Mohon tunggu...
Dipa Priyanto
Dipa Priyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Dipa Priyanto

Play Work!

Selanjutnya

Tutup

Film

Pergaulan Bebas dalam Film "Dua Garis Biru"

27 November 2021   16:04 Diperbarui: 27 November 2021   16:07 817
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Film Dua Garis Biru ini diangkat dari sebuah problematika kota metropolitan Jakarta tentang pergaulan bebas. Film ini menceritakan tentang kehidupan sepasang remaja Bima dan Dara yang sedang menikmati jalinan asmara. Tokoh utama film ini diperankan oleh Angga Aldi Yunanda sebagai Bima dan Adhisty Zara sebagai Dara. Film ini juga turut menghadirkan pemain senior seperti Cut Mini dan Arswendy Bening Swara sebagai orang tua Bima, serta Lulu Tobing dan Dwi Sasono sebagai orang tua Dara. Mereka bisa menjadi sebuah gambaran orang tua menghadapi anaknya yang berada dalam usia remaja dengan ragam latar belakang yang berbeda.

Dara dan Bima adalah sepasang remaja kelas XII SMA. Seusia mereka belum mempertimbangkan hubungan secara realistis. Mereka juga mungkin tidak mempertimbangkan suatu tindakan yang akan bersifat fatal terhadap masa depan. Kepolosan mereka melewati batas sepasang kekasih itu sendiri tanpa tahu konsekuensinya. Seks pranikah yang mereka lakukan atas kesadaran bersama, di siang hari dan di rumah Dara. 

Ketakutan keduanya muncul setelah Dara positif hamil melalui indikator dua garis pada test pack. Seperti remaja pada umumnya, demi menutupi kesalahan aborsi menjadi pilihan, meski Dara akhirnya menolak. Dari segi psikologi menurut Hurlock, bila hubungan remaja dengan anggota keluarga yang lain tidak harmonis selama masa remaja, biasanya kesalahan terletak pada kedua belah pihak. Tidak dipungkiri terjadi kesenjangan generasi yang sebagian disebabkan oleh adanya perubahan radikal dalam nilai dan standar perilaku.

Perbedaan latar belakang ekonomi antara keluarga Bima dan Dara yang ditunjukkan melalui kondisi rumah dari kedua keluarga tersebut. Keluarga Bima tinggal di sebuah kampung padat penduduk yang terletak di gang sempit, jauh dari jalan utama sehingga sulit dijangkau menggunakan mobil. Sementara Dara lahir di tengah keluarga dengan tingkat ekonomi yang tinggi. Rumah Dara luas dengan halaman dan kolam renang pribadi.

Perbedaan cara dalam menyikapi sebuah permasalahan ditunjukkan oleh orang tua Dara saat pertama kali mengetahui apa yang terjadi pada anaknya. Mereka mengancam untuk menuntut sekolah juga Bima melalui jalur hukum. Hal tersebut jelas bukan hal yang susah bagi seseorang yang memiliki harta berlebih juga relasi yang luas. Sementara keluarga Bima, hanya mampu meratapi perbuatan anaknya dengan diam dan menangis. Menganggap bahwa apa yang sedang terjadi adalah sebuah cobaan dari sang pencipta.

Penggambaran lingkungan sekitar sukses mengantarkan jalan cerita. Dan secara tidak langsung juga menjadi refleksi bagi Dara bahwa kehidupan rumah tangga tak selalu manis. Terbukti ketika melewati lorong ada pertikaian suami istri, bisik-bisik orang sekitar, dan lain-lain. 

Menjadi bayang-bayang resiko pernikahan dini yang bisa berakibat pada KDRT, kasus perceraian, perselingkuhan, dan sebagainya. Satu hal, film Dua Garis Biru ini menjawab kesalahpahaman masyarakat awam mengenai warna garis pada test pack sebagai tanda jenis kelamin janin. Hal ini disinggung dalam dialog Bima dengan dokter kandungan. Bima mengira anak yang dikandung Dara adalah perempuan dari dua garis merah pada test pack. Padahal bukan berarti demikian, itu tergantung merek.

Film Dua Garis Biru ini juga memperlihatkan bahwa kehidupan setelah menikah itu tidak selamanya berjalan mulus. Seperti halnya perselisihan antara Dara dan Bima setelah menikah. Ditunjukan dengan adanya adegan Bima yang selalu bermain game dan bolos sekolah membuat Dara marah akan hal tersebut. Eksposisi pada film ini menitikberatkan isu seks pra nikah, praktik aborsi, dan pernikahan dini melalui narasi cerita yang intim dan akrab. Meski, sesuai dengan realitas, sutradara justru mengemas dengan cara yang berbeda, menciptakan hal kontras antar tokoh.

Kasus yang dinyatakan dalam Film Dua Garis Biru ini bisa menimpa siapa saja tanpa memandang gaya pergaulan atau status sosial. Sebab disadari betul, keluarga yang erat dengan didikan religius bisa terseret. Pertumbuhan dan perkembangan remaja harus sejalan dengan partisipasi orang-orang di sekitarnya. Sikap saling tertutup, memilih diam dan lepas tangan dengan mempercayakan mereka mampu menjaga martabat keluarga malahan berdampak buruk pada ruang komunikasi yang dibangun. 

Edukasi seks dapat dipelajari melalui film ini. Tak hanya itu, film tersebut juga hadir untuk menggebrak kesadaran sekaligus pengingat bagi pasangan kekasih untuk tidak melanggar batasan-batasan yang ada. Selain itu, yang terpenting dari film ini ialah bagaimana orang tua semestinya berkomunikasi dan membimbing anak-anaknya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun