Pelajaran ini harus diingat-ingat lagi. Sudah menjadi tabiat manusia, cenderung lupa akan sesuatu yang sudah lama. Harus dipahami selalu, bencana datang tidak mengenal waktu. Kita harus bersiap. Jika gempa terjadi, larilah ke tempat yang aman dan tinggi. Terlebih kalau gempa itu besar, potensi datangnya tsunami akan selalu ada.
Mengandalkan teknologi semata, juga bisa fatal akibatnya. Berkaca dari kejadian di Palu dan Donggala, tsunami menghantam justru ketika peringatan dini telah dicabut oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Begitu pula ketika tsunami Selat Sunda, tak ada peringatan apapun dari pemerintah kepada warganya. Wajar saja karena 22 alat deteksi tsunami (tsunami buoy) yang tersebar di beberapa titik di Nusantara, tak satupun yang berfungsi.
Ini diakui oleh Kepala Pusat Data dan Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho. Menurutnya, karena keterbatasan anggaran, alat-alat tersebut tidak bisa lagi dioperasionalkan. Penyebabnya, anggaran yang tidak memadai.
Memang, dana penanggulan bencana selalu turun setiap tahun. Jika di pemerintahan yang dulu, BNPB mendapat anggaran Rp2 triliun, tetapi, tahun ini hanya sebesar Rp700 miliar. Jumlah yang kecil sekali. Wajar saja, jika pemerintah kelabakan menanggulangi bencana. Evakuasi tidak optimal, bantuan lambat datang. Itu semua imbas dari minimnya ketersediaan anggaran.
Meski begitu, tak ada gunanya pula kita menyalahkan siapa-siapa. Satu yang terpenting adalah selalu bersiap diri terhadap ancaman bencana. Ini konsekuensi dari hidup di wilayah rentan gempa. Jadi, rasa takut itu perlu untuk selalu dimiliki, sebagai motivasi untuk bisa menyelamatkan diri. Lebih baik jadi penakut, agar kita bisa hidup 'berkali-kali'.