Menjelang Lebaran, tepatnya 9 Juli 2015, rakyat Indonesia bisa menikmati turunnya harga-harga sejumlah barang yang biasanya tergolong mewah. Sebab pada tanggal itu ada 33 barang mewah yang dibebaskan dari pajak. Mulai dari kulkas, pemanas air, mesin cuci, sampai tas dan pakaian branded akan bisa dibeli tanpa beban Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
Di tengah kegembiraan publik atas dihapusnya pajak barang mewah, justru ada yang bersuara sumbang. Faisal Basri, mengutarakan kekhawatirannya yang berlebihan. Dia berpendapat, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 106/PMK.010/2015 sebagai pengganti PMK Nomor 130 tahun 2013 tidak membantu meningkatkan daya beli masyarakat. Faisal juga mengungkit soal ketakutannya bahwa penghapusan PPnBM akan membuat industri dalam negeri jatuh.
Ketakutan yang berlebihan, terkesan mengada-ada. Justru produk buatan lokal bisa lebih bersaing dengan barang impor. Mengapa? Kelas menengah atas yang sudah terbiasa berbelanja barang impor akan melirik produk lokal, karena harganya tidak akan beda jauh. Kebanggaan mereka yang biasa memakai barang impor akan berkurang, sebab ternyata harganya nyaris setara dengan barang impor.
Kondisi ini dapat dimanfaatkan oleh industri dalam negeri untuk memproduksi barang yang berkualitas dengan harga bersaing dengan barang impor. Segmen mereka kelak bukan hanya kelas menengah ke bawah, tapi juga kelah menengah atas yang biasa memakai barang impor. Bukankah kondisi ini sangat positif?
Efek positif lain dengan dihapusnya PPnBM adalah, kalangan menengah atas tidak perlu berbelanja barang mewah ke luar negeri, sebab di dalam negeri pun harganya sudah terjangkau. Biasanya mereka shopping ke Singapura untuk memborong tas dan pakaian branded demi menghindari pajak. Ada ajang bernama The Great Singapore Sale, di mana kelas menengah atas Indonesia membanjiri negeri jiran itu untuk memboyong produk branded sebanyak-banyaknya. Bayangkan, berapa banyak uang kita tersedot ke negara tetangga itu? Hal ini bisa diminimalisir saat pajak barang mewah di Indonesia dihapus. Bahkan kalau perlu kita buat The Great Jakarta Sale untuk menyedot devisa.
Menkeu Bambang P.S. Brodjonegoro mengaku kesulitan mengutip PPnBM impor maupun bea masuk setiap kali ada warga Indonesia yang berbelanja tas mahal di Singapura. Jika terus dibiarkan maka pemerintah dirugikan, karena semua barang mewah itu masuk “nyelonong” begitu saja tanpa memberi kontribusi apapun ke devisa Indonesia.
Jadi curiga, ada apa gerangan dengan kritik Faisal Basri atas kebijakan penghapusan PPnBM ini. Mengapa dia tidak senang dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia? Apakah dia antek asing, dalam hal ini Singapura?
Dan jangan lupa, selama ini Indonesia jadi pasar barang selundupan demi bisa menghindari pajak. Kalau pajaknya dihapus, otomatis penyelundupan tak perlu lagi dilakukan, dan kerugian negara bisa ditekan.
Ayolah Bang Faisal Basri, segala argumen Anda tentang keberatan dengan penghapusan PPnBM sangat tak beralasan. Anda semestinya mendukungnya, apalagi pemerintah juga berencana menghapus PPnBM atas barang elektronik. Sebaiknya Anda mendukung daripada dicurigai sebagai "antek Singapura".