Mohon tunggu...
Dini MeilinaIffatin
Dini MeilinaIffatin Mohon Tunggu... Lainnya - Foto resmi

Selalu berdoa dan berusaha

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Sejarah Kota Pertama

26 November 2020   17:04 Diperbarui: 26 November 2020   17:08 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Apa kabar semua? semoga sehat selalu.Masih dalam suasana peringatan hari guru nasional saya ingin membagikan karyaku supaya bermanfaat bagi banyak orang.

SEJARAH KOTA PERTAMA


Kau melukis sebuah peta dengan katamu yang berwarna
Kemudian kau melihat dari busur matamu
Kau menhujani  air tinta dari  lautmu

Kuterima butir-butir  air yang kau basuh
Dengan sejarah batu-batu pasir
Dan sekarang menjadi benteng yang kau abadikan
Dalam ingatan lurus berkepanjangan

Ketika kau letakkan kota pertama dalam peta
Kau tancapkan belati bangunan megah
Sebagai tanda isyarat pertama
Kucari arti dan aku mengerti
Kau tidak sedang menjelajahi sajak dunia
Tapi menceburkan telaga mataku yang kosong
Untuk menyemai sisa-sisa pohon dijalan
Dan menimba satu kelahiran

Akupun lahir lagi
Wajahku hijau
Kutemukan kata-kata yang hilang
Dibalik rumah gubuk yang kusam
Angin bulan oktober mendirikan mimpi
Candi-candi musim membisikkan nasib
Disudut bumi yang paling sunyi

Aku mulai mengais dijalan setapak
Dengan meraba kembali sinar yang kau pancarkan
Disanalah kutemukan matahari yang berjalan tanpa kaki
Aku melihat antara jarak mimpi dan kenyataan
Lalu kusimpulkan
Bisa sejauh langit dan setipis kulit

Aku ingin ketika aku pulang hinggap sejenak
Didermaga paling damai
Yang tak terasa asing diperjalananku
Tapi sejarah yang terbangun megah
Tertimbun kayu ribuan rumah
Terganti sejarah bangunan baru
Dari orang-orang yang datang
Membawa ribuan peristiwa yang sanggup menguburku

Seketika aku merasa
Seperti bayi yang kehilangan tulang
Kemudian aku bertanya
Dunia tidak sedang menangis bukan?

Dan benar!
Dunia tidak sedang menangis
Dunia sedang mengukir dinding-dinding bukit

Baru kusadari ketika matahari condong akan pulang
Dan kau tertunduk didepan kursi yang hening
Dalam hitungan waktu tanpa suara
Disini aku punguti tajam sorot matamu
Sejak senja penuh rahasia
Merahasiakan langkah patahmu
Sedang tanganku hanya bisa berisyarat
Hormatku kepadamu

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun