Mohon tunggu...
dispssins
dispssins Mohon Tunggu... Mahasiswa -

go Ahead

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Kini Guru Dituntut Menjadi "Pembantu" bukan Membantu Siswa

13 Agustus 2016   00:46 Diperbarui: 13 Agustus 2016   01:31 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Malam ini saya sangat ngontok melihat, menyaksikan, dan mendengar apa yang telah di beritakan oleh Metro Tv. Bagaimana tidak, menurut hemat saya berita tersebut seolah menyudutkan guru yang melakukan kekerasan terhadap siswanya khusunya kekerasan fisik. Berita ini semakin memanas ketika kasus guru muncul lagi dengan hasil teraniaya oleh orang tua murid. 

Saya teringat dengan zaman saya SD ketika banting-membanting siswa tidak muncul kepermukaan. Entah itu kami yang goblok atau memang kami menerimanya sebagai pelajaran atas kesalahan kami. Waktu itu saya ingat kami sedang baris pada hari senin untuk melakukan upacara bendera seperti biasanya untuk sekolah negeri di Indonesia, saya masih duduk di bangku kelas 1 SD. 

Biasa karena masih belum bisa berbaur dengan cepat sehingga guru kami yang waktu itu membariskan adalah yang menerima julukan sebagai guru killer harus mengeluarkan sedikit tenaga untuk mengatur barisan. Saya ingat beliau harus memegang batang kopi karena dengan suara saja itu tak cukup. bagi pembaca yang pernah merasakannya tentu momen-momen di pukul guru adalah momen-momen tak terlupakan. Kembali ke cerita saya terkena batang kopi sehingga kepala saya siangnya benjol. 

Rasanya sakit ditambah setelah saya pulang kerumah malah sakitnya tambah parah lewat perkataan peda dari orang tua. Karena saya adalah batak jadi orang tua bisa bilang begini, "Hurang Dopei, Bandal attong hamu, Na jolo Hami Naumpara sian i (kurang itu, Kalian pula bandal kali, Dulu kami lebih parah dari situ)

Kembali ke topik, Kenapa saya berani mengatakan demikian, saya tertarik dengan beberapa ulasan tentang perlindungan anak di sekolah salah satunya Pasal 54 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa “Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.” Adapun jenis-jenis kekerasan tercantum pada pasal 69, yaitu kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Sedangkan pada situs Wikipedia disebutkan ada empat kategori utama tindak kekerasan terhadap anak, yaitu : (1) pengabaian, (2) kekerasan fisik, (3) pelecehan emosional/ psikologis, dan (4) pelecehan seksual anak.

 Untuk sementara waktu peraturan ini memang boleh dikatakan bagus dalam menjaga keamanan dan kenyamanan anak di sekolah. Lantas bagi beberapa orang peraturan ini bisa menjadi ayat emas yang digunakan bagi orang-orang yang merasa keamanan dan kenyamanan anaknya di sekolah telah terancam. 

Menurut yang saya dengar dari KPAI langsung bahwa guru tidak boleh bertindak semena-mena terhadap guru. Memang benar seperti pelecehan dan kekerasan. Namun dalam konteks kekinian supaya di bilang hebat bahwa kekerasan yang dimaksud tidak boleh mencubit, menjewer.  Hal itu dianggap tabu oleh KPAI dan juga kata-kata tak senonoh. Saya yakin hal itu tidak bisa dilepaskan dari tahun ke tahun di Indonesia karena mayoritas siswa di indonesia adalah mayoritas siswa yang cengeng. Kenapa demikian kita bisa lihat fakta dilapangan. Memang ada sebagian guru di Indonesia yang boleh dikatakan di luar batas namun hal itu juga tak jauh dari perilaku si anak yang membuat kesalah di mata sang guru. 

Lantas zaman ini jika sang murid melakukan pelanggaran terhadap tata aturan sekolah yang ada misalnya tidak mengerjakan PR dan sebagainya haruskah di timang-timang atau haruskah dimanja-manja atau dengan kata lain dibiarkan begitu saja. Jika kelakuan siswa jelek dimata orang tua lantas siapa yang disalahkan, jawabannya GURU. bagaimana guru mu itu tidak mengajar dengan baik, masalah ini saja tidak bisa? atau orang tua datang kesekolah karena anaknya mengadu lewat sosial media dan media elektronik lainnya. Lantas tidakkah orang tua memberikan kewajiban penuh untuk menyerahkan anaknya sepenuhnya kepada sekolah. 

Saya tertarik dengan perkataan guru SMA saya ketika duduk di bangku SMA mengenai kekerasan di dalam sekolah antara guru dan murid. Nak ingat, kalian jangan cengeng kalau guru kalian mencubitlah, menampar lah dan sebagainya lah, hal itu tidak jauh dari sikap kalian yang membuat kami sangat menjadi jengkel terhadap kalian seperti melawan lah kalau diperingati dengan kata-kata, cakap kotorlah. itu wajar-wajar saja. Akan tetapi kalian berhak menuntuk kepada pihak yang berwajib ketika "KUPING KALIAN DI GANTI DENGAN KUPING NYAMUK". Kiasan tersebut tidak bisa saya lupakan karena maknanya begitu dalam. Arti yang disampaikan beliau adalah kalian berhak menuntuk ketika sang guru melakukan kekerasan secara tidak sengaja diluar batas kendalinya seperti kalian di tendang lah, di pukulkan kepada kalian kedinding lah, di makan lah dan sejenisnya. 

intinya guru itu harus "pembantu" bagi murid. Dalam konteks ini bukan berarti ke arah yang negatif seperti pembantu rumah, namun guru harus di tuntut menjadi "lembek" seperti tahu. Ibarat jika melakukan kesalah cukup menasehatinya dengan selebut-lembutnya. "cupp..cuppp... jangan lagi ulangi kesalahanmu ya nak". Hasilnya adalahsang murid akan semakin meraja lela sehingga yang disalahkan orang tua kembali adalah sang Guru. 

Hidup guru Indonesia. Kalian memang dianggap kecil tetapi kalian lah yang terbesar di dunia ini bahkan Presiden pun sebenarnya jauh di bawah kalian.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun