Mohon tunggu...
Dimas Bagus Aditya
Dimas Bagus Aditya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Mengkritiklah sebelum mengkritik itu dilarang!

Alumnus SMA Negeri Jogoroto, Jombang. Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Wajah Jakarta dari Masa ke Masa: Warisan Arsitektur Kota Jakarta dari Kolonial hingga Post Kolonial

6 Juni 2021   17:56 Diperbarui: 6 Juni 2021   17:59 1007
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pulau Jawa merupakan pulau yang menjadi tempat berkembangnya warisan arsitektur perkotaan. Hal ini tak terlepas dari Belanda yang memandang Jawa sebagai benteng pertahanan Hindia-Belanda. Hal lain yang memperkuat Jawa sebagai basis pertahanan Hindia-Belanda tak terlepas dari mayoritas kota-kota besar berada di Jawa. Dapat dikatakan bahwa kota-kota besar berada ditepian pantai dan pedalaman. Secara historis, kota-kota di Jawa berkembang dari kota-kota pra kolonial hingga post kolonial. Salahsatunya ialah Jakarta, yang dahulunya bernama Batavia. Jakarta yang didapuk sebagai ibukota negara merupakan kesatuan geografis yang ditempati oleh manusia dengan segala keanekaragamannya.


Jakarta mulai dikenal oleh penjuru dunia saat Pelabuhan Sunda Kelapa menjadi urat nadi perdagangan Nusantara sekitar abad ke-5 hingga 15 m, kemudian Keraton Jayakarta sekitar tahun 1527, dan ketika kedatangan Belanda di Jayakarta pada 1619, kota ini berubah menjadi Batavia. Pada dasarnya, Kota Batavia melewati tahapan-tahapan, yaitu pembangunan kota lama, perluasan pinggiran kota hingga Weltevreden, penggabungan Meester Cornelis (Jatinegara), perluasan pinggiran kota hingga Kebayoran, dan perluasan kawasan kota (Nas dan Grijn, 2007: 5). Sekitar abad ke-19, perencanaan Kota Weltevreden memiliki persamaan dengan kota-kota lain di Jawa dengan adanya alun-alun ditengah, dan jalan-jalan lebar yang bersilangan untuk memberikan ruang bagi jalan-jalan sekunder.


Kota Jakarta dibentuk oleh kebudayaan campuran yang menjadi identitas Kota Jakarta. Bahkan bisa dikatakan bahwa kebudayaan yang ada di Jakarta merupakan hasil akulturasi, asimilasi, difusi, dan penetrasi dengan kebudayaan lain yang terbentang dari prasejarah hingga zaman kontemporer. Percampuran kebudayaan ini menjadikan harmonisasi selama berabad-abad telah menjadikan suatu ritme nasionalisme keindonesiaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa kebudayaan yang berkembang di Jakarta merupakan proses panjang akulturasi dari kebudayaan yang datang dari Indo-Cina, India, Islam, Cina, dan Eropa. Bisa dikatakan Jakarta memiliki momen-momen sejarah di Indonesia seperti masa prasejarah, masa pengaruh India hingga mas apuncak dari kerajaan Hindu-Budha, kemudian tergantikan dengan zaman baru yaitu zaman Islam dan beriringan dengan kedatangan Kolonial Belanda (Fadillah, 1999: 129). Oleh karena itu, nasionalisme sudah terbangun sejak dahulu yakni  sebelum berdirinya negara-negara (nation state) seperti sekarang ini.


Arsitektur Kota Jakarta pada masa kolonial, dibagi menjadi tiga periode yakni zaman keemasan Belanda (abad ke-17 hingga akhir abad ke-18), periode gaya transisi (akhir abad ke-18 hingga abad ke-19), dan modernisme Belanda (abad ke-20). Bila melihat warisan kolonial di Jakarta, pada dasarnya dapat ditemui pada gedung-gedung seperti rumah atau villa, gereja, gedung pemerintahan, dan perkantoran di Kota Administratif Jakarta Pusat dan Jakarta Barat.


Gaya arsistektur pada periode ini adalah versi tropis dari arsitektur Belanda yang berkembang pada abad ke-17. Umumnya, bangunannya menggunakan tipe model jendela sash tinggi Belanda dengan penutup ganda, atap gabel, dan dinding berwarna putih koral (berbeda dengan arsistektur bata terbuka di Belanda). Peninggalan bangunannya dapat dilihat dari bangunan yang berjejer disepanjang Tygersgracht (Jalan Muka Timur), tapi sudah dihancurkan, Toko Merah.


Peninggalan lain yang dapat ditemukan di Kota Jakarta pada masa ini dapat dilihat dari corak bangunan Gereja Tugu dan Gereja Sion yang merupakan peninggalan kolonial Portugis. Sekitar tahun 1808. Daendels memindahkan pusat kota kea rah selatan dikarenakan kondisi kota yang memburuk dan wabah malaria yang melanda pusat kota. Sehingga banyak sekali bangunan yang terbengkalai. Dikarenakan kebangkrutan VOC pada pada abad ke -19 maka beberapa bangunan dirobohkan secara paksa dan struktur reruntuhan bangunan digunakan untuk membangun struktur baru di daerah selatan, seperti Istana Gubernur Jenderal Daendels dari reruntuhan Kastil Batavia, dan Batavia Theatre (Gedung Kesenian Jakarta) dari reruntuhan Spinhuis. Pada periode berikutnya, lahan-lahan kosong di Jakarta dimanfaatkan untuk membangun struktur-struktur baru pada sekitar abad ke-20.


Kota Jakarta pada awal kemerdekaan dirancang oleh Soekarno sebagai pusat kekuasaan Republik Indonesia. Bahkan Soekarno rela merancang Tugu Monumen Nasional (Monas), Masjid Istiqlal, dan Hotel Indonesia. Meskipun demikian, Soekarno tampaknya kurang memperhatikan pembangunan fasilitas-fasilitas publik di Jakarta. Tak mengherankan bahwa Jakarta disebut sebagai kota tanpa urbanisme dengan menempatkan monument di tengah-tengah pusat kota (Evers, 2011: 189). Pada saat perancangan kota sekira tahun 1965-1985, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin (1966-1977) membawa angin baru dalam menata ulang Kota Jakarta menjadi lebih modern, tapi beberapa bangunan lama mendapatkan penekanan dengan menjadikan kawasan Kota Tua dan bangunan-bangunan warisa sejarah. Dua tahun menjabat sebagai Gubernur DKI, upaya-upaya perlindungan dan pengembangan bangunan lama dan baru dilakukan di Jakarta (Eryudhawan, 2017).


Ketika Soeharto menjabat sebagai Presiden RI, pembangunan simbol-simbol kota dibangun diantaranya Monumen Lubang Buaya yang diperuntukkan untuk mengenang pembunuhan para Jenderal dan Pengkhianatan PKI tahun 1965, pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) sebagai miniature suku dan budaya Indonesia. Pada periode selanjutnya sekitar 1980-an hingga 1990-an, pembangunan pusat-pusat perbelanjaan dan apartemen mewah. Menginjak akhir periode tumbangnya Orde Baru, bermunculannya gedung-gedung pencakar langit (city skyline) yang digunakan sebagai penetralisir lapisan-lapisan simbolik yang pernah dibangun pada era sebelumnya, tak terkecuali Kawasan Kota Tua di Jakarta Utara.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun