Mohon tunggu...
Dimas Agus Hairani
Dimas Agus Hairani Mohon Tunggu... Administrasi - Man Jadda Wajada

S1 Manajemen Unesa | S2 Sains Manajemen Unair | Part of LPDP_RI PK 163

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Agamaku Tidak Materialistis

17 Oktober 2017   03:26 Diperbarui: 27 Februari 2018   01:29 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Agama merupakan sebuah nasihat, seperti yang dikatakan oleh Nabi Muhammad “addiinu an nasihah-agama adalah nasihat”. Sebagaimana layaknya nasihat adalah untuk memberitahukan mana yang boleh, mana yang tidak boleh. Mana yang baik, mana yang tidak baik. Mana yang adil, mana yang tidak adil. Nasihat-nasihat ini diterangkan oleh Allah dalam pertunjukNya yang tiada keraguan di dalamnya yaitu Al Quran. Dan segala aspek kehidupan yang dicontohkan oleh suri tauladan terbaik umat manusia, yaitu Nabi Muhammad melalui sunnah yang beliau ajarkan.

Nasihat demi nasihat itu tentunya adalah bukti betapa sayangnya Allah kepada umat manusia, betapa cintanya Nabi Muhammad kepada umatnya. Karena tidak mungkin nasihat itu adalah untuk menjerumuskan manusia, atau membuat manusia kehilangan fitrah sebagai manusia. Justru agama itu untuk memanusiakan manusia. Mengatur apek kehidupan manusia agar menjalankan apa yang seharusnya manusia itu lakukan. Manusia tentu berbeda dengan hewan, sebagai contoh dengan dimilikinya nafsu biologis manusia memilih fitrah berhubungan dengan lawan jenisnya. Oleh sebab itu agar manusia tetap bisa menjalankan kebutuhan biologisnya, dan tentu aspek kemanusiaan tidak terlepas darinya, maka ada suatu ajaran yang namanya menikah. Coba bayangkan jika tidak menikah, kebutuhan akan biologis yang terdesak dan perlu ditunaikan akhirnya ditunaikan sembarangan. Satu laki-laki melakukan dengan berbanyak perempuan, atau bahkan satu perempuan dengan berbanyak laki-laki. Belum lagi tempatnya, bisa dilakukan di mana saja. Sehingga aspek kemanusiaan tersebut akhirnya tidak ada bedanya dengan hewan. Oleh karena itu, untuk mengatur aspek pemenuhan biologis manusia adalah dengan menikah dan kemudian berkeluarga, dari itu muncullah catatan sipil, kartu keluarga, dan yang lainnya. Ajaran demi ajaran tersebut tidak lain adalah untuk mengembalikan hakikat menjadi manusia seutuhnya. Ya, manusia, makhluk yang berakal budi, itulah hakikat manusia.

Dari contoh tersebut, saya yakin semua ajaran yang Allah dan Nabi Muhammad sampaikan adalah untuk mengatur kebaikan umat manusia, dengan memberikan perintah mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Perintah yang harus dilakukan batasannya sampai dimana, dan perintah agar manusia tersebut jangan sampai melakukan pada hal apa. Kita ambil contoh makan dan minum, manusia pasti butuh makan dan minum, sehingga ketika manusia melakukan aktivitas makan dan minum Allah menasehati , “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al A’raaf (7): ayat 31). Allah mengatakan jangan berlebihan, maka itu adalah batasannya. Lalu kita bertanya, apa tolok ukur dikatakan berlebihan?. Dalam suatu riwayat, Nabi Muhammad menyuruh agar berhenti makan sebelum merasa kenyang, itu adalah batasannya. Sungguh luar biasa sekali nasihat dan ajaran dari Allah dan Nabi Muhammad kepada umat manusia. Baik berupa kesehatan, akhlak, sikap, sosial, hingga penyembahan secara ritual kepada Allah, telah Allah dan Nabi Muhammad ajarkan kepada umat manusia.

Ajaran demi ajaran tentunya tidak Allah dan Nabi Muhammad sampaikan tanpa alasan, oleh karena itu setiap ajaran memiliki nilai-nilai yang bisa kita ambil. Kembali lagi kepada hakikat manusia, dia adalah makhluk yang berbudi akal. Dia seharusnya mampu membedakan mana yang seharusnya boleh dilakukan dan mana yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Oleh karena itu setiap ajaran yang Allah dan Nabi Muhammad sampaikan kita harus mampu mengambil pelajaran hikmahnya sehingga kita mampu mengaplikasikan ajaran agama dengan sebaik-baiknya.

Ajaran-ajaran itu tidak bersifat materialistis. Sesuatu yang hanya kita pandang secara fisik. Jangan sampai kita melupakan nilai ajaran agama, karena itulah yang akan membuat kita memahami hakikatnya seorang manusia. Ambillah contoh soal makan dan minum. Ketika perintah Allah mengatakan janganlah makan dan minum berlebihan, maka ada nilai dari perintah tersebut, ada maksud yang membuat manusia itu memahami jika perintah itu adalah untuk memanusiakan dirinya. Dalam budaya Jepang dikenal tradisi “hara hachi bunme” yang memiliki arti berhenti makan sebelum kenyang, dan ini menjadi salah satu rahasia sehat dari orang Jepang. MasyaAllah, ternyata dibalik sunnah Nabi Muhammad terkandung makna agar berhenti sebelum kenyang adalah untuk membuat manusia menjadi sehat. Bentuk kecintaan Nabi Muhammad sangatlah luar biasa kepada umatnya, nasehat beliau bagaikan mutiara yang amat mahal harganya, bagaikan cahaya yang menerangi kita di malam yang gelap gulita. Setiap ajaran beliau mengandung pesan yang indah, yaitu untuk memanusiakan umat manusia.

Sehingga setiap ajaran yang datangnya dari Allah dan Nabi Muhammad jangalah kita memandang dari secara fisiknya, maka kita akan kehilangan makna indah yang terkandung di dalamnya. Ambillah contoh lagi, proses peribadatan secara ritual kepada Allah, yaitu shalat. Shalat adalah perintah Allah, yang kemudian Nabi Muhammad contohkan gerakan-gerakannya. Apabila kita tidak memahami makna shalat yang sesungguhnya, maka shalat hanya sebatas gerakan yang dilakukan mulai takbiratul ihram hingga salam. Ya, itulah tampak fisiknya, tapi bukankah Allah katakan dalam petunjukNya, “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al Ankabut (29): ayat 45). Bagaimana bisa gerakan-gerakan itu membuat kita terhalang melakukan perbuatan yang keji?. Kita tidak akan menemukan jawabannya ketika memandang perintah Allah dan Nabi Muhammad secara materialistis, yaitu hanya tampak secara dzhahir, hanya tampak secara fisik. Kita mampu mengambil hikmahnya ketika kita mengetahui makna mengapa Allah dan Nabi Muhammad menyampaikan perintah tersebut. Ternyata shalat adalah bentuk kita tunduk kepada Allah, patuh dan taat kepada Allah. Maka tidak mungkin seharusnya ketika orang patuh dan tunduk kepada seorang atasan, kemudian atasan memberikan perintah kemudian dia tidak taat. Demikian pula dengan shalat. Ketika manusia itu MERASA DIA TUNDUK DAN PATUH kepada Allah, tidak mungkin dia mengabaikan perintahNya, dia seharusnya pasti memiliki rasa takut, karena dia cinta kepada yang disembahnya maka seharusnya tidak mungkin mengabaikan perintahNya. Perintah Allah adalah menjalankan yang baik dan meninggalkan yang buruk, sehingga ketika dia merasa tunduk kepada Allah, sudah seharusnya dia menjalankan perintah Allah, yaitu melakukan hal yang baik dan meninggalkan yang buruk. Dan aktivitas yang mencerminkan ketundukannya kepada Allah adalah melalui shalat.

Ambillah contoh lain terkait menahan pandangan yang Allah sampaikan dalam petunjukNya yaitu surat An Nur ayat 30-31. Allah memberikan perintah yang MasyaAllah begitu indah untuk menjaga kehormatan manusia. Allah memerintahkan agar laki-laki dan perempuan untuk menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya. Dalam tafsir Ibnu Katsir rahimahullah yang saya petik dari situs musilm.or.id, beliau menyampaikan berkaitan perintah Allah tersebut, beliau mengatakan, “ini adalah perintah Allah Ta’ala kepada hamba-hambaNya yang beriman untuk menjaga (menahan) pandangan mereka dari hal-hal yang diharamkan atas mereka. Maka janganlah memandang kepada kecuali memandang kepada hal-hal yang diperbolehkan untuk dipandang. Dan tahanlah pandanganmu dari hal-hal yang diharamkan.” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/41).

MasyaAllah sungguh indah pesan Allah, nasihatNya kepada umat manusia adalah agar manusia itu memanusiakan dirinya dan memanusiakan orang lain. Menghargai dirinya dan menghargai orang lain. Menjaga kehormatannya, dan menjaga kehormatan orang lain. Menundukkan pandangan mata merupakan dasar dan sarana menjaga kemaluan. Oleh karena itu, dalam ayat tersebut Allah terlebih dahulu menyebutkan perintah menahan pandangan mata daripada perintah untuk menjaga kemaluan. Maka janganlah sampai mengumbar pandangan mata yang berakibat mengumbar syahwat. Maka dari itu perlu dijaga dan digunakan memandang untuk hal yang perlu dipandang dan tidak berlebihan.

Lalu apakah yang dimaksud menundukkan pandangan berarti tidak perlu melihat?. Ada sebuah kisah luar biasa yang saya baca di sebuah situs yaitu hidayatullah.com, yaitu ada seorang mujahid perempuan bernama lengkap Ummu Umarah Nusaib binti Ka’ab bin Amru bin Auf bin Mabdzul Al-Anshariyah Al-Khazrajiyah An-Najjariyah, sapaan beliau adalah Ummu Umarah. Beliau pernah mengikuti perang Uhud bersama suami dan kedua anaknya. Beliau bertempur hingga mendapatkan hadiah 12 luka. Ya pertanyaan sederhananya adalah apakah beliau tidak melihat musuh ketika perang tersebut?. Dikisahkan beliau juga pernah bertarung dengan Amru bin Qum’ah sehingga beliau bisa mengalahkan musuh Allah tersebut.  Begitulah cerita yang ditulis oleh Prof. Dr. Muhammad Bakr Ismail dengan judul buku beliau Bidadari 2 Negeri.

Maka tidak mungkin Ummu Umarah tidak melihat musuh tersebut, tentu beliau perlu melihat musuh tersebut agar bisa mengalahkannya dan menghindari serangannya. Sedikit contoh tersebut dapat memberikan gambaran bahwa memang itu diperbolehkan, tentu sekali lagi dengan batasan dan dengan tujuan yang dibenarkan oleh Allah dan Nabi Muhammad. Yaitu dengan batasan jangan sampai mendatangkan syahwat, dan dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah. Anda ingin menolong seorang perempuan misalnya, dan anda sebagai laki-laki. Apakah anda akan mencari perempuan lain dulu agar menggantikan anda untuk menolong perempuan yang ingin anda tolong di suatu jalan?. Sebagai contohnya ada perempuan yang minta tolong membawakan barangnya karena terlalu berat, apakah anda lantas mencari perempuan lain untuk menolongnya?. Lantas apakah guru agama islam perempuan tidak memandang muridnya dalam memberikan ilmunya?. Bukankah Khalifah Umar membantu seorang ibu yang sedang memasak batu dengan tangan beliau sendiri, lantas apakah beliau tidak memandang ibu tersebut ketika memberikan bantuannya. Tentu agama Islam sangat mengatur kehormatan manusia satu dengan yang lain, sehingga kebaikan yang ingin dilakukan tetap berjalan, dan kehormatan satu dengan yang lain terjaga.

Maka sungguh indah sekali perintah dari Allah dan Nabi Muhammad, tidak terasa terharu hati ini ketika menuliskan artikel ini, mengapa demikian?, Allah dan Nabi Muhammad sangat mencintai umat manusia sehingga memberikan aturan-aturan yang tidak lain adalah agar kita menjadi rahmatan lil alamin, kita adalah rahmat bagi seluruh alam. Ajaran agama yang kita lakukan tidak membuat orang lain di sekitar kita menjadi takut hanya karena kita tidak memahami dengan baik dan tidak menyampaikan dengan bijak, tapi membawa kedamaian bagi sesama makhlukNya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun