Mohon tunggu...
Dina Mardiana
Dina Mardiana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan penerjemah, saat ini tinggal di Prancis untuk bekerja

Suka menulis dan nonton film, main piano dan biola

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Nicholas Saputra dalam Upaya Pelestarian Gajah Sumatera

20 Juni 2016   07:16 Diperbarui: 20 Juni 2016   16:17 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peluncuran film dokumenter

Kompasianer pasti sudah tidak asing lagi dengan hewan bernama gajah, bukan? Saya pertama kali tahu tentang hewan gajah yaitu dari bacaan serial komik di majalah Bobo yang setia menemani masa kanak-kanak saya melalui tokoh Bona Si Gajah Kecil Berbelalai Panjang (mungkin Kompasianer yang seumuran dengan saya juga tahu serial itu, ya, hahaha...) Lalu, ada pula tokoh gajah terbang Dumbo yang dipopulerkan oleh serial kartun anak-anak Disney. Namun, hingga kini saya belum kesampaian melihat gajah dari dekat langsung di habitatnya, kecuali di kebun binatang Ragunan saja :D

Nah, beberapa artis dunia maupun lokal beruntung mendapatkan kesempatan untuk bertemu langsung dengan gajah, terutama gajah-gajah Sumatera yang disebut-sebut sebagai 'critical endangered species', atau spesies langka yang keberadaannya terancam punah. Jika beberapa waktu yang lalu Indonesia sempat dihebohkan dengan kunjungan Leonardo DiCaprio ke Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) untuk melihat habitat gajah; kini giliran Nicholas Saputra yang didapuk Uni Eropa untuk mengusung kampanye #Jagajah, Save Our Forest Giants demi menyelamatkan ekosistem Leuser dan kawanan gajah di dalamnya.

Tetapi, kedekatan Nico, panggilan akrab dari Nicholas, dengan para gajah Sumatera sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 2005 ketika ia pertama kali berkunjung ke Leuser, lalu ke Tangkahan yang juga bagian dari TNGL. Selain bertemu dengan para gajah, Nico yang memang pencinta alam dan petualang ini juga bersua dengan orangutan di tempat suaka mereka. Ia berkawan akrab dan mengamati dari dekat proses tumbuh kembang beberapa gajah seperti Amelia, Tangka, Namo, yang sayangnya hanya bisa bertahan hidup hingga usia tidak lebih dari tiga tahun. Padahal, normalnya, sebagai salah satu hewan mamalia yang dikelompokkan ke dalam mamalia raksasa, gajah bisa hidup hingga usia 80-an tahun! Sama seperti manusia, 'kan...

Peluncuran film dokumenter
Peluncuran film dokumenter
Populasi gajah Sumatera memang menurun drastis beberapa tahun belakangan. Menurut penuturan Bapak Dr. Ir. Tachrir Fathoni, Msc. selaku Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, pada tahun 2007 masih tercatat sekitar 2500 ekor gajah, namun jumlah itu menurun hingga 1700 ekor saja pada tahun 2014, dan sepertiganya hidup di luar area konservasi. Ini berarti keberadaan gajah-gajah itu memang sangat langka, bahkan bisa dibilang terancam, karena diburu untuk berbagai alasan.

Penyebab utama dari matinya gajah-gajah ini adalah perburuan yang dilakukan oleh tidak hanya penduduk setempat, melainkan juga orang-orang yang menginginkan gadingnya untuk dijual. Yah, gading-gading ini sangat diburu oleh para kolektor karena dianggap mempunyai nilai artistik tinggi, sehingga konon harganya bisa mencapai 20 juta rupiah per kilo. Sementara satu gading gajah dewasa beratnya dua sampai tiga kilogram. Selain itu, ada yang percaya bahwa gading gajah berkhasiat untuk menambah kejantanan, mengusir ruh jahat dan melindungi diri dari bahaya. 

Kalau penduduk setempat memburu para gajah karena dianggap sebagai hama, merusak ladang atau tumbuh-tumbuhan yang mereka tanam di pekarangan rumah. Dan, cara membasmi 'hama' gajah ini tidak tanggung-tanggung, dengan cara diracun! Sedih yaah... :( Padahal sih, gajah-gajah ini lari ke kampung-kampung penduduk juga disebabkan habitat mereka yang makin terimpit akibat pembalakan liar, dan hutan-hutan yang semakin dibabat habis demi menggarap lahan baru untuk berbudi daya kelapa sawit.

Faktor penyebab kematian gajah yang juga tidak kalah menakutkan dan sedang nge-trend belakangan ini adalah virus herpes yang menyerang para bayi gajah, seperti Tangka, Namo dan Amelia. Saya pribadi yang baru-baru ini terkena penyakit herpes jadi paham betul bagaimana menderitanya para gajah itu, apalagi mereka masih balita. Kalau saya merasa gatalnya bukan main dan sempat pendarahan, bagaimana dengan gajah-gajah itu ya? Saya juga jadi mengetahui bahwa virus herpes tidak hanya menyerang manusia, melainkan bisa juga menjangkiti para gajah, meskipun jenis virusnya berbeda, yaitu Elephant Endotheliotropic Herpes Virus (EEHV) yang sifatnya sangat berbahaya karena bisa menyebabkan kematian gajah dalam waktu beberapa jam saja.

Bayi gajah bernama Eropa bersama induknya diadopsi oleh Uni Eropa dan dijadikan maskot. (foto: website Uni Eropa http://bit.ly/eu_mascots))
Bayi gajah bernama Eropa bersama induknya diadopsi oleh Uni Eropa dan dijadikan maskot. (foto: website Uni Eropa http://bit.ly/eu_mascots))
Yang disayangkan, menurut Bapak Christopher Stremme, seorang dokter hewan yang ikut meneliti para gajah di Leuser merangkap sebagai dosen FKH Universitas Syiah Kuala, virus herpes yang menyerang gajah ini belum ditemukan vaksinnya, penelitiannya tersendat-sendat karena dana, apalagi menciptakan vaksin untuk gajah dianggap sesuatu yang tidak punya nilai komersil. Benar juga sih, logikanya tidak seperti manusia apabila terserang sebuah penyakit baru, maka jika diciptakan sebuah vaksin akan berbondong-bondong orang yang membelinya supaya tidak tertular; nah kalau gajah, siapa yang mau beli?

Akan tetapi, upaya Nico, Pak Christopher, Bapak Tachrir dan Pak Wahdi Azmi dari Unit Tanggap Konservasi Tangkahan dalam melestarikan gajah patut diacungi jempol. Perjuangan mereka lalu disambut oleh Uni Eropa, melalui Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, dengan membuat kampanye "Save Our Forest Giants" dalam sebuah film dokumenter berdurasi enam menit. Film dokumenter yang dibintangi dan diproduseri oleh Nico sendiri, bersama dengan Amanda Marahimin (produser film Gie, Tiga Hari Untuk Selamanya), menampilkan gajah-gajah yang hidup di Leuser, serta seekor bayi gajah bernama Eropa yang diangkat menjadi maskotnya Uni Eropa. Film ini bisa teman-teman tonton di laman facebooknya Uni Eropa di sini. 

Nicholas Saputra, Pak Wahdi Azmi dan Vincent Guerend memegang boneka maskot Uni Eropa bernama Eropa. (foto: IG nicholassaputrafans)
Nicholas Saputra, Pak Wahdi Azmi dan Vincent Guerend memegang boneka maskot Uni Eropa bernama Eropa. (foto: IG nicholassaputrafans)
Diharapkan sih, dengan adanya kampanye "Save Our Forest Giants", semakin banyak masyarakat yang sadar dengan keberadaan populasi gajah Sumatera yang tinggal sedikit, dan menyebarluaskan informasi ini ke khalayak umum. Dan, jika sempat, seperti yang dikatakan Pak Wahdi Azmi, main-mainlah ke Taman Nasional Gunung Leuser untuk melihat keseharian para gajah! :) Yang patut disyukuri, jika dulu beberapa penduduk di sekitar taman nasional tersebut berburu gajah untuk dibunuh, kini banyak dari mereka yang berubah haluan menjadi mahout, yaitu orang yang bekerja untuk melindungi dan merawat gajah, karena kini taman tersebut menjadi kawasan wisata yang mendatangkan penghasilan bagi mereka. Kalau bukan kita sendiri yang melindungi gajah, siapa lagi, 'kan? ***

Info lebih lanjut mengenai Save Our Forest Giants: http://bit.ly/eu_mascots

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun