Mohon tunggu...
DillaMeyda 25
DillaMeyda 25 Mohon Tunggu... -

Penikmat kopi yang masih terus belajar menuangkan ide-ide yang kadang bertebaran dalam kepala. Tinta kebebasan untuk sebuah coretan yang kadang puitis tetapi masih terlalu receh. 😆 -DM25-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat dari Pras

23 November 2018   16:09 Diperbarui: 23 November 2018   17:11 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tertulis, Jakarta 2018.

Seperti surat pada umumnya Pras mengawalinya dengan salam.

Salam untuk Mey di kota kenangan. Aku tahu kau pasti dalam keadaan sehat, rasanya tak perlu aku menanyakan kabar. Terima kasih atas surat berwarna biru yang kau tulis minggu lalu. Tak perlu basa-basi, Mey. Aku mengerti isi suratmu bahkan sebelum aku membacanya.

Aku merinding ketika membaca paragraf pertama. Sekelebat aku teringat isi suratku. Boleh dikatakan isi surat itu sedikit sadis. Atau hanya aku yang menyimpulkan demikian. Karena saat aku menulisnya keadaan hati ini remuk redam. Aku menelan ludah, mencoba membaca paragraf selanjutnya.

Tak perlu berpanjang lebar, Mey. Mungkin kau selalu bertanya mengapa suratmu tak kunjung terbalas. Bukan aku menjauhimu, bukan aku membencimu. Tetapi beginilah keadaanku, baru ketika membaca suratmu minggu lalu aku berhasrat untuk membalasnya. 

Kau patut membenciku, karena itu hakmu. Kau patut memakiku jika kau rasa itu perlu. Dan Aku pun tak akan menghalangi. Apa yang seharusnya aku katakan pada perempuan seperti dirimu, Mey?

Di paragraf ini hatiku bergemuruh. Seolah jawaban dari Pras menjadi genderang perang. Ini yang kutunggu, Pras. Inilah yang menjadi harapanku, kau kembali bicara.  

Aku tak ingin berpanjang lebar, Mey. Langsung saja aku ingin bertanya, ingatkah kau tentang sebuah kisah seorang pemuda yang rela meninggalkan kekasihnya karena perbedaan kasta di antara keduanya. Aku yakin kau masih mengingatnya, May.

Tentang perjuangan merelakan hati terlukai tanpa sebuah pembelaan. Tentang pilihan bakti atau mencintai. Tentang kerasnya adat dan budaya yang kadang aku sendiri ingin mengekangnya. Tentang bagaimana dua hati yang harus menurut untuk dipisahkan.  Apa kau mengerti semua itu, Mey?

Aku bergeming. Mendapati Pras mengungkit tentang sebuah kisah yang pernah ia ceritakan dulu.  Apa yang sebenarnya terjadi denganmu, Pras? Atau lebih tepatnya lagi apa yang sebenarnya sudah kulakulan padamu, Pras-ku?

Tiga tahun, waktu dalam catatanku yang kurasa itulah waktu yang telah memisahkan aku dari kehidupanmu. 

Waktu yang panjang, dan akan kuberitahukan bahwa waktu sepanjang itu adalah waktu terberatku atau waktu paling jahanam yang pernah kulalui. 

Aku berjuang melangkahkan kakiku untuk menjauhimu. Aku berjuang melawan rasa hatiku untuk merelakanmu.

Apa kau pikir, semua itu tanpa alasan, Mey? Apakah kau pikir hanya kau yang terlukai?

Tidak...

Apakah ini salahku? Pernah kah kau berpikir sedikit pun tentang dirimu? Bagaimana menyayatnya ucapanmu disetiap lembar surat yang kau kirimkan untukku?

Salahkah aku, Mey? Salahkah tentang apa yang kuperbuat?

Aku terisak. Dalam kurun waktu yang terlampau panjang ternyata Pras selalu membaca suratku. Surat yang tak pernah terbalas. Surat yang kuragukan apakah benar telah sampai di tangannya atau justru teronggok di tempat sampah kantor pos. Kini aku mengerti, Pras mempunyai alasan untuk tidak membalas suratku.

Pernah kah memikirkan apa alasanku mengabaikan surat-suratmu?

Mey...dalam benakku. Waktu selama tiga tahun sudah cukup untuk membuatmu lupa tentang diriku. Aku berharap demikian.

Rasanya kau tidak perlu tahu, mengapa aku berharap kau melupakanku.

Kau punya kebebasan, sementara aku tidak.

Aku tidak bisa memaksakan, dan tidak bisa pula melawan.

Aku terikat, Mey! Aku terikat pada sebuah bakti sebagai seorang anak. 

Tenanglah, Mey! Tenangkan hatimu...mintalah dia untuk melupakan aku.

Maaf beribu maaf, hanya itu yang bisa kuucapkan terakhir kalinya.

Salam.

Pras.

Kau curang, Pras. Aku kembali menahan isak. Ini bukan genderang perang seperti yang kuharapkan. Ini penyerahan diri tanpa perlawanan. Ini tidak adil, Pras! jeritku.

[to be continue]

*Cilacap, 23 Nov 2018*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun