Setiap orang tentu memiliki cara untuk menyembuhkan luka batin yang dapat menyebabkan perubahan buruk terjadi dalam kondisi psikologisnya. Istilah tersebut sering dikenal dengan sebutan Self-healing. Self-healing sering diartikan sebagai sebuah kegiatan menyenangkan yang dapat kita lakukan saat itu juga untuk meredakan stress dan tekanan yang sedang kita alami.Â
Misalnya dengan melakukan traveling, kulineran, atau bisa juga berbelanja barang-barang. Selain itu menurut Tchiki Davis, MA,PhD dari Berkeley Well Being Institute mengatakan bahwa self-healing juga mencakup proses penyembuhan kondisi kesehatan fisik.
Akan tetapi banyak sekali pendapat bahwasannya untuk menyembuhkan luka batin melalui self healing dapat selesai pada saat itu juga. Padahal faktanya self healing tidak dapat menyembuhkan luka batin secara instan, akan tetapi harus dilakukan secara berkala, konsisten, dan dengan kesadaran penuh. Luka batin dapat diselesaikan secara pelan-pelan.Â
Pada faktanya setiap orang tentu memiliki luka batin, akan tetapi mereka memilih untuk membiarkannya agar sembuh dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Tak banyak dari mereka melakukan terapi pada psikolog ataupun psikiater untuk menyembuhkan luka batin.Â
Disamping biaya konseling yang cukup mahal, terapi pada psikolog atau psikiater juga harus dilakukan secara rutin dan konsisten agar dapat memberikan hasil yang maksimal.Â
Bagi mereka yang tidak ingin menjalani terapi untuk self healing dengan datang pada psikolog atau psikiater tentu berusaha untuk mencari alternatif lain. Mereka berpendapat bahwasannya biarlah lama dalam penyembuhan luka batin, asal tidak menimbulkan permasalahan baru yang dalam hal ini merujuk pada permasalahan ekonomi yang disebabkan oleh mahalnya Â
biaya terapi pada psikolog atau psikiater. Beberapa dari mereka mencari alternatif Self-healing pada apa yang sedang marak di media sosial. Salah satunya adalah semakin tingginya intensitas pengaruh Korean wave.
Korean wave atau gelombang Korea merupakan sebuah kebudayaan pop yang berasal dari negeri ginseng, Korea Selatan. Sekalipun sudah sangat banyak kebudayaan pop yang kita jumpai berasal dari Amerika Serikat maupun Jepang, akan tetapi Korean-Pop atau K-Pop inilah yang sangat laku dan mendominasi seluruh pasar industri dunia.
Banyak alasan mengapa budaya K-Pop ini sangat laku, terutama di Indonesia. Pertama, karakteristik produk industri hiburan dari K-Pop (baik film, drama, maupun musik) memiliki alur yang mirip dengan kehidupan orang Indonesia. Kedua, visualisasi para artis yang ditampilkan sebagian besar sangat memanjakan mata bagi orang yang melihatnya.Â
Selain visualisasi yang mendukung, kualitas bermain peran, bernyanyi, atau menari yang dimiliki oleh para artis Korea ini juga tidak perlu diragukan lagi. Seperti paket komplit yang sangat bisa diterima oleh orang Indonesia. Terakhir yakni munculnya rasa bosan terhadap film ataupun musik barat maupun dari Indonesia itu sendiri. Munculnya rasa bosan ini tentu menyebabkan orang Indonesia cenderung mencari sesuatu yang baru dan fresh.Â
Selama pandemi Covid-19 yang memaksa orang-orang untuk beraktivitas secara terbatas diluar, menyebabkan tingkat kejenuhan semakin tinggi. Permasalahan-permasalahan yang bersifat internal dalam diri pun semakin mengganggu. Perasaan takut tidak diterima atau penolakan, takut diabaikan, pengkhianatan, putus cinta, mimpi buruk, kurangnya sosialisasi,Â