Pemindahan Ibukota dari Yogyakarta ke Jakarta pada tahun 1949 menyebabkan kehidupan Kota Jakarta berkembang sangat cepat. Sebagai ibukota pemerintahan yang baru terbentuk, Jakarta menerima penanaman modal pembangunan fasilitas kota yang lebih besar dibandingkan kota-kota lain di Indonesia. Pembangunan besar-besaran yang digenjot oleh pemerintah mengakibatkan perpindahan penduduk secara massal (urbanisasi) dari daerah luar Jakarta ke Kota Jakarta. Mereka datang ke Jakarta untuk mencari kehidupan yang lebih baik karena Jakarta dianggap sebagai kota harapan.
Gelombang Urbanisasi di Jakarta Post Kemerdekaan
Pembangunan yang terpusat di Jakarta menyebabkan berkembangnya gelombang urbanisasi di Jakarta. Salahsatu akibatnya ialah pertumbuhan jumlah penduduk di Jakarta mengalami kemajuan yang signifikan. Catatan resmi mengungkapkan penambahan dua kali lipat populasi penduduk di Jakarta dari 823.00 jiwa pada 1948 hingga menembus 1.782.000 jiwa pada 1952 (Edy Sedyawati dkk, 1986: 46). Menurut para ahli, catatan ini hanya melebih-lebihkan tingkat pertumbuhan awal jumlah penduduk kota Jakarta. Hal ini dikarenakan batas kota Jakarta mengalami perubahan pada tahun 1950 yaitu Kotapraja Jakarta Raya telah berkembang menjadi tiga kali luas batas kota lama. Selain itu, ada hal lain yang menyebabkan pertumbuhan populasi menjadi membludak yaitu besarnya migrasi masuk (in-migration) penduduk. Laju pertumbuhan penduduk yang pesat ini sebagai akibat dari munculnya gelombang migrasi pertama yang terbesar sejak post kemerdekaan (Susan Blackburn, 2011: 255).
Nordholdt berpendapat dekade 50an nasionalisme sedang berada dipuncak kejayaannya. Ketika itu, proyek baru sedang digencarkan utamanya yang memiliki pesan utama, menjadi Indonesia berarti menjadi modern. Pembangunan karakter bangsa dapat dilihat dari pembangunan yang ditekankan pada pembangunan simbol-simbol warisan kolonial. Simbol-simbol warisan kolonial dihapuskan dari memori kolektif masyarakat, kemudian dibangun simbol-simbol baru yang bersifat nasionalis. Lecutan nasionalisme inilah yang ditengarai menjadi awal mula kedatangan gelombang urbanisasi di Jakarta pada post kemerdekaan.
Revolusi 1945-1949, ekonomi di desa yang mengalami kemandekan menyebabkan pertumbuhan penduduk mencapai level yang tinggi. Pertambahan penduduk yang tinggi dibarengi dengan pendapatan yang cenderung rendah memaksa sebagian penduduk desa untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Wilayah pedesaan kemiskinan memiliki keterkaitan yang tinggi dengan penguasaan lahan pertanian. Hampir diseluruh pedesaan di Jawa 60% penduduknya tidak memiliki lahan pertanian (termasuk sawah dan lahan kering). Hal inilah yang memicu kedatangan gelombang urbanisasi di Jakarta pada era post kemerdekaan.
Selain itu kemiskinan juga menjadi faktor pendorong penduduk desa melakukan migrasi ke kota sebagai upaya alternatif mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang tergolong tinggi. Hal ini diperparah dengan pembangunan yang hanya terpusat di kota-kota besar saja sehingga Jakarta menjadi acuan untuk mengembara mendapatkan pekerjaan yang layak.
Data Statistik Penduduk Jakarta
Bila merujuk catatan seksi ketatanegaraan pemerintah umum kotapradja Djakarta Raja menyebutkan bahwa jumlah penduduk Jakarta mencapai 1.845.592 jiwa dengan jumlah penduduk terbanyak berada di Mangga Dua yaitu sekitar 400.618 jiwa. Bila merunut kepadatan penduduk per hektar, pada tahun 1957, kepadatan penduduk di wilayah Menteng, Salemba, Tanah Abang, dan Kota mencapai 20 jiwa per hektar.
Setiap hektar kepadatan penduduk di Jakarta senantiasa mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal inipun berakibat Pemerintah Kota Jakarta mengalami kesulitan pendataan dan penataan penduduk yang tinggal di Jakarta. Walaupun hampir tiap tahun selalu ada upaya pembatasan jumlah warga yang datang ke Jakarta. Tetapi kebijakan pemerintah Jakarta ini seolah tak efektif karena masih banyak penduduk yang berhasil bermigrasi ke Jakarta. Bahkan pemerintah kota acap kali disibukkan oleh masalah kependudukan yang tidak kunjung beres dari tahun ke tahun