Mohon tunggu...
Dirga Ardian Nugroho
Dirga Ardian Nugroho Mohon Tunggu... Jurnalis - Karyawan

Membaca, Menulis, Berpikir

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Natural Resource Curse, Mimpi Buruk Perekonomian Indonesia

8 November 2019   23:21 Diperbarui: 8 November 2019   23:32 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Roda waktu kehidupan terus berputar. Kita sebagai manusia dan segala aspek kehidupannya terus mengalami perkembangan. Dari tradisional menjadi modern, dan dari manual menuju ke otomatisasi. 

Segala bentuk perubahan tersebut tentunya bertujuan untuk semakin memudahkan kehidupan manusia di muka bumi ini, baik di bidang sosial, budaya, ekonomi, politik, dan lain-lain. Berbagai perubahan menuju kemudahan tersebut berasal dari hasil kreasi tangan manusia yang disebut teknologi.

Perkembangan dan pergerakan arus modernisasi terus menerus bergulir dan tak terbendung. Munculnya teknologi di tengah-tengah peradaban manusia semakin bisa kita rasakan. Contoh yang paling nyata ialah dalam bidang komunikasi. 

Cara kita untuk berkomunikasi jarak jauh pada masa lampau, berbeda dengan di masa sekarang. Tidak hanya dalam bidang komunikasi saja, teknologi juga turut memberikan pengaruhnya terhadap aspek kehidupan manusia lainnya, seperti ekonomi.

Munculnya teknologi dalam kaitannya dengan ekonomi, dapat terlihat dengan semakin efisiennya kegiatan produksi dengan bantuan mesin, semakin terintegrasinya sistem pembayaran, dan bentuk-bentuk kemudahan lainnya. Namun tidak sampai di situ saja, hal yang perlu kita sadari ialah, bahwa kemunculan teknologi ini juga turut membawa dampak positif dan dampak negatif.

Salah satu bentuk dampak positif dari adanya teknologi ini ialah dapat meningkatkan efektivitas suatu proses produksi. Contohnya seperti teknik produksi yang awalnya masih tradisional dengan mengandalkan banyak tenaga manusia (labor intensive) dapat beralih ke proses produksi yang lebih efisien dengan bantuan mesin. Akan tetapi, kondisi ini akan menimbulkan pengurangan faktor-faktor produksi, yaitu pengurangan tenaga kerja. 

Dimana hal tersebut dapat memicu pengangguran. Maka dari itu, ada hal yang dirasa perlu diberi perhatian lebih, karena peralihan ini tidak dapat berlangsung begitu saja.

Robert Merton Solow dalam Teori Pertumbuhan Ekonominya, menjelaskan bahwa teknologi memiliki peran penting dalam mendorong kondisi perekonomian sebuah negara. Hal ini tentu juga dapat berlaku di Indonesia. Bagaimana teknologi dapat menjadi sebuah 'suplemen' guna menciptakan kemakmuran di tengah masyarakat Indonesia. 

Salah satu hal yang patut didorong dalam menyokong kondisi ekonomi di Indonesia adalah dengan cara mengedepankan sektor-sektor unggulan atau potensi yang dimiliki oleh Indonesia. 

Dengan demikian akan mampu menciptakan kemandirian dari dalam negara Indonesia itu sendiri. Salah satu jenis potensi atau keunggulan yang dimiliki oleh Indonesia ialah Sumber Daya Alam (SDA). 

Sejarah telah membuktikan bahwa sejak dahulu kala Indonesia menjadi rebutan oleh para penjajah asing karena terkenal dengan sumber daya alamnya yang melimpah. Namun, di masa sekarang, dapatkah Indonesia secara mandiri dapat mengoptimalkan kekayaan yang dimilikinya ini?

 Negeri yang Kaya

Sudah bukan hal yang tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Indonesia memang benar-benar kaya akan sumber daya alam yang dimilikinya. 

Dalam laporan yang dirilis oleh US Geological Survey -- sebuah lembaga di bidang geologi dari Amerika Serikat -- menyebutkan bahwa Indoneisa dalam sisi produksi dan cadangan bahan tambang, menempati beberapa posisi yang menjanjikan di antara negara-negara lain. 

Indonesia mempunyai cadangan timah terbesar kedua sedunia. Selain itu, Indonesia mempunyai cadangan emas keenam terbesar di dunia dan panas bumi terbesar di dunia.

Bila dilihat secara menyeluruh, kontribusi sektor primer -- pertanian, kehutanan, perikanan, dan pertambangan -- yang dimiliki oleh Indonesia memiliki laju pertumbuhan yang beragam. Dari tahun 2014-2018 laju pertumbuhan sektor pertanian, kehutanan, perikanan, dan pertambangan secara kumulatif mengalami fluktuasi. 

Menurut data Badan Pusat Statistika (BPS), pada tahun 2014, Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan secara kumulatif, laju pertumbuhannya mencapai angka 4,24%. Angka tersebut adalah titik atau capaian tertinggi selama tahun 2014-2018. Sedangkan, titik terendahnya terjadi pada tahun 2016, dimana laju pertumbuhannya hanya mencapai 3,37%.

Berbeda dengan Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan, Sektor Pertambangan dan Penggalian justru pernah mengalami kontraksi. Kendati kondisi Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan sempat mengalami penurunan pada tahun 2014-2016, hal tersebut tidak sampai menyebabkan kontraksi dalam sektor tersebut. 

Sektor Pertambangan dan Penggalian pernah mengalami kontraksi hingga 3,42% pada tahun 2015. Meskipun demikian, kondisi laju pertumbuhannya berangsur membaik hingga tahun 2018, dimana sanggup mencapai angka 2,16%. Angka tersebut juga menjadi capaian laju pertumbuhan tertinggi dari tahun 2014-2018.

Kendati menjadi negara yang kaya akan SDA, laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dari sisi produksi, justru didominasi oleh sektor lain. Pada akhir tahun 2018 lalu, laju pertumbuhan tertinggi dicapai oleh sektor Jasa Lainnya dengan capaian sebesar 9,08%. 

Disusul oleh sektor Jasa Perusahaan (8,94%) dan Pengadaan Air (7,92%). Sedangkan, laju pertumbuhan Pertanian dan Pertambangan merupakan 2 (dua) sektor dengan laju pertumbuhan terendah di tahun yang sama. Hal ini tentu harus diperbaiki, mengingat apa yang menjadi sumber kekayaan utama Indonesia adalah SDA yang dimilikinya.

 Bukan Sembarang Kutukan

Ketidakmampuan Indonesia atau negara-negara lain dalam mengoptimalkan kekayaan SDA yang dimilikinya, dapat berujung fatal. SDA yang ada tidak dapat memberi sumbangan atau kontribusi yang optimal bagi kondisi perekonomian sebuah negara. 

Ketidakmampuan ini dikenal dengan istilah Natural Resources Curse (Kutukan Sumber Daya Alam). Hal ini menjelaskan bahwa sebuah negara dengan kelimpahan SDA, justru memiliki kondisi ekonomi yang tidak cukup baik.

Paradoks Kutukan Sumber Daya Alam pertama kali diperkenalkan oleh Richard M. Auty. Dalam penelitiannya yang bertajuk "Sustaining Development in Mineral Economies: The Resource Curse Thesis", dirinya menelusuri ketergantungan negara-negara yang secara ekonomi bergantung pada kekayaan sumber daya alam, khususnya sumber daya mineral. 

Ada beberapa hal yang dapat menimbulkan terjadinya fenomena ini, seperti kebergantungan yang berlebih pada SDA sebagai komoditas ekspor. 

Harga yang ditentukan oleh pasar global kerap kali tidak dapat diantisipasi karena harga komoditas SDA yang belum diolah cenderung fluktuatif. K

emudahan untuk mendapatkan hasil alam tanpa pengolahan lebih lanjut -- hanya bersifat ekstraktif -- menimbulkan efek ketergantungan, apalagi kalua harga komoditasnya tengah di titik tinggi-tingginya. Hal ini juga memicu minimnya inovasi untuk pengembangan SDA.

Tidak sampai di situ saja, Leonard Wantchekon dalam penelitiannya -- Why Do Resource Dependent Countries Have Authoritarian Governments? -- tentang hubungan antara kekayaan SDA dengan kualitas kelembagaan pemeirntah menyebutkan bahwa 1 (Satu) persen peningkatan ketergantungan terhadap SDA dapat meningkatkan probabilitas pemerintahan yang otoriter hamper 8 (delapan) persen. 

Hal ini mencerminkan tentang adanya hubungan kekayaan SDA terhadap tata kelola pemerintah. Dimana pemerintah juga memegang peran penting dalam pengelolaan kekayaan negara, salah satunya adalah SDA.

Natural Resource Curse bukanlah mitos belaka. Fenomena ini sudah terjadi di beberapa negara di belahan dunia. Contohnya Nigeria yang tidak mampu mengoptimalkan potensi minyak bumi yang dimilikinya. 

Ada pula Republik Kongo yang gagal memanfaatkan sumber daya intannya dan menempatkannya sebagai salah satu jajaran negara termiskin di dunia.

Sumber Daya Alam dalam Dunia Pemerintahan

Kekayaan SDA yang dimiliki oleh suatu negara tentu dapat menjadi modal dalam mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Terkait tentang prakti serta strategi pembangunan ekonomi yang besangkutan, pemerintah memiliki peran yang cukup penting dalam pengelolaannya. 

Kondisi pemerintahan yang cukup baik tentunya dapat mengoptimalkan modal -- dalam hal ini adalah kekayaan SDA -- guna menciptakan pertumbuhan ekonomi serta kesejahteraan bagi masyarakatnya. Akan tetapi, bagaimana bila yang terjadi justru sebaliknya?

Otaviano Canuto dan Marcelo Giugale dalam bukunya yang berjudul "The Day After Tomorrow", menjelaskan bahwa kekayaan SDA dapat berujung pada kondisi perekonomian yang buruk. Negara dengan kondisi pemerintahan yang relatif buruk akan menerapkan kebijakan perekonomian yang cenderung buruk pula. 

Hal ini akan memicu terjadinya kesalahan dalam pengalokasian dan pemberdayaan sumber daya. Dengan kata lain, kualitas pemerintah -- baik atau buruknya -- memegang kendali yang cukup penting. Bahkan, beberapa negara yang tidak memiliki sumber daya alam yang melimpah justru memiliki kondisi perekonomian yang relatif lebih baik.

Singapura contohnya, salah satu anggota ASEAN ini menjadi salah satu negara yang dapat menyandang predikat sebagai negara maju dari segi ekonominya.

 Bila dilihat dari salah satu program penelitian Bank Dunia, yaitu Worldwide Governance Indicators, dimana di dalamnya terdapat beberapa komponen atau indikator penilaian terkait kualitas sebuah pemerintahan, Singapura merupakan negara yang memiliki nilai yang cukup baik.

Tiap-tiap indikator dalam penelitian ini memiliki batas nilai bawah (-) 2,5 dan batas atas (+) 2,5. Singapura dalam salah satu indikator penilaian yaitu Government Effectiveness menduduki peringkat teratas dengan nilai sebesar 2,21. Sedangkan Indonesia ada di peringkat ke-86 dari 193 negara dengan nilai 0,04.

 Keluar dari Bayang-bayang Kutukan

Sebuah negara akan cenderung bergantung pada sumber daya alam bila kontribusinya menjanjikan. Hal ini dapat dilihat salah satunya dari aktivitas ekspor yang terus menerus bergantung pada komoditas sumber daya alam. 

Padahal ekspor jenis ini harganya cenderung fluktuatif. Pada saat harga komoditas sumber daya alam mengalami boom, bukan tidak mungkin sebuah negara akan cenderung mengandalkannya terus menerus guna mendapatkan pendapatan yang berlebih. 

Namun, dalam jangka panjang, bukan tidak mungkin harga komoditas sumber daya alam dapat mengalami bust, karena harganya yang ditentukan oleh pasar. Maka saat itulah pendapatan sebuah negara dari sektor sumber daya alam sebagai komoditas ekspor akan menurun.

Dalam mengatasi hal di atas, perlu dilakukan inovasi agar tidak melulu begantung pada hasil ekstrasi alam yang minim akan nilai tambah. 

Perlu adanya suatu proses yang dapat memberikan nilai tambah yang lebih. Dimana dari hal ini, diharapkan dalam jangka panjang suatu negara tidak akan bergantung pada sumber daya alam terus menerus. 

Hal ini dapat mengandalkan peran teknologi. Senada dengan Teori Pertumbuhan Ekonomi yang diutarakan oleh Robert Solow. Kendati demikian, hal ini tidak dapat begitu saja perlu adanya kolaborasi dan dukungan dari pihak pemerintah dan swasta.

Selain itu, perlu adanya peningkatan kualitas sumber daya alam pula. Baik dalam masyarakat itu sendiri dan juga dari dalam tubuh pemerintah. 

Agar kekayaan sumber daya alam yang dimiliki oleh Indonesia dapat dioptimalkan dengan baik. Sehingga, perlahan Indonesia dapat keluar dari kutukan sumber daya alam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun