Mohon tunggu...
Jurnal Muda
Jurnal Muda Mohon Tunggu... Lainnya - Kumpulan catatan,beragam bentuknya

Sekedar mengambil,mengumpulkan,menyimpulkan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mbah Dalang

7 September 2022   18:04 Diperbarui: 7 September 2022   18:10 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com/id/illustrations/pria-tua-kakek-wajah-orang-potret-3765165/

"Kurang ajar." Seorang kakek menggerutu pada keadaan pagi yang tidak sesuai keinginannya. Kopi sudah dingin, sop juga, telor tinggal setengah, anak dan menantunya juga sudah pergi bekerja.

"Beginilah aku sekarang, seperti kakek tua di cerita pendekku dulu." Ia makan dengan cepat sekedar mengisi perut agar tidak pingsan. "Mana koran!! Tidak disiapkan?, anak macam apa!!."

Baca juga: Cerita dari Sini

Dengan langkah pelan ia menuju beranda, duduk menghadap jalan, terlihat sekumpulan anak SD berangkat sekolah. "Sini." Ia melambai, raut wajahnya ramah. Lalu anak-anak itu menghampiri kakek yang biasa mereka sebut Mbah Dalang. Mereka selalu dapat cerita kalau kakek itu sedang kesepian. Perlahan mereka mendekat, kakek itu menawarkan diri untuk bercerita. Sayangnya mereka menolak karena harus berangkat ke sekolah, tapi berjanji nanti ketika pulang akan mampir, seperti biasanya.

Jadilah maka jadilah sepi perasaan sang kakek. Ia mencoba mengingat masa mudanya, sudah banyak yang berceceran, dan tanpa ia sadari ketika bercerita sering melebih-lebihkan fakta. Mungkin itu yang terjadi dengan Candi Prambanan. Satu malam seribu candi??. Bahkan arsitek hebat manapun baru bisa minum kopi atau merokok (kalau perokok) dalam malam pertama proyek rumah minimalis.

Ia jadi ingat ketika 60-an. "Dasar gelandangan intelektual." Kata temannya yang saat itu ikut lekra. Dengan tidak menghiraukan suara temannya juga suara pidato DN Aidid atau Njoto, ia terbebas dari penumpasan G30S/PKI itu. Ia mengelus dada mengingat beberapa teman yang entah dimana sekarang. Tahun 98 ia ikut memegang toa berteriak-teriak, tapi sama sekali ia tidak singgung peranannya kalau lagi cerita. Barangkali ia menyadari banyak orang yang lebih layak disebut pahlawan daripada dirinya, atau terlalu banyak yang menyebut dirinya pahlawan sehingga ia malas ikut-ikutan?. Entahlah yang jelas sekarang ia sedang fokus menggerakkan masa, ya anak-anak itu tadi.

******

Karena mulai merasa bosan ia punya rencana menyusul anak-anak ke sekolah. Kebetulan ada kenalan anaknya yang jadi guru di sana. Namanya Toni. Toni ini dari kecil sering main kadang makan di rumah si kakek, sehingga seperti anak sendiri. Dengan kemeja putih dan celana cream si kakek berjalan melewati aspal menuju ke SD tempat markas masa-nya. Darah muda kembali ia rasakan. Ia sudah bawa banyak cerita, salah satunya cerita kancil. "Mosok kancil mencuri kan kondratnya makan makanan itu. Kayaknya pak tani kurang paham. Tapi kalau dibiarkan nanti seperti hama. Tikus, burung, dan teman temannya juga menyusahkan padahal kalau bisa makan mie ayam mereka nggak akan ganggu sawah petani. Apalagi kalau bisa menanam dan punya kemampuan untuk mengolah bahan mentah. Jadi siapa yang salah ya. Seandainya ada jembatan antara pak tani dan hama-hama itu, pasti kesalahpahaman ini tidak akan ada. Wah kenapa dulu tidak aku diskusiakan dengan A(teman kampusnya yang pertanian itu). Biar dia teliti hama-hama itu, bagaimana efeknya ekosistem kalau semua tikus diganyang atau kalau burung ditembaki dan dijadikan budak dalam sangkar." Dengan pikiran seruwet itu ia berbalik arah menuju rumah lagi. Mesin tik. Cuma itu yang mau ia sentuh. Ia berdoa agar umur mengantarnya pulang untuk mengetik sesuatu. Setelah itu terserahlah.

***

Ruangan kamar penuh suara mesin tik. Sementara di beranda rumah, anak-anak menanti sambil menyeru: "Mbah Dalang Mbah Dalang." Tapi suara mereka hilang ditelan sunyi rumah itu. Mesin tik terus gemeritik, anak-anak masuk dan menjarah lemari ruang tamu yang penuh buku-buku. Mereka mencari buku yang ada gambarnya. Tapi ternyata semua buku hanya memuat tulisan, mereka kelihatan kecewa dan memutuskan untuk pulang. Tapi masih coba memanggil sekali lagi. Akhirnya keluarlah si kakek dengan pesan singkat pada mereka. "Nanti sore kemari ya ada Charles Chaplin, sekarang kalian pulang dulu." Mereka mengangguk lantas pergi pulang. Entah bagaimana mereka nanti mau bilang sama orang tua, karena di jalan mereka lupa, siapa nama yang mau tampil. "Namanya kayak bule ya." Kata seorang dari mereka.

Kamar terus mendendangkan lagu mesin tik. Sementara handphone si kakek bekerja mendownload video Charles Chaplin, yang rencananya nanti sore akan diputar. Juga tadi si kakek sempat kirim WA pada anaknya untuk beli makanan kecil. Untuk 15 orang buat syukuran. Menantunya juga ia suruh beli balon. Kakek itu terus mengetik seolah tidak ada titik temu dari persoalan cerita kancil tadi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun