sandungan bagi Said Aqil? Yang mana rencananya tersebut justru menimbulkan friksi diantara sesama muslim. Sejatinya menafsirkan apa yang adalah di Al-Qur'an dengan tafsiran yang semena-mena adalah sebuah kekerasan, sebuah kekerasan hermeneutis.

Sumber: Merdeka, Tempo, Viva, Mojok.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun