Mohon tunggu...
Dimas Agus Hairani
Dimas Agus Hairani Mohon Tunggu... Administrasi - Man Jadda Wajada

S1 Manajemen Unesa | S2 Sains Manajemen Unair | Part of LPDP_RI PK 163

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dari Lisan Berbuah Kebaikan

24 April 2018   22:32 Diperbarui: 24 April 2018   22:38 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fal yaqul khairan au liyasmut, "berkata yang baik atau diam". Perintah atau sebuah anjuran yang diberikan oleh Allah atau Nabi Muhammad semuanya pasti mengandung sebuah hikmah. Segala aturan tersebut untuk ketertataan hidup manusia. Salah satunya adalah bagaimana kita bisa menjaga lisan kita. Lisan merupakan salah satu media bagi manusia untuk menyampaikan segala pemikirannya, media yang lain adalah sebuah tindakan. Sehingga, apa yang keluar dari lisan seseorang dapat menunjukkan apa yang sedang dia pikirkan. Oleh karena itu, penggunaan lisan perlu dijaga agar tidak menimbulkan dampak buruk bagi orang lain.

Sejarah membuktikan, betapa mengerikannya dampak dari penggunaan lisan yang tidak terjaga. Salah satunya adalah tragedi Perang Shiffin dan Perang Jamal. Perang fitnah yang menyebabkan umat muslim saling diadu domba. Kisah Perang Shiffin terjadi karena orang-orang dari penduduk Mesir terhasut bujukan Abdullah Ibnu Saba' al-Yahudi untuk berserikat menggulingkan Utsman bin 'Affan radhiyallahu 'anhu dari kekhalifahan hingga berakhir dengan pembunuhan Khalifah ar-Rasyid. 

Pertempuran ini terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syam). Perang Jamal terjadi pada 656 M. Sebab terjadinya perang ini diawali oleh keinginan baik Ummul Mukminin A'isyah radhiyallahu 'anhu untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) antara dua barisan kaum muslimin. Berangkatlah Aisyah radhiyallahu 'anha menuju Bashrah bersama Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu 'anhu, az-Zubair bin al-'Awwam radhiyallahu 'anhu, dan sejumlah kaum muslimin dengan tujuan ishlah. 

Berjumpalah dua barisan besar kaum muslimin---barisan Ali dan Aisyah. Perdamaian pun terjadi di antara kedua belah pihak. Malam itu pun menjadi malam yang sangat indah dan tenang karena terwujudnya perdamaian. Namun , para penyulut fitnah dari khawarij tidak tinggal diam. Mereka melakukan makar dengan membuat penyerangan dari dua kubu sekaligus. Akhirnya, pecahlah kekacauan. Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu menyangka beliau diserang sehingga harus membela diri. Demikian pula A'isyah radhiyallahu 'anhu, ia menyangka diserang sehingga harus membela diri. Terjadilah peperangan yang sesungguhnya tidak diinginkan.

Dari contoh sejarah tersebut dapatlah kita petik hikmah, melalui lisan dapat timbul sebuah peperangan. Maka benarlah ketika Nabi Muhammad bersabda, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam." (Muttafaq 'alaih: Al-Bukhari, no. 6018; Muslim, no.47). Pernah kita mendengar sebuah ungkapan, diam itu emas. 

Memang benar, namun bukan berarti kita harus diam terus. Diam di sini maksudnya adalah, apabila kita tidak mengetahui apa yang hendak kita sampaikan karena tidak tau ilmunya. Karena sangat berbahaya berbicara tetapi tidak menyampaikan suatu kebenaran. Sebagaimana salah satu ucapan aktivis mahasiswa Soe Hok Gie "apa yang lebih puitis selain bicara tentang kebenaran". 

Apabila seseorang menyampaikan kebenaran maka yang timbul adalah keberamanfaatan bagi orang lain dan sekitarnya. Sehingga melalui lisan pun seseorang dapat menjadikannya sebuah ibadah, bukankah berkata yang baik adalah ibadah kepada Allah, "Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar." (QS. Al Ahzaab: ayat 70). Begitupun perkataan yang tidak baik dan tidak seharusnya keluar dari lisan kita dilarang oleh Allah, "Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu memperkatakan apa yang kamu tidak melakukannya!, Amat besar kebenciannya di sisi Allah - kamu memperkatakan sesuatu yang kamu tidak melakukannya." (QS. As-Saff: ayat 2-3).

 Pada Suatu hari, Imam Al Ghazali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu Imam Al Ghazali mengajukan 6 pertanyaan, salah satunya adalah "Apakah yang paling tajam di dunia ini?", tanya Imam Ghazli kepada muridnya. Banyak yang menjawab pedang, karena memang pedang sangatlah tajam. Namun kata Imam Al Ghazali yang paling tajam adalah "lidah manusia". Karena melalui lidah, Manusia dengan gampangnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri. Oleh karena itu dengan menjaga lisan kita, orang lain juga akan terselamatkan dari bahaya yang timbul dari kita. 

Menjaga lisan kita merupakan bentuk pertanggungjawaban kita terhadap apa yang telah diberikan oleh Allah kepada kita, "Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telahdiperbuatnya." (QS. Al Mudatstsir ayat 38), "Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." (QS. Al Isra: ayat 36). Lisan ini merupakan nikmat dari Allah jangan sampai kita gunakan untuk menentangNya dengan melakukan apa yang dilarangNya

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun