Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) 2018-2020, Kekerasan seksual terhadap perempuan kerap terjadi di dalam ranah personal maupun komunitas.Â
Perkara-perkara yang terjadi salah satunya adalah pemerkosaan. Tindak pidana perkosaan merupakan perbuatan kriminal yang terjadi ketika manusia memaksa manusia lain untuk melakukan hubungan seksual dalam bentuk penetrasi vagina dengan penis secra paksa atau dengan kekerasan.Â
Korban perkosaan dapat terjadi kepada pria dan wanita, bagi korban dapat terjadi penderitaan luka secara fisik, antara lain berupa penyakit menular seksual dan juga mengakibatkan kehamilan, dan juga luka secara batin yang menyebabkan stress dan trauma sehingga mengakibatkan korban malu dan benci terhadap diri mereka sendiri.Â
Hal ini menjadikan wujud perlindungan negara kepada warga negaranya dalam menyelenggarakan proses peradilan yaitu perlindungan hukum kepada korban bukan hanya sebatas dihukumnya pelaku, melainkan juga kepada akibat-akibat yang ditimbulkan pasca kejadian yang menimpa korban seperti kehamilan akibat perkosaan.
 Kehamilan ini menimbulkan trauma yang lebih terhadap korban karena harus mengandung janin yang tidak diinginkan dari seseorang yang merampas hak korban. Hukum memberikan kelonggaran terhadap korban perkosaan yang melakukan aborsi dalam PP No. 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang dimana disebut dengan Abortus Provocatus Therapeuticus.
 Peraturan ini diterbitkan pada 26 Juli 2024, yang dimana di dalam Pasal 66 UU Kesehatan dan Pasal 1154 PP 28/2024 menyatakan bahwa pengaturan terkait layanan aborsi dan batas usia aborsi yang boleh dilakukan bagi semua kekerasan seksual akan berlaku bersamaan dengan KUHP baru yaitu pada Januari 2026.
 Tindakan aborsi karena kehamilan akibat perkosaan hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor.Â
Hal ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia terutama terhadap kebijakan peraturan yang dapat dimanfaatkan dengan mudah oleh oknum yang melakukan tindakan aborsi dengan mengaku bahwa dirinya merupakan korban perkosaan. Maka dari itu kebijakan kriminal dalam legalitas aborsi ini difokuskan kepada pencegahan penyalahgunaan aborsi.Â
Tindakan aborsi yang dilakukan di luar ketentuan yang berlaku akan dianggap sebagai aborsi yang ilegal dan dapat dikenakan sanksi sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Seperti halnya dalam Pasal 118 PP 28/2024 mengatur syarat dapat dilakukannya aborsi yang sah dan aman bagi korban perkosaan atau kekerasan seksual adalah dengan dibuktikannya dengan adanya keterangan penyidik tentang dugaan kekerasan seksual.Â
Komnas Perempuan mengapresiasi PP 28/2024 bahwa keputusan untuk aborsi menjadi otoritas pada korban. Juga memastikan ketersediaan layanan konseling, baik saat korban memutuskan untuk melakukan maupun untuk membatalkan untuk melakukan aborsi dan selama mempertahankan kehamilannya.Â
Demikian pula atas penegasan tanggung jawab negara dalam hal pengasuhan anak ketika perempuan korban tindak pidana perkosaan atau kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan itu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Â