Setelah pulang dari bank, saya pun menceritakan solusi yang diberikan oleh pihak bank kepada kedua orang tua saya.
Tanpa dinyana, kedua orang tua saya menganjurkan agar saya memilih solusi kedua, yaitu melunasi KPR dengan cara menjual rumah tersebut.
Namun mereka berpesan jika saya jadi melepas rumah tersebut, saya harus mampu membeli rumah baru dari hasil penjualan rumah tersebut.Â
Argumen yang mereka sampaikan sangat masuk akal. Mereka bertanya kepada saya apakah saya mampu mendapatkan pekerjaan dalam waktu dekat? Kalau pun mendapatkan pekerjaan, apakah gaji yang ditawarkan akan mampu menutupi seluruh pengeluaran per bulannya?Â
Jika tidak, kata mereka, bisa jadi saya pun tidak akan mampu membayar cicilan KPR, yang pada akhirnya rumah akan disegel dan disita oleh bank.
Selain itu, mereka menyarankan saya untuk memikirkan jangka waktu kredit yang masih panjang dengan segala persoalan yang (mungkin) akan terjadi lagi seperti saat ini.
Guys, ketika saya memutuskan mengambil rumah dengan cara KPR pada tahun 2012, saya tidak berpikir tentang resiko yang akan terjadi seperti saat ini.Â
Waktu itu, saya hanya berpikir bagaimana bisa memiliki rumah sesegera mungkin. Saya pun yakin dengan kemampuan finansial saya untuk mencicil rumah melalui KPR.
Parahnya lagi guys, saya terbujuk rayuan dari marketing bank yang mengusulkan saya mengambil KPR dengan tenor panjang, yaitu 20 tahun.
Dua tahun awal memang indah. Saya hanya dikenakan suku bunga 7%, sehingga saya hanya membayar cicilan per bulan Rp 3.7 juta.
Namun sesudah dua tahun, penderitaan mulai datang. Cicilan KPR saya tiba-tiba meningkat menjadi Rp 5.7 juta per bulan dengan suku bunga 13.5%. Sejak saat itu, suku bunga tersebut tidak pernah turun sampai pandemi ini terjadi.