Penulis: Dina Amalia
Tentu ingat betul romantisme masa-masa sekolah dasar yang saya mulai pada 2007 silam. Menulis menjadi kegiatan wajib yang amat menyenangkan dan ditunggu-tunggu. Dua jenis buku selalu tersedia dalam tas ransel, yaitu buku tulis biasa dan buku tulis halus / sambung. Tulisan menjadi nomer 1 yang diperhatikan dan dinilai Ibu guru.
Bukan menulis huruf abjad pada umumnya, melainkan menulis huruf tegak bersambung yang menjadi prioritas pada masa itu. Selain ada jam pelajaran khusus, juga ada les tambahan untuk menulis sambung. Sehingga, sampai kelas 3 SD saya hanya fasih menulis dengan tulisan sambung.
Buku tulis halus bergaris 5, pensil, rautan, penghapus seraya menjadi sahib yang tak bisa dipisahkan dan selalu dibawa bersamaan. Tak pernah terlupakan adalah jari yang kapalan akibat belajar dan rutin menggunakan pensil untuk menulis. Kala itu, pulpen baru boleh digunakan saat memasuki kelas 3 / 4.
Estetis atau keindahan setiap huruf sambung menjadi poin besar yang tak pernah dilewatkan Ibu guru untuk dinilai, rasa-rasanya setiap tulisan harus berakhir rapi dan sesuai sebagaimana huruf aslinya. Sehingga huruf demi huruf beliau latih secara perlahan dan disitulah fungsi buku tulis halus bergaris 5 dimainkan.
Ragam cerita, pelajaran berbahasa, hingga soal cerita dalam pelajaran hitungan ditulis menggunakan huruf sambung --- dari buku tulis halus bergaris 5 terus dilatih hingga bisa tertuang rapi dalam buku tulis biasa/buku dan papan tanpa garis.
Kelihatannya mudah, tetapi bagi murid yang belum lancar menulis, pasti selalu pulang belakangan. Sebab, kecepatan dalam menulis juga menjadi pijakan yang betul-betul dilatih Ibu guru. Jadi, antara detail huruf, keindahan tulisan, kecepatan menulis sangat diperhatikan dengan kedisiplinan Ibu guru yang tiada duanya.
Itulah nutrisi yang rutin diberikan Bapak/Ibu guru sehingga murid-muridnya mulai menumbuhkan rasa cinta pada tulisan, estetika, dan membaca sambil menerjemahkannya ke dalam bentuk tulisan.
Romantisme Buku Diary & Tukar Surat
Memang menulis sambung diprioritaskan, tetapi tentunya tetap berlanjut menggunakan huruf abjad pada umumnya. Kala itu, setiap mata pelajaran diberikan kebebasan, mau menulis biasa ataupun sambung dipersilahkan.
Selepas belajar tulis-menulis diberi cap lulus, kegiatan tersebut tidak berhenti sampai di sekolah saja, melainkan ada bekal rutin yang diberikan Ibu guru untuk dibawa ke rumah, yaitu menulis buku diary.