Mohon tunggu...
Dion Ginanto
Dion Ginanto Mohon Tunggu... Guru - Seorang Guru, Peneliti, Penulis, dan Pengamat Pendidikan

Dion Ginanto received his undergraduate degree in TESOL (Teaching English as a Second Language) from Jambi University. He was awarded “MAWAPRESNAS” (the best student award by the Ministry of Education and Culture) in 2006. He was also an AIYEP-er 2007/2008 (Australia Indonesia Youth Exchange Program). In 2009, he joined to the short course training of the KAPLAN TKT program in New Zealand. Currently, he is doing his master at Michigan State University (MA, K-12 Educational Administration). He has published his first book entitled: “Jadi Pendidik Kreatif dan Inspiratif: Cara Mengobati 10 Penyakit Profesional. He works at SMA N 1 Batanghari, Jambi, as a teacher. He also teaches at Islamic State University Jambi, and IAIN Batanghari Jambi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Parental Involvement: Butuh Orang Sekampung untuk Membesarkan Seorang Anak

2 April 2019   10:39 Diperbarui: 2 April 2019   10:42 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

It takes a Village to Raise a Child (African Proverb)

Ketika Obama tinggal di Indonesia, sang Ibu benar-benar memastikan bahwa puteranya tetap dibekali dengan pendidikan ala Amerika. Oleh karenanya, Ibu Obama memutuskan untuk mengajari Obama kecil American Education setiap hari pada jam 4.30 pagi. 

Obama sering tertidur di meja belajar dapur, sementara sang Ibu tetap semangat mengajar. Obama kecil tentu tidak senang dan sering protes, karena pukul 4.30 bukanlah waktu untuk belajar apalagi untuk seukuran anak SD yang biasanya pulas pada saat fajar. 

Ann Dunham, Ibu Obama pun menjawab dengan santai, "kamu fikir aku juga senang melakukan ini?"

Meski single mother, Ibu Obama kecil telah berhasil membuktikan kepada dunia bahwa peran orang tua pada pendidikan anak sangatlah penting. Inilah yang masih missing pada dunia pendidikan kita. 

Orang tua selalu berdalih sibuk, untuk sekedar mengajari anak-anaknya bekal pendidikan tambahan selain dari bangku sekolah. Bekal apapun itu, termasuk yang paling penting adalah bekal ilmu agama. 

Ilmu dasar mengaji dan akhlakul karimah. Karena, akhir-akhir ini, banyak generasi muda buta huruf aksara arab, sehingga mereka tak mampu membaca Al-Quran dengan lancar.

Atau bekal kepribadian yang akhir-akhir ini mulai pudar seiring berkembangya IT. Seperti Orangtua Maudy Ayunda, yang meski seorang artis sukses tetap mempunyai passion untuk mengejar pendidikan hingga diterima di Standford University and Harvard University pada saat yang bersamaan. Usut punya usut ternyata kedua orangtua membesarkan Maudi Ayunda tanpa televisi dan gadget.

Berbeda dengan Maudy Ayunda, generasi usia sekolah saat ini lebih sering bergaul dengan dunia maya, ketimbang dunia nyata. Hasilnya, anak tidak mempunyai bekal etika bersosialisasi dengan teman sebaya dan yang lebih tua. Sehingga adab dan norma sopan santun yang berlaku di daerah semakin hari semakin luntur. 

Passion untuk bermimpi dan berkarya ala Maudy Ayunda pun semakin hari semakin menurun akibat terlalu bergantungnya generasi muda pada gadget.

Sangat sering kita lihat di tempat belanja, dengan tidak berdosanya pembeli memotong antrian untuk membayar. Atau ketika bepergian, betapa dengan mudahnya penumpang mobil mewah membuang sampah dari dalam mobil. Atau, sulitnya anak-anak jaman now untuk sekedar mengucapkan terima kasih atau meminta maaf. 

Kita tak lagi bisa mengadalkan pendidikan basik ini pada sekolah. Karena sekolah tentu tak mampu membimbing satu persatu muridnya secara detail. Ditambah lagi tuntutan kurikulum, dan tugas adminsitrasi guru yang menumpuk hingga akhirnya pendidikan karakter peserta didik agak terkesampingkan.

Bukan hanya itu, jika kita mengamati dan mengikuti perkembangan kebijakan di Indonesia saat dewasa ini, pemerintah memberikan fokus yang luar biasa pada perbaikan kuantitas dan kualitas tenga pengajar, pergantian kurikulum, dan perbaikan sarana pendidikan (Farizi, 2015). 

Saya setuju, bahwa guru, infrasturktur, dan kurikulum adalah tiga unsur utama penunjang keberhasilan kualitas peserta didik. 

Namun, ada satu lagi unsur yang selama ini luput dari perhatian pemerintah, yaitu penyertaan orangtua dalam kehidupan sekolah. Tentu orangtua adalah elemen yang tidak dapat ditinggalkan dalam narasi pendidikan dan pengajaran. Karena seyogyanya, sekolah adalah penjual jasa, sedangkan orangtua dan siswa adalah kustomernya. 

Sebagai penjual jasa yang baik tentu, kepuasan orangtua harus dinomorsatukan. Namun sayang sekali, kebijakan yang mengarah pada usaha nyata dalam melibatkan orangtua di sekolah masih sangat minim (Karsidi et al., 2013). 

Bahkan penelitian dan kajian tentang keterlibatang orang tua (parental involvement) di Indonesia masih sangat sedikit (Karsidi, et al., 2013; Fitirah, et al., 2013; & Makzub dan Salim, 2011).

Sebenarnya sempat ada angin segar, pada saat Anies Baswedan diangkat menjadi Menteri Pendidikan Nasional pada tahun 2014-2015. 

Di mana pada saat itu, Menteri Anies, menyadari bahwa harus ada policy atau kebijakan dari pemerintah pusat yang dapat mengakomodir keterlibatan ayah dan bunda pada kegiatan belajar siswa baik di rumah, lingkungan, dan di sekolah. Bukan hanya tataran kebijakan, bahkan Anies Baswedan memberikan contoh dengan mengantarkan puteranya ke sekolah. 

Akan tetapi pasca diberhentikannya Anies Baswedan dari posisi Menteri pendidikan, kebijakan penyertaan orangtua pada pendidikan kembali pudar. Bahkan Direktorat Ayah Bunda yang dulu ada sewaktu Anies Baswedan menjadi Menteri saat ini telah tiada.

Parental Involvement 

Di Indonesia, dan banyak negara berkembang, orangtua masih berpandangan bahwa ketika anak mereka telah memasuki usia sekolah maka yang bertanggungjawab dalam urusan mendidik, mengajar, dan mencerdaskan putra-puteri mereka adalah urusan sekolah semata (Majzub and Salim, 2011). 

Tugas utama orangtua adalah menyokong sekolah dalam urusan finansial. Persepsi orangtua hanya sekedar pen-support finansial datang dari dua pihak yakni pihak orang tua itu sendiri, dan dari pihak sekolah. 

Tidak heran jika, selama ini orang tua dipanggil ke sekolah untuk mengikuti rapat hanya ketika sekolah ingin mengambil putusan tentang besaran iuran orangtua untuk sekolah. Selesai rapat, sekolah senang karena terbantu pada urusan finansial, orangtua pun ikhlas karena terbantu dalam membesarkan anaknya.

Sebenarnya ada pihak sekolah mengundang orangtua untuk datang ke sekolah. Kapan itu? Yakni ketika siswa melanggar tata tertib sekolah. Ketika siswa tak lagi dapat dinasehati oleh guru dan wali kelas, barulah orangtua dipanggil ke sekolah. 

Ada beberapa orangtua yang berterimakasih karena telah dipanggil ke sekolah. Namun tidak sedikit pula yang kasak-kusuk dan malu, sehingga mengirimkan paman, tante, kakek, bahkan pembantu.

Padahal sejatinya tugas mencerdaskan anak adalah tugas bersama, tugas orangtua, tugas sekolah, tugas masyarakat, dan tugas negara. It takes a village to raise a child. 

Peribahasa Afrika ini sangat terkenal dan relevan, karena memang benar dibutuhkan seluruh warga desa untuk membesarkan satu orang anak. 

Artinya, dalam membesarkan seorang anak bukan hanya tugas orang tua semata, bukan hanya tugas sekolah semata, namun masyrakat sekitar harus bahu membahu untuk memastikan bahwa seorang anak tumbuh dengan sehat dan aman.

Namun faktanya, setelah usia sekolah orangtua terkesan lepas tangan. Masyarakat pun tak mau tahu, anak kamu adalah anak mu, dan anak ku adalah anak ku. 

Hasilnya, banyak sekali anak yang sudah bagus didikannya di rumah, ketika bergaul di masyarakat, seorang anak mendapat pengaruh yang tidak baik. Imbasnya, guru di sekolah yang menjadi pesakitan. 

Sehingga banyak sekali guru yang tidak maksimal mengajar, bahkan mengibarkan bendera putih untuk beberapa anak yang mendapat kategori bebal.

Padahal orangtua mempunyai hak untuk dilibatkan dan melibatkan diri pada proses pendidkan dan pengajaran di sekolah. Orangtua dan masyarakat bahkan pada kelas-kelas tertentu seharusnya dapat membantu guru dalam mengajar di kelas. 

Orangtua juga dapat membantu sekolah dalam menegakkan disiplin siswa, misalnya turut berpatroli memastikan semua siswa berada di dalam kelas ketika jam belajar di mulai.

Orang tua juga berhak diundang ke sekolah ketika putera-puteri mereka mendapatkan prestasi akademik dan non-akademik. Selama ini orangtua diundang ke sekolah karena murid melanggar autran sekolah. 

Paradigma ini harus dirubah, sekali lagi harus dirubah. Orangtua harus dapat menjadi teman ngobrol guru kapanpun dan dimanapun, terutama untuk membicarakan bakat dan interest siswa. Karena hanya dengan orangtualah, guru dapat menggali informasi sedalam-dalamnya tentang bakat dan minat siswa.

Epstein (2004), pakar Parental Involvement dari Amerika mendefinisakan parental involvement sebagai usaha bersama antara rumah dan sekolah untuk bersama-sama memastikan bahwa siswa dapat berhasil di sekolah. 

Epstein membagi setidaknya ada enam area involvement yakni Parenting, Communicating, Volunteering, Learning at Home, Decision Making, Collaborating with the Community. Epstein menjabarkan ada enam framework yang dapat rumah dan sekolah lakukan. 

Pertama, Parenting yaitu bahwa sekolah harus memberikan edukasi tentang bagaimana sistem pola asuh yang benar sesuai usia anak. Kedua, Communicating, adalah bahwa komunikasi antara guru dan orangtua harus dapat berjalan dengan baik. 

Minimal wali kelas harus mampu membuat jembatan rumah dan sekolah baik melalui dunia maya maupun dunia nyata. Yang ketiga adalah volunteering, orangtua berhak melibatkan dan dilibatkan dalam kegiatan sekolah baik kegiatan akademik maupun non-akademik. 

Yang keempat adalah Learning at home, dalam artian orangtua harus mampu menciptakan suasana yang nyaman dan kondusif untuk siswa belajar di rumah, betah tinggal di rumah untuk belajar mandiri, bersama teman, dan bersama orangtua. 

Yang ke-lima adalah Decision Making, inilah yang mayoritas orang tua terlibat di dalamya, yaitu selalu dilibatkan dalam rapat untuk iruan sekolah atau iuran pembanguan sekolah. 

Terakhir adalah collaborating with the community, jadi intinya orangtua dilibatkan dalam urusan sekolah untuk menjalin kerjasama dengan masyarakat termasuk pengusaha, pemerintah, tokoh adat, dll.

Sudahkan sekolah kita menerapkan ke enam aspek tersebut? Sudahkah orangtua kita melakukan "learning at home" seperti yang dilakukan oleh Ibunya Obama sewaktu di mereka tinggal di Indonesia? 

Sudahkah orangtua kita ikut masuk ke sekolah dan membantu guru dalam hal akademik maupun non-akademik? Sudahkah orangtua kita membatasi gadget dan televisi seperti orangtua Maudy Ayunda? Jika belum, mari sama-sama kita kampanyekan parental involvement di sekolah, karena it takes a village to raise a child.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun