Mohon tunggu...
Boby Lukman Piliang
Boby Lukman Piliang Mohon Tunggu... Politisi - Penulis, Penyair dan Pemimpi Kawakan

Penulis, Penyair dan Pemimpi Kawakan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Berharap ke Tuah Mahkamah Konstitusi

29 Januari 2021   13:48 Diperbarui: 29 Januari 2021   13:53 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto www.tribunsumbar.com)

Mahkamah tentu memiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan menetapkan bahwa telah terjadi sesuatu yang janggal dibalik penetapan tersangka itu.

Mahkamah Konstitusi resmi menggelar persidangan perselisihan hasil pelaksanaan pemilihan umum sejak Senin (25/1) awal pekan ini. Terdapat 132 permohonan yang diajukan ke MK pasca Pilkada 9 Desember 2020 lalu (www.kompas.com; 21 Januari 2021). Salah satu dari permohonan itu disampaikan oleh Pasangan Calon (Paslon) Gubernur Sumbar Ir. H. Mulyadi - Ali Mukhni (Mualim).

Namun berbeda dengan kebanyakan gugatan yang diajukan oleh paslon lain ke MK, gugatan yang diajukan Mulyadi bukanlah soal perhitungan suara seperti jamaknya permohonan ke MK yang selama ini diajukan. Mulyadi dan pasangannya Ali Mukhni mengajukan permohonan karena haknya sebagai calon gubernur di Pilkada 2020 silam ditenggarai telah dikebiri. Mulyadi dikalahkan sebelum hari pemilihan karena status tersangka aneh yang disandangnya.

Status tersangka Mulyadi inilah yang menjadi inti dari permohonannya ke mahkamah. Bayangkan betapa menggelikannya, Mulyadi yang tengah berjuang memenangkan kontestasi Pilkada "dipatahkan kakinya" dengan menjadikannya tersangka dalam kasus dugaan pelanggaran jadwal kampanye.

Padahal jika mengacu pada hasil rapat pleno Komisi Penyiaran Indonesia, tampilnya Mulyadi di Stasiun televisi TV One dalam acara "Coffee Break" bukanlah program kampanye. Namun keputusan ini diabaikan begitu saja oleh Bawaslu, Gakumdu dan aparat kepolisian. Alhasil Mulyadi menyandang status tersangka yang berbau tidak sedap.

Selasa lalu, Mahkamah telah menggelar sidang guna memeriksa permohonan Mulyadi. Sebuah permohonan Pilkada yang belum pernah diajukan sebelumnya. Jika selama ini permohonan diajukan berkaitan dengan dugaan adanya permainan Money Politics, Keterlibatan Aparatur Sipil Negara (ASN) dan ketidakadilan penyelenggara (KPU/Bawaslu), kini bertambah satu lagi yaitu dugaan adanya permainan politik mentersangkakan Mulyadi dan berujung pada kehilangan suara di Pilkada lalu.

Dapat kita pelajari dan tentu juga menjadi bukti bahwa status tersangka yang disandangnya selama lima hari itu membawa pengaruh pada pemilihnya. Saya sendiri adalah pihak yang merasa dirugikan oleh penetapan tersangka itu. Sebab dengan tersangkanya Mulyadi, seorang Komisioner KPU Sumbar langsung mengeluarkan pernyataan aneh bin ajaib yang menyebutkan bahwa Mulyadi bisa dibatalkan sebagai peserta Pilkada.

Jelas dalam hal ini kita berharap kesembilan Hakim MK dapat berlaku adil dan jernih dalam menganalisa masalah. Sebab yang Mulyadi tentu berhak mendapakan keadilan. Ia dijegal untuk menang dan itu, diduga melibatkan beberapa pihak yang seharusnya tidak boleh ikut serta.

Sangatlah patut dipertanyakan apa alasan aparat kepolisian menetapkan Mulyadi sebagai tersangka dan lucunya status itu dicabut setelah Pilkada selesai. Dan apa pula kepentingan Komisioner KPU Izwaryani mengeluarkan pernyataan sebodoh itu.

Mahkamah tentu memiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan menetapkan bahwa telah terjadi sesuatu yang janggal dibalik penetapan tersangka itu.

Saya mendapatkan info bahwa secara statistik pula, Mulyadi melalui kuasa hukumnya telah menyerahkan bukti dan analisa bahwa akibat penetapan tersangka itu ia berpotensi kehilangan suara pemilih yang sangat signifikan.

MK adalah lembaga tertinggi yang berhak memutuskan permohonan sangketa Pilkada ini. Karena dalam hal ini yang dituntut oleh Mulyadi adalah haknya sebagai warga negara untuk dipilih menjadi pemimpin dihilangkan dengan buruk dan semena mena.

Masyarakatpun akibat status tersangka serta pernyataan tidak beretika komisioner KPU menjadi korban. Kesempatan dan hak konstitusionel mereka untuk mendapatkan pemimpin yang akan membawa perubahan dan kemajuan menjadi terhalang.

Mahkamah tentu lebih paham akan hal ini. Hilangnya hak dasar warga negara untuk memilih dan dipilih apalagi dilakukan dengan kesadaran dan bertujuan agar seseorang tidak mendapatkan haknya adalah sebenar benar pelanggaran konstitusi yang tidak dapat diterima.

Semoga apa yang diharapkan oleh Dr. Margarito Kamis dalam sebuah wawancaranya dengan media di tahun 2014 silam bahwa MK harus benar benar menjadi Mahkamah Konstitusi dapat menjadi kenyataan. Sebab jika MK hanya menghitung suara dan selisih yang disangketakan, MK hanya akan menjadi Mahkamah Kalkulator semata.

Tentu jika demikian, putuslah harapan kita akan adanya keadilan, dan menjadi pertanyaan serta penyelesalan seumur hidup, kepada siapa lagi kita berharap keadilan kalau bukan kepada Yang Mulia Hakim Konstitusi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun