Mohon tunggu...
Dimas Saputra
Dimas Saputra Mohon Tunggu... Penulis - CW

Journalist & Freelance Writer

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membudayakan Mitigasi di Negeri Bencana

26 Desember 2018   14:04 Diperbarui: 26 Desember 2018   14:15 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pantauan udara garis pantai di kawasan Banten yang terdampak tsunami dari pesawat Cessna 208B Grand Caravan milik maskapai Susi Air, Minggu (23/12/2018). (KOMPAS/RIZA FATHONI)

Ada pepatah, "Orang penakut mati berkali-kali." Ungkapan itu dipopulerkan  oleh William Shakespeare, seorang penyair asal Inggris. Pepatah ini menggambarkan bahwa sikap takut itu tidak baik, buruk, dan harus dihindari.

Namun, jika dilihat dari perspektif berbeda, sikap ini juga bisa bemakna sebaliknya. "Orang penakut hidup berkali-kali." Dalam urusan bencana, pepatah terakhir inilah yang mesti dipegang oleh masyarakat kita.

Indonesia sedang berduka akibat rentetan bencana yang datang tiba-tiba. Belum reda luka karena gempa Lombok, Palu dan Donggala, tiba pula gempa dan tsunami yang melanda Selat Sunda.

Ratusan orang meninggal dunia seketika. Sisanya menderita luka dan kehilangan harta, benda, serta sanak keluarga. Duka ini membuka kembali ingatan kita bahwa negeri ini adalah 'supermarket' bencana.

Secara geografis, Indonesia memang berada di wilayah cincin (lingkaran) api pasifik, tempat pertemuan tiga lempeng tektonik dunia. Lempeng Indo-Austalia, Lempeng Eurasia dan Lempeng Pasifik. Karena itulah, negeri ini rawan bencana seperti gempa bumi, letusan gunung berapi hingga tsunami.

Soal tsunami, Selat Sunda memiliki sejarah panjang. Tercatat sudah 12 kali tsunami terjadi sejak tahun 416. Dalam kitab Jawa berjudul "Pustaka Radja" (Book of Kings) termaktub adanya beberapa kali erupsi Gunung Kapi (diyakini sebagai Krakatau). Tingginya gelombang laut yang naik disebut membuat daratan terpisah, yakni Sumatera dan Jawa.

Oktober 1722, Gempa kuat terasa hingga ke Jakarta. Air laut naik ke daratan seperti air mendidih. Sekitar 35 tahun kemudian, gempa kuat di Selat Sunda kembali terjadi selama 5 menit. Lalu, pada Mei 1851 tsunami menerjang Teluk Betung, Lampung dengan ketinggian air 1,5 meter. Kemudian, Januari 1852, gempa kuat yang memicu tsunami dirasakan di bagian barat Jawa hingga bagian selatan Sumatera.

Agustus 1883, Krakatau mengalami erupsi dahsyat yang memicu tsunami setinggi 30 meter. Korban jiwa mencapai 36 ribu orang. Pada Oktober 1883, di Cikawung di pantai Teluk Selamat Datang, teramati gelombang laut yang membanjiri pantai sejauh 75 meter. Februari 1884, lima bulan setelah erupsi Krakatau, tsunami kecil teramati di sekitar Selat Sunda.

Agustus 1889, teramati kenaikan permukaan air laut yang tidak wajar di Anyer, Jawa Barat. Maret 1928, erupsi Krakatau diiringi oleh kenaikan gelombang laut yang teramati di beberapa tempat di sekitar wilayah gunung api. April 1958, dirasakan gempa bumi di Bengkulu, Palembang, Teluk Banten dan Banten yang diiringi dengan kenaikan permukaan air laut.

Sejarah inilah yang tidak boleh kita lupakan. Bagaimanapun, menurut ahli, gempa selalu memiliki siklus pengulangan. Jika pernah terjadi di suatu tempat, maka gempa yang sama akan terjadi lagi puluhan hingga ratusan tahun sesudahnya. Seperti gempa megathrust di zona subduksi Selat Sunda berpotensi 9 SR, yang diperkirakan selalu berulang mengikuti siklus 400 tahunan.

Sejak gempa dan tsunami melanda Aceh pada 2004 lalu, kesadaran masyarakat pesisir akan mitigasi bencana kian membaik. Apalagi setelah adanya upaya pemerintah bersama banyak lembaga swadaya masyarakat, untuk giat mengampanyekan budaya mitigasi bencana.

Pelajaran ini harus diingat-ingat lagi. Sudah menjadi tabiat manusia, cenderung lupa akan sesuatu yang sudah lama. Harus dipahami selalu, bencana datang tidak mengenal waktu. Kita harus bersiap. Jika gempa terjadi, larilah ke tempat yang aman dan tinggi. Terlebih kalau gempa itu besar, potensi datangnya tsunami akan selalu ada.

Mengandalkan teknologi semata, juga bisa fatal akibatnya. Berkaca dari kejadian di Palu dan Donggala, tsunami menghantam justru ketika peringatan dini telah dicabut oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Begitu pula ketika tsunami Selat Sunda, tak ada peringatan apapun dari pemerintah kepada warganya. Wajar saja karena 22 alat deteksi tsunami (tsunami buoy) yang tersebar di beberapa titik di Nusantara, tak satupun yang berfungsi.

Ini diakui oleh Kepala Pusat Data dan Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho. Menurutnya, karena keterbatasan anggaran, alat-alat tersebut tidak bisa lagi dioperasionalkan. Penyebabnya, anggaran yang tidak memadai.

Memang, dana penanggulan bencana selalu turun setiap tahun. Jika di pemerintahan yang dulu, BNPB mendapat anggaran Rp2 triliun, tetapi, tahun ini hanya sebesar Rp700 miliar. Jumlah yang kecil sekali. Wajar saja, jika pemerintah kelabakan menanggulangi bencana. Evakuasi tidak optimal, bantuan lambat datang. Itu semua imbas dari minimnya ketersediaan anggaran.

Meski begitu, tak ada gunanya pula kita menyalahkan siapa-siapa. Satu yang terpenting adalah selalu bersiap diri terhadap ancaman bencana. Ini konsekuensi dari hidup di wilayah rentan gempa. Jadi, rasa takut itu perlu untuk selalu dimiliki, sebagai motivasi untuk bisa menyelamatkan diri. Lebih baik jadi penakut, agar kita bisa hidup 'berkali-kali'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun