Mohon tunggu...
Dilla maulida
Dilla maulida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Hai, saya seorang mahasiswi ilmu politik

Hai, saya seorang mahasiswi ilmu politik di salah satu universitas di Indonesia. Selain tertarik dengan politik, saya juga sangat tertarik mengenai film.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pragmatisme: Strategi Partai Politik Meraih Suara Rakyat

14 April 2022   22:28 Diperbarui: 14 April 2022   22:50 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Partai politik, pemilu dan demokrasi menjadi sesuatu yang tidak bisa dilepaskan. Ketiganya saling berkaitan untuk terbentuknya perpolitikan yang berdasarkan kedaulatan rakyat. Demokrasi memunculkan gagasan keterwakilan dan otoritas politik yang harus disalurkan melalui media partai. Jalannya sebuah pemerintahan ditentukan oleh pejabat partai yang dipilih oleh mereka yang berada dibawah kendali mereka. Bernard Manin (1977) menyebutkan sistem pemerintahan partai merupakan sistem dimana rakyat memilih partai bukan untuk seseorang, namun memberikan respon atau sambutan positif pada peran partai dalam proses demokrasi yang lebih luas. Keberadaan Partai politik dinilai penting, karena krisis perpolitikan dapat langsung memiliki efek bagi demokrasi. partai politik memegang peran penting untuk menstabilkan politik. Tanpa partai politik, demokrasi perwakilan tidak bisa dipertahankan. Yang seperti kita ketahui, politik perwakilan menjadi bentuk pemerintahan yang dianggap baik untuk bisa merepresentasikan kepentingan publik yang menempatkan kepercayaan publik pada pemerintah.

Jika menilik sejarah, partai politik memiliki masa pasang surut. Dalam buku "Democracy and the Cartelization of Political Parties" karya Richard S. Katz dan Peter Mair, menjelaskan pasang surut partai politik saat masa kerajaan absolut sampai setelah perang dingin. Partai di masa lalu lebih baik dalam hal kekuatan dan legitimasi organisasi, serta kapasitas partai atas menstabilkan pemerintah. Sehingga, posisi partai lebih aman dan lebih stabil. Eksistensi partai politik sudah bisa dilacak pada masa kerajaan, yang mana raja dibatasi kekuasaannya oleh otoritas atau tradisi. Pada tahun 1213 di inggris terdapat majelis perwakilan negara yang berfungsi sebagai tempat untuk memberikan informasi dan tempaT keluhan. Dalam urusan pemerintahan, majelis perwakilan negara mengurusi mengenai persetujuan pajak dan membuat perundang-undangan. Pada perkembangannya, orang yang berada dalam majelis perwakilan rakyat diangkat atau didefinisikan ke yang lebih akurat menjadi elit lokal yang membentuk partai politik elite. Pada tahun 1761, diselenggarakan pemilihan di inggris, namun pemungutan suara hanya terjadi di 48 daerah dari 315 daerah. Partai politik tersebut memiliki sedikit jejaring sosial dan lebih menekankan pada klien yaitu bangsawan. Hak pilih masyarakat yang masih didominasi oleh kalangan elit, pada abad keSembilan belas, terjadi perluasan hak pilih dengan dikeluarkannya Undang-undang Reformasi Tahun 1867. Pada tahun 1867, pemilih menjadi bertambah 42.000, dan pada tahun 1874 bertambah menjadi 55.000 pemilih. Kesadaran politik di luar lingkungan majelis perwakilan negara itu tumbuk, masyarakat mulai melihat sistem dari partai elite yang beroperasi di dalamnya. Keadaan sosial politik telah berubah, parlementer menerima gagasan adanya organisasi oposisi. Organisasi tersebut disebut partai yang didefinisikan oleh Madison (1961) sejumlah warga negara, baik minoritas atau mayoritas dari keseluruhan yang disatukan dan digerakan oleh dorongan nafsu, kepentingan yang sama. Definisi lain datang dari Edmund Burke (1770) yang mendefinisikan partai politik sebagai sekumpulan orang yang bersatu untuk mempromosikan dengan usaha bersama demi kepentingan nasional dengan menjalankan beberapa prinsip tertentu yang mereka setujui.

Revolusi industri terjadi,kebangkitan industri dalam hal perdagangan berskala nasional, memberikan efek pada teknologi dan media komunikasi yang semakin cepat penyampaiannya. Seiring dengan urbanisasi, muncul elit komersial dan kelas pekerja non-pertanian yang besar. Banyaknya terjadi perkawinan politik, menjadi strategi untuk memasuki partai-partai elite berkuasa. Setelah akhir Perang Dunia Pertama, banyaknya sumber daya manusia yang sebagiannya berasal dari individu yang kaya. Upaya penggabungan SDM diperlukan untuk terlibat dalam perubahan mendasar kebijakan nasional, maka dengan itu, memerlukan organisasi dan koordinasi lintas konstituen. Tingkat ambisius dan perkembangan organisasi tersebut adalah partai massa (Duverger 1959 [1951], 63-71). Partai massa memiliki kantor pusat sebagai kader yang terjun ke lapangan dan pejabat dalam struktur partai dipilih langsung oleh agen atau kader lapangan. Sehingga, pejabat partai massa lebih cenderung tunduk pada agen lapangan. Hubungan internal yang dibangun menjadi oligarki, walaupun demikian, hubungan tersebut bisa dinilai harmonis. Menurut Guenther Roth (1963) dan Sigmund Neumann (1956), partai massa membentuk dunianya sendiri, dunia yang terisolasi dari pemerintah dan lebih memilih mengancam dibandingkan bersaing. Partai massa dikenal sebagai partai yang solidaritas dan loyalitas partai yang tinggi, identifikasi perpecahan partai massa cenderung sedikit. Struktural partai massa sangat kuat dan membantu mengintegrasikan warga dalam partisipasi politik, sehingga bisa dikatakan partai massa lebih dekat dengan masyarakat dan memiliki relasi yang luas. Namun, perpecahan teta[ terjadi di badan partai massa, menurut Lipset dan Rokkan (1967), perpecahan yang terjadi di partai massa dijadikan strategi oleh para elite.

Perubahan kelembagaan dan lingkungan sosial politik mendorong partai-partai memindahkan realitas lebih jauh dari tipe ideal. Perubahan sosial telah menyebabkan partai massa yang dulunya berakar kuat menjadi rentan, tetapi perubahan ini membawa mereka pada kesempatan untuk mengadopsi strategi yang lebih ekspansif dan bersiap untuk bersaing mendapatkan suara. Untuk mengamankan SDM, partai massa perlu dipersiapkan untuk ikut dalam kompetisi elektoral. Mereka mengorganisir cabang-cabang keanggotaan partai, namun kekuatan tetap berada pada kongres partai. Organisasi pendukung yang berada di setiap daerah membangun struktur yang efektif. Perubahan sifat persaingan ini menjadi awal perubahan struktural besar dalam masyarakat.

Setelah kita mengetahui perjalanan eksistensi partai politik, organisasi yang dinilai paling kuat dan sah ini bisa mengajukan untuk menjadi peserta pemilu yang nantinya akan dipilih secara langsung oleh Warga Negara yang merupakan partisipasi politik. Menurut Verba, Scholman (1995: 9) "partisipasi politik merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk atau memiliki konsekuensi mempengaruhi tindakan pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung." Teori tersebut dikembangkan oleh Henry Brady (1999: 737) "partisipasi politik memiliki karakteristik sebagai tindakan oleh warga biasa yang diarahkan untuk mempengaruhi beberapa hasil politik." dari pengertian tersebut, terdapat 3 komponen penting yang perlu kita perhatikan, (1) harus tindakan atau kegiatan yang diikuti warga; (2) "warga negara biasa" mengacu pada individu warga negara bukan elite yang berkuasa; (3) tindakan yang ditujukan untuk mempengaruhi orang-orang berkuasa dan beberapa kebijakan masalah publik (warga negara biasa peduli dengan masalah publik). Adapun pendapat menurut Huntington & Nelson (1976: 4), Parry, Mouser, & Day (1992: 16) Verba (1995:37) ketiga pengamat politik tersebut, mendefinisikan partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara yang berniat untuk mempengaruhi keputusan sampai pengangkatan pejabat publik. Tindakan warga negara bertujuan untuk mempengaruhi kebijakan dan struktur pemerintahan melalui pemilihan umum. Definisi lain dikemukakan oleh (Milbrath dan Goel 1977: 2). "Tindakan warga negara yang dengannya mereka berusaha mempengaruhi atau mendukung pemerintah dan politik." Dengan perkembangan teknologi, teori partisipasi politik dalam dunia media dan masyarakat kontemporer sudah berubah. partisipasi politik merupakan fenomena variabel yang berubah sepanjang waktu dan ruang.  Van Deth (2001: 6) mengembangkan teori Brady (1999: 737) yang mendefinisikan partisipasi politik sebagai setiap aktivitas online atau offline dianggap partisipasi politik jika aktivitas tersebut merupakan upaya untuk mempengaruhi hasil lembaga politik atau strukturnya.

Demi memikat hati para partisipan politik, partai politik kerap kali tidak memiliki perbedaan dari satu partai dengan partai lainnya. Program-program mereka cenderung berkerumun di tengah, menawarkan hal serupa dengan jargon ekonomi kerakyatan dan demokrasi serta ditambahkannya kata religius. Berkoalisi dan menjadi pragmatis menjadi hal penting. Mekanisme berkolaisi menjadi salah satu bentuk dukungan yang sangat penting demi memenangkan pemilu. proses koalisi diatur dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2016. Partai politik atau gabungan partai politik untuk bisa menjadi peserta pemilu untuk mengusulkan calon pasangan memiliki ketentuan yaitu memperoleh paling sedikit 20% dari jumlah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) seperti yang disebutkan pada ayat 1. Jika hasil jumlah kursi DPRD merupakan pecahan, maka di desimalkan ke atas. Strategi yang tak kalah penting untuk memperoleh suara yaitu menjadi pragmatisme.

Partai politik tidak mampu mempertahankan identitasnya di tengah kompetisi elektoral. Tuntutan dan motivasi untuk mencapai tujuan mengubah sikap partai politik yang sebelumnya bersikap sesuai dengan ideologi yang dianut menjadi sikap yang lebih mengedepankan aspek rasionalitas. Menurut Cuff (2006) mengemukakan bahwa tindakan sosial menuntut penafsiran pelaku berdasarkan perhitungan yang matang yang berlandaskan pada informasi yang dipertanggungjawabkan. Pengamat politik lainnya mendefinisikan pragmatisme, menurut Ritzer (2005), pragmatisme menunjukan pada tindakan yang realistis dalam menghadapi situasi dimana teori-teori tidak relevan dalam mengkaji situasi tersebut. Sikap pragmatisme sering kali diartikan sebagai sikap yang bertentangan dengan ideologi. Pernyataan tersebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh Marxis. Pandangan komunis ini menganggap ideologi sebagai suatu sistem yang mengaburkan kesadaran masyarakat dari kenyataan. Ideologi menjadi hubungan sosial yang dibangun karena dapat dijadikan alat di antara para aktor yang bertujuan untuk memelihara kohesivitasnya. Sikap pragmatis seringkali kita temui pada partai yang menganut ideologi fundamentalisme agama.

Di negara yang mayoritas muslim, partai berideologi islam muncul di tengah-tengah sekularisme dan westphalia. Sebelum membahas sikap partai islam, penting rasanya mengetahui pengertian dari westphalia. Westphalia atau perdamaian Westphalia merupakan suatu perjanjian dengan diakhirinya perang 30 tahun di tahun 1618-1648, perang ini melibatkan 2 (dua) agama yaitu Kristen katolik dan Kristen protestan. Agama Kristen menyebar luas ke eropa sehingga benua itu terbagi menjadi protestan yang diagungkan kerajaan inggris, agama katolik yang diagung-agungkan oleh dinasti habsburg. Dengan berakhirnya perang, terdapat perjanjian Westphalia tentang gereja tidak ikut campur lagi dalam kehidupan bernegara. Dan pada era pencerahan muncul gagasan john locke untuk pemisahan gereja dan Negara. Perjanjian Westphalia pun memiliki pengaruh yang kuat di eropa seperti saat pecahnya revolusi perancis, dan pada perkembangannya budaya sekularisme mengubah cara pandang masyarakat bahwa agama dan politik adalah hal yang berbeda. Namun, bagaimana jika prinsip Westphalia diterapkan di Negara islam khususnya di negara indonesia? Proses sejarah yang panjang dan menghasilkan sekularisme tersebut tidak terjadi di dunia islam. Agama islam tidak mengenal sekularisme atau pemisahan politik dan agama. Hal tersebut dikarenakan ulama atau pemuka agama masih memegang posisi politik dan faktor yang mendorong islam tidak mengenal sekularisme adalah sejarah keemasan peradaban islam bahwa Negara bisa maju tanpa harus menyingkirkan agama, sejarah ini masih kuat dikalangan umat muslim. Tidak hanya itu, di agama islam pun menganggap Identitas agama satu paket dengan identitas politik.

Mencoba membangun kembali kebudayaan islam, partai islam menjadi salah satu partai yang eksistensinya sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Gerakan islam yang mengadopsi sistem budaya. Mereka menganggap bahwa prinsip-prinsip demokrasi, sejarah dan nilai-nilai lokal berpolitik tidak bertentangan dengan Islam. Gerakan islam menganggap demokrasi dengan berlandaskan islam menjadi strategi dalam mencapai tujuan. Gerakan islam menganggap bahwa hukum islam bisa diterapkan secara nasional. Hukum islam adalah hukum tuhan yang taken from granted, ia tidak pernah mengalami perubahan sejak diturunkan hingga akhir kehidupan sebagai hukum yang universal ia memiliki karakteristik yang senantiasa bisa dilaksanakan kapan saja, di mana saja dan oleh siapa saja. Hal ini telah dijelaskan di dalam al-Quran dalam surat saba' (34) ayat 28 yang berbunyi "dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui" Ayat tersebut menjelaskan bahwa segala manusia yang mendiami permukaan bumi ini adalah tujuan dakwah Nabi Muhammad SAW. Dengan tidak memandang bangsa, batas daerah dan warna kulit. Disamping itu juga memberikan kabar berita yang menggembirakan kebahagiaan jiwa di atas dunia ini. Dalam ayat tersebut mengancam terhadap orang yang tidak mematuhi ajaran itu, yang mendurhaka dan membankang, tidak melalui jalan yang dilalui oleh orang beriman, maka akhirat diancam akan dimasukkan ke dalam neraka, yakni tempat penderitaan untuk selama-lamanya. Dengan penjelasan ayat tersebut, muslim mempercayai hukum islam haruslah dijadikan hukum nasional. Tujuan diterapkannya hukum islam sebagai hukum nasional yaitu bahwa hukum islam bertujuan mendidik manusia dan keadilan. Abu Zahrah mengatakan bahwa hukum islam mengambil individu sebagai fokus pembinaan. Islam mendidik individu agar memiliki keimanan dan menjauhkan diri dari sifat mementingkan diri sendiri. Selain itu, hukum islam juga bertujuan menegakkan keadilan di kalangan masyarakat. Keadilan harus tegak mulai dari peradilan sampai pada mu'amalah (hubungan antar manusia). Ajaran islam juga menegaskan persamaan manusia di muka hukum, tanpa memandang kekayaan, pangkat, golongan, kelas dan sebagainya.

Dalam kasus Indonesia hukum nasional juga berarti hukum yang dibangun oleh bangsa Indonesia dan berlaku bagi penduduk Indonesia. Peluang penerapan hukum islam di Indonesia memiliki alasan-alasan tertentu dalam mewujudkannya seperti sejarah dan penduduk. Penerapan hukum islam di Indonesia melalui perundang-undangan (legislasi) tidaklah mudah. Karena, usaha ini harus melibatkan pembahasan politik melalui dewan perwakilan rakyat (DPR) yang tidak semua anggotanya mendukung hukum islam. Untuk menjalankan salah satu fungsi partai politik yaitu representasi politik, partai islam gencar untuk mengambil hati masyarakat. Respon masyarakat Indonesia terhadap gerakan islam sangat beragam, yang kan dikelompokan menjadi tiga golongan. (1) golongan formalis, gerakan islam ini secara resmi menjadikan islam sebagai ideologi dan menjalankan nilai-nilai islam sebagai jalur politik, golongan ini diterapkan pada partai islam PPP, PKS, dan PBB. (2) golongan substansialis, golongan ini menjadikan nilai-nilai islam sebagai landasan kehidupan sosial politik, namun secara formalitas menolak. Golongan dapat kita lihat pada partai PAN dan PKB. (3)golongan sekuler, golongan ini menolak agama dalam kehidupan sistem pemerintahan dan berusaha untuk memisahkan domain negara dari agama. Golongan ini menilai bahwa organisasi menjadi perantara antara umat islam dan pemerintah seperti NU dan Muhammadiyah.

Sejarah partai islam di Indonesia sangat subur. Pada tahun 1999, sekitar 50 partai politik berbasis agama dan diantaranya 17 partai berbasis islam telah lulus untuk ikut serta pada pemilu 1999. Partai islam cenderung bersifat fleksibel dan strategis, mereka sering mengorbankan kepentingan untuk kepentingan lainnya. Pragmatis partai islam sudah terlihat pada tahun 2001 ketika Abdurrahman Wahid digulingkan oleh parlemen dan dari partai PPP, Hamzah Haz menjadi wakil untuk mendampingi Megawati. Sikap pragmatis ini kentara karena pada tahun 1999, PPP menolak untuk mendukung megawati dengan alasan dalam ajaran agama islam pemimpin haruslah laki-laki yang menjadi pemimpin utama. Pada tahun 2004 saat diberlakukan parliamentary threshold, partai politik berbasis islam di Indonesia mengalami penurunan menjadi 7 partai. Partai-partai islam lainnya tidak mampu menawarkan tokoh populer untuk mempertahankan eksistensinya. partai islam seperti PPP (Hamzah Haz), PAN (Amien Rais), PKB (Abdurrahman Wahid) mengalami kekalahan elektabilitas oleh figure militer Susilo Bambang Yudhoyono dari Partai Demokrat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun