Penulis: Dina Amalia
Candu rasanya, bisa scrolling informasi apapun, bertukar kabar dalam hitungan menit, saling melihat kegiatan sehari-hari -- dengan sangat mudah. Tetapi, semakin mudah/leluasa menerima informasi apapun dan melihat kehidupan seseorang dari berbagai sisi manapun, saya justru merasa bersalah dan membuat diri saya semakin bermasalah.
Merasa bersalah, karena beberapa hal yang sebelumnya tidak ingin saya lihat, tetapi tanpa sengaja sering terlewat begitu saja hingga memaksa saya untuk menyaksikannya. Tanpa disadari, aktivitas itu terjadi berulang kali dan membuat diri saya hanyut di dalamnya -- berakhir diri yang bermasalah pun muncul, waktu saya habis terbuang begitu saja.
Beberapa tahun media sosial bertamu di hidup saya. Sulit untuk fokus, cemas, jam tidur ngelantur, insecure, nggak sabaran, sulit untuk mengendalikan diri, juga beberapa (gejala) gangguan psikologis yang lainnya -- ikut bertamu, menemani hari-hari saya.
Kehilangan separuh diri sendiri, yang pada akhirnya saya rasakan. Tetapi, saya juga merasa yakin bahwa saya tidak seorang diri, melainkan hanyalah salah satunya.
Rindu Ketenangan dan Memulai BereksperimenÂ
Satu hal yang selalu saya cari dan rindukan ketika beberapa gangguan psikologis bertamu di sela-sela jari yang tengah asyik nge-scroll media sosial, yaitu ketenangan.
Lupa, seperti apa rasanya tenang - bagaimana rasanya bisa kembali fokus di kala ibadah - sehangat apa bisa kembali bertegur sapa dengan kerabat secara tatap muka.
2019 pada akhirnya diri saya memutuskan pulang mencari dan menemui ketenangan -- yang selama ini saya cintai tetapi hilang. Saya memulainya dengan bereksperimen, secara perlahan tetapi pasti, tak lain menarik diri dari hiruk-pikuknya media sosial.
Seperti pada umumnya, saya menyebut keputusan ini sebagai 'puasa media sosial' yang secara sederhana berarti istirahat secara 'total' dari media sosial, selama kurun waktu yang diri kita putuskan.
Tidak langsung total, melainkan ada step by step yang saya jalani sebagai pemanasan, untuk benar-benar beristirahat dengan tenang: