Sejak saya terjun dan bergerak di komunitas film mulai dari tahun 2002, pergerakan masifnya sudah kentara sehingga ketika kian marak di era sekarang, tidaklah begitu mengejutkan.
Di tahun itu pula berdirilah komunitas film kami, saya nekat untuk membuat film pendek tanpa berbekal ilmu akademis tentang film alias ilmu sinematografi.
Kala itu, komunitas film sudah banyak, namun tidak sebanyak sekarang tentunya, apalagi dengan makin maraknya sekolah-sekolah kejuruan dan perguruan tinggi membuka jurusan penyiaran dan film.
Dan sepertinya sekarang, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Film juga sudah mulai banyak didirikan karena melihat potensi industri film yang sesungguhnya sangat menjanjikan.
Namun sayangnya, industri film ini masih dinikmati oleh segelintir atau sekelompok orang yang memang sudah eksis dan memahami jalur distribusi karyanya.
Mereka "menguasai" televisi dan bioskop bahkan belakangan ini dengan bermunculannya platform digital, mereka lagi-lagi coba untuk "menguasai"nya pula.
Sehingga ada kesan, industri dengan permintaan besar ini menjadi minim sumber daya manusia (SDM) yang kompeten di dalam produksi film.
Saya tidak ingin membahas terlalu dalam tentang hal tersebut karena seharusnya hal seperti ini sudah dipikirkan oleh organisasi film sekelas Badan Perfilman Indonesia (BPI).
Ketika saya kembali "mempermasalahkan" sehingga akhirnya menulis tentang hal ini adalah karena pagi tadi dan beberapa hari lalu dikontak oleh teman-teman di daerah.
Teman di Tangerang Selatan, Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah dan di Nganjuk, Jawa Timur yang intens berkomunikasi menyampaikan keinginan serta perkembangan mereka.
Dan menurut saya, teman komunitas di Banggai Kepulauan yang paling signifikan perkembangannya karena saya sudah ikut membersamainya sejak tahun 2016 saat berkunjung ke sana.