Mohon tunggu...
Ding Muhammad
Ding Muhammad Mohon Tunggu... -

Diriku hanyalah jalan menuju Tuhan, tiada lain untuk mendekat dan mengenal Tuhanku dalam memperbaiki eksistensiNya agar tetap pada kesempurnaan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sisi Lain Fenomena Malam

5 Agustus 2010   02:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:18 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Senja telah menunjukkan tanduknya dengan mata penuh binar menyambut dunia gemerlap malam. Runcing taring sang malam yang bersinar dipenuhi kerlap-kerlip lampu jalan kota selalu siap mengantar iringan terompet pelaku kehidupan malam yang senantiasa menjadi saksi aktivitas langkah dan desah nafas kota. Bagi masyarakat metropolitan adalah nuansa yang tak asing sebagai rutinitas daya tangkap mata.

Seiring langkah tuntutan hidup demi segumpal harapan akan kebutuhan di hari esok dengan terhimpitnya ruang dan waktu karena kebijakan sang penguasa dari setiap era-nya tidak kunjung membuahkan harapan masyarakat. Tidak mengherankan pemandangan menggiurkan syahwat dapat terlihat secara mudah dan jelas tanpa batasan yang pasti. Semua pemandangan dunia gemerlap malam yang dulu ada di kota metropolitan kini sudah mengembangkan sayap-sayap malamnya sampai ke kota yang baru menuju metropolis.

Kota Tegal dengan bangga mempersembahkan slogannya “TEGAL MENUJU KOTA METROPOLIS” atau “TEGAL KEMINCLONG, MONCER KOTANE”. Dalam benak hati kita tidak bisa menolak dengan slogan-slogan di atas sebagai produk sang penguasa untuk manufer politiknya sambil duduk di kursi empuk dengan tidak memikirkan nasib rakyat tetapi hanya berpikir bagaimana cara menjaga kursi empuk dan kalau bisa dibawa sampai ke liang kubur.

Bisa diplesetkan arti dan makna slogan-slogan di atas jelas sudah sangat terwujud “TEGAL MENUJU KOTA METROPOLIS”. Dapat kita lihat dari gemerlap dunia malam di Kota Tegal sendiri, bagai jamur yang tumbuh di musim hujan tanpa harus disiram, bermunculan warung-warung lesehan yang tidak lain adalah penjelmaan dari warung remang-remang tempo dulu.

Bagaimana dengan slogan “TEGAL KEMINCLONG, MONCER KOTANE” itupun kontras terlihat pada warung-warung lesehan dengan sederet pelayan-pelayan yang memang keminclong plus. Hingga Kota Tegal semakin moncer lontene (bertambah banyak dan semakin gemerlap wanita tuna susila). Semua lapisan masyarakat tahu bahwa Pelayan Keminclong Plus (PKP) bukan saja menyajikan makanan siap saji tapi juga tubuh siap berbagi.

Tapi nanti dulu, kita jangan terburu-buru menilai negatif, tidak semua warung lesehan pelayannya adalah PKP, memang ada yang benar-benar menyediakan PKP ada yang cuma sebagai pangkalan “Kupu-kupu Mungil” dan ada juga yang murni tanpa PKP jadi harus ada kejelian menentukan warung lesehan ber PKP bagi yang suka ber PKP ria dan mana warung lesehan non PKP bagi yang alergi PKP, kalau tidak jeli bisa salah comot sebab antara PKP dengan ABG sekarang tidak ada bedanya dalam penampilan.

Geliat malam sudah hampir klimaks tanpa terasa angin malam sudah mengisi jaringan pori-pori kulit. Di ujung sana terdengar alunan musik pengamen lesehan yang selalu mempersembahkan nyanyian malam yang sedikit menghangatkan bahkan memanaskan suasana 1000C, karena biasanya mereka meminta uang secara paksa kepada para pengunjung lesehan, kita semua bingung, mereka pengamen yang seniman atau pengamen yang preman. Sekali lagi sang pahlawan kejelian harus dihadirkan dalam pola berpikir mengarungi celah hidup dalam pori- pori keganasan kota.

Ada hal yang lebih menarik perhatian pengunjung lesehan ketimbang cerita tentang oknum pengamen yang lebih identik dengan pemalak. satu rombongan anak muda dengan gaya remaja sekarang yang dinamis memesan minuman teh poci dan gorengan tempe mendoan khas lesehan yang ala kadarnya bumbu dan rasa, yang penting penyajinya Bung!.

Semua pesanan telah tersaji mulailah mereka menikmatinya sambil melontarkan banyolan tegalan ala Dasmad dan Kaper dari mulai cerita pejabat yang korup sampai cerita kakek yang mati di tempat pelacuran karena over dosis mengkomsumsi obat kuat cap burung cucak rawa, juga tiga pemuda pemerkosa nenek- nenek yang langsung tewas karena mereka keracunan air susu si korban yang sudah kadaluarsa hingga cerita orang yang dianggap paling terhormat di “Kerajaan Pantura” bagian selatan yang doyan M5 (Minum, Main, Madat, Madon, Maling) alias MB, Madon Berat (suka sekali main perempuan) makanya semua pengunjung lesehan tersentak mendengar cerita mereka dan benar-benar menyita perhatian dengan keterbukaan cerita-ceritanya.

Mulailah mereka bercerita lagi, dari sebuah warung lesehan yang menyediakan PKP terjadilah kesepakatan antara dua remaja cowok dengan dua PKP selanjutnya mereka berpesta seks di rumah salah satu PKP di “Desa Kenikmatan”. Tapi rupanya aktivitas senam nafas mereka berempat yang dikemas dengan jurus kuda bincel menggoyang rudal tercium oleh seorang warga setempat.

Seketika itu juga seluruh warga “Desa Kenikmatan” melakukan penggerebekan dan hanya 50% sukses sebab kedua PKP tidak tertangkap alias lolos lewat pintu belakang seperti pintu berharga mereka yang melompong di usia muda. Dua remaja cowok berhasil ditangkap, ditelanjangi dan diarak ke “Balai Desa Kenikmatan”. Mereka adalah penduduk “Desa Belumklimak”. Baru keesokan harinya dijemput oleh orang tuanya masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun