Mohon tunggu...
Dimas Agus Hairani
Dimas Agus Hairani Mohon Tunggu... Administrasi - Man Jadda Wajada

S1 Manajemen Unesa | S2 Sains Manajemen Unair | Part of LPDP_RI PK 163

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cinta Karena Allah

15 Februari 2018   01:02 Diperbarui: 27 Februari 2018   01:37 1526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cinta, satu kata berjuta makna, mungkin itulah pengertian yang tepat untuk menggambarkan definisi yang hanya lima huruf itu. Banyak sekali pengertian cinta, mulai dari asal katanya yang berasal dari bahasa sansekerta, ataupun dalam bahasa arab yaitu hubbun, wiidadun, mahabbatun. Bagaimanapun pengertian yang dibuat oleh banyak ahli, tetaplah cinta memiliki arti masing-masing bagi yang sedang mengarungi samudera nan luas tersebut. Cinta adalah suatu sifat, sehingga dapat disimpulkan cinta itu adalah fitrah manusia dari sejak lahir. Allah dalam nama-namanya yang indah, terkandung makna Al Wadud yaitu Allah Maha Mengasihi/Mencintai. Sehingga cinta adalah sesuatu yang pasti baik. Mari kita lihat bagaimana contoh Allah mencintai hambaNya, Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalanNya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS. Ash SHaff (61): ayat 4). Allah mencintai hambaNya, karena hambaNya melakukan apa yang dicintai Allah, sehingga Tuhan mencintai hambaNya dan hambaNya mencintai Tuhannya.

Dalam suatu riwayat yang saya kutip dari dakwatuna.com diceritakan Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa suatu ketika Nabi Muhammad mencium Hasan bin Ali dan didekatnya ada Al-Aqra’ bin Hayis At-Tamimi sedang duduk. Ia kemudian berkata, “Aku memiliki sepuluh orang anak dan tidak pernah aku mencium seorang pun dari mereka. ”Nabi Muhammad segera memandang kepadanya dan berkata, “Man laa yarham laa yurham”, yang artinya “barangsiapa yang tidak mengasihi, maka ia tidak akan dikasihi.” (HR. Bukhari di Kitab Adab, hadits nomor 5538). Dari cerita tersebut dapat diambil hikmah bahwa cinta adalah sesuatu yang dimiliki oleh manusia, di mana memiliki kecenderungan yang berhubungan, ketika seseorang tidak mencintai maka dia tidak akan dicintai, begitupun sebaliknya ketika dia mencintai maka dia akan dicintai. Maka dapat disimpulkan mencintai adalah suatu sunnah dari Nabi Muhammad. Sehingga cinta adalah perkara ibadah. Bagaimana bukan perkara ibadah, ibadah berarti kepatuhan, sehingga ketika melakukan sesuatu karena patuh akan perintah Allah dan Sunnah Nabi Muhammad maka itulah yang dinamakan ibadah. Dan memang kita diciptakan tidak lain adalah untuk beribadah kepada Allah, mengikuti Sunnah Nabi Muhammad, sebagaiamana Allah berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz Dzaariyaat (51): ayat 56). Ketika cinta merupakan suatu bentuk ibadah, tidak mungkin mengandung hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama Islam, karena agama Islam senantiasa mengajarkan kebaikan, petunjuk hidup agar manusia menjadi manusia yang bermartabat, “Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (QS. Al Baqarah (2): ayat 2).

Setelah melihat banyak penjelasan di atas dapat disimpulkan cinta adalah fitrah yang dimiliki manusia, dan melakukannya adalah suatu ibadah. Lalu cinta seperti apakah yang harus kita lakukan?. Ketika orang tersebut mengatakan “saya cinta”, apakah maknanya?. Sehingga pembahasan selanjutnya adalah hakikat cinta. Cinta (Al Hub) menurut para sufi didefinisikan dengan melihat kata Al Hub itu sendiri, kata tersebut terdiri atas dua huruf yaitu Ha dan Ba. Ha diisyaratkan dengan Ruh, sementara Ba diisyaratkan dengan badan/tubuh. Sehingga yang dikatakan cinta adalah yang menghubungkan ruh dan tubuh, sehingga ketika mengatakan “saya cinta”, tidaklah hanya sebatas badan yang bekerja atau mulut yang berbicara, namun ruh pun ikut terserap dalam apa yang hendak dia lakukan. Inilah mungkin pengertian cinta menurutku. Terkadang pemaknaan ini pun masih bias diselewengkan, atas nama cinta hal seperti zina pun menjadi media penyalurnya, naudzubillah. Karena cinta dimaknai dengan hanya sebatas penyaluran, yang penting disalurkan, hanya itu. Apakah benar itu cinta?. Padahal telah kita bahas di awal, cinta adalah fitrah yang baik, karena Allah pun Maha Cinta, Nabi pun menjadikan cinta sebagai Sunnah, sehingga ketika ada media penghantar cinta yang bertentangan dengan Allah dan Nabi Muhammad, maka itu bukanlah cinta. Media penyalur cinta adalah apa-apa yang tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Nabi Muhammad, itulah medianya. Sementara zina telah jelas Allah larang, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Israa’ (17): ayat 32).

Cinta itu fitrah, cinta itu baik, cinta itu ibadah, dan mencintai itu ruh meresap dalam badan kita. Sehingga ketika melaksanakan aktivitas yang dilandasi karena cinta, maka aktivitas itu adalah aktivitas yang baik yaitu menggunakan media yang baik, dengan niat yang baik, dan pelaksananya merasakan sedalam-dalamnya tidak sebatas badan bergerak, namun ruh pun ikut merasakannya. Itulah aktivitas yang dilandasi karena cinta.

Ya karena pada tanggal pembuatan tulisan ini bertepatan dengan suatu momen yang sebetulnya saya sendiri tidak mau merayakannya, namun saya membuat tulisan ini agar biasa menghubungkan apa itu hakikat cinta dengan hari kasih sayang. Seperti yang dibahas di awal, cinta adalah fitrah, sehingga orang berkasih sayang adalah baik bahkan Sunnah, namun kasih sayang tidaklah terbatas akan waktu, namun setiap saat. Pada hari ini yang saya tidak setuju adalah momentum yang dilakukan oleh para lawan jenis yang masih belum terikat dalam hubungan yang diizinkan oleh Allah dan Nabi Muhammad. Sehingga bukanlah cinta yang seharusnya menjadi ibadah, namun maksiat karena bertentangan dengan perintah Allah dan Nabi Muhammad. Cinta tidaklah dilandasi dengan media yang bertentangan dengan perintah Allah dan Nabi Muhammad. Sehingga ketika seorang laki-laki/perempuan mencintai lawan jenisnya bukanlah dengan media yang bertentangan dengan perintah Allah dan Nabi Muhammad, itulah cinta. Apabila bertentangan itulah maksiat.

Kecenderungan antar lawan jenis adalah fitrah sebagaimana firman Allah, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar Ruum (30): ayat 21). Demikianlah Allah menerangkan kecenderungan manusia pada lawan jenisnya, dan Allah katakana “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”, inilah mengapa agama Islam sangat memuliakan manusia, menjadikan akal budinya sebagai alat untuk menentukan mana yang baik dan buruk.

HAMKA menjelaskan orang yang berakal, luas pandangannya kepada sesuatu yang menyakiti atau yang menyenangkan. Pandai memilih perkara yang memberi manfaat dan menjauhi yang akan menyakiti. Lebih mereka utamakan kegembiraan kesopanan daripada kegembiraan hawa nafsu. Pandangannya luas, ditimbang sebelum dikerjakan. Sebab mengharap keutamaan dengan tidak mempergunakan pemandangan adalah pekerjaan sia-sia. Orang berakal itu selalu berbantah dengan dirinya. Kalau diri itu bermaksud menempuh yang jahat, dihukumnya dirinya bahwa kejahatan itu berbahaya, merugikan, dan mencelakakan. Dan kalau diri itu ada mengingat-ingat yang baik, dihukumkan bahwa kebaikan itu menguntungkan, membawa kemenangan. Lantaran hukuman yang demikian, mudahlah diri mengingat yang baik-baik itu dan buah hasilnya, sehinggah mudah menunjukkan ke sana. Dan bila akan menghadapi kejahatan itu mudah pula dia mengingat bahaya dan celakanya, gemetar badannya, dan timbul takutnya akan melampaui batas itu. Orang yang berakal sadar bahwa di antara akal dan nafsu, atau di antara pikiran dan hawa tidak ada persetujuan. Kehendak nafsu biasanya manis pangkal dan hambar ujungnya, dan kehendak akal pahit pangkal tapi manis ujungnya. Sebab itu mereka lebih suka berpahit-pahit dahulu, bermanis-manis kemudian. Jika dia menghadapi suatu pekerjaan ragu-ragu atau jalan bersimpang yang belum dapat ditentukan, ditanyailah hatinya, mana yang lebih cocok. Dan, nafsunya itulah yang dijauhinya.

Bukankah manusia memiliki kecenderungan antar lawan jenis?, maka ketika tidak ada yang mengaturnya rusaklah tatanan kehidupan ini, maka muncullah perintah dari Allah dan Nabi Muhammad untuk menikah, inilah media ketika kita mencintai lawan jenis kita, dan inilah yang sesungguhnya cinta sejati, melakukannya dengan cara yang baik, dengan niat yang baik. Itulah cinta. Sehingga berkasih sayang dengan lawan jenis adalah dengan cara yang benar menuru Allah dan Nabi Muhammad, jika berlawanan dengan itu maka disebutlah sebagai maksiat.

Maksiat merupakan kata serapan yang diambil dari bahasa arab yang mufradatnya adalah ma’shiyatun yang berarti kedurhakaan yang diambil dari kata dasar yaitu aashin, 'ishyaanu. Durhaka adalah ingkar, tidak patuh, selalu membantah. Dalam agama Islam, maksiat berarti tidak patuh terhdap perintah Allah dan Nabi Muhammad, tidak patuh terhadap ajaran-ajaran Islam. Ajaran Islam memerintahkan agar bersedekah, tapi dengan banyaknya harta tetap dia enggan melakukannya. Punya badan sehat jasamani dan rohani, perintah shalat tak ia jalani. Inilah yang disebut maksiat, dia ingkar, dia durhaka terhadap Allah dan Nabi Muhammad.

Ajaran Islam tidak hanya berfokus pada peribadatan secara ritual, dalam hal ini segala aktivitas yang telah diperintahkan Allah dan Nabi Muhammad dimana langsung bersinggungan dengan Allah. Akan tetapi, ajaran Islam juga memerintahkan melakukan halhal kebaikan pada seluruh makhluk yang Allah ciptakan, tak hanya sesama manusia, akan tetapi hewan, tumbuhan, alam, dan makhluk Allah yang lain. Sehingga ketika kita ingkar atau enggan melakukan perintah Allah baik beribadah secara ritual kepadaNya, maupun melaksanakan perintahNya untuk berbuat kebaikan pada makhlukNya, bisa jadi kita masuk dalam kategori yang dalam Al Quran, Allah katakan sebagai manusia yang berlaku durhaka.

Lalu bagaimanakah agar kita tidak tersesat dalam melewati jalan yang namanya kehidupan ini?, mari renungkan petunjuk Allah dan Nabi Muhammad berikut ini, “Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan, (yaitu) orang-orang yang mendustakan hari pembalasan. Dan tidak ada yang mendustakan hari pembalasan itu melainkan setiap orang yang melampaui batas lagi berdosa, yang apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata: "Itu adalah dongengan orang-orang yang dahulu". Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka. Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari (rahmat) Tuhan mereka. Kemudian, sesungguhnya mereka benar-benar masuk neraka. Kemudian, dikatakan (kepada mereka): "Inilah azab yang dahulu selalu kamu dustakan". (Al Muthoffifin: 10-17).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun