Istilah generasi strawberry makin sering terdengar. Julukan ini disematkan pada generasi muda yang dianggap lembek, mudah patah semangat, dan terlalu sensitif terhadap kritik. Seperti buah strawberry: tampak cantik, tapi hancur hanya dengan sedikit tekanan.
Namun, pertanyaan pentingnya: mengapa mereka, para generasi strawberry  seperti itu? Apakah benar semua salah mereka?
Sebelum buru-buru menghakimi, mari kita ingat satu hal: setiap generasi adalah hasil dari generasi sebelumnya.
Kita mengenal pembagian generasi secara umum:
- Baca juga: "Mulai dari Diri Sendiri": Ketika Sopir ELF Mewujudkan Hingga Perubahan Terjadi pada Keluarganya
Baby Boomers (1946--1964): pekerja keras, loyal, dibentuk oleh pasca-perang.
Generasi X (1965--1980): mandiri dan skeptis, tumbuh di tengah perubahan sosial.
Generasi Milenial (1981--1996): adaptif, haus makna, dan awal melek digital.
Generasi Z (1997--2012): lahir di era digital, multitasking, tapi rentan stres.
- Baca juga: Keteguhan Didiek Hartantyo Pimpin KAI Hingga Berhasil Bagaikan Masinis yang Melewati Badai
Generasi Alpha (2013 ke atas): generasi anak-anak yang saat ini dibesarkan oleh milenial, di tengah kecanggihan teknologi dan AI.
Istilah generasi strawberry biasanya disematkan pada Gen Z dan sebagian milenial akhir. Mereka tumbuh dalam era ketika kenyamanan dan kemudahan menjadi norma, bukan kemewahan.Â
Tapi, yang sering dilupakan adalah: merekalah generasi yang paling banyak dilindungi dan dimanja oleh orang tua.