Mohon tunggu...
Dilla Hardina
Dilla Hardina Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Kelilingilah dirimu dengan orang-orang yang pantas mendapatkan keajaibanmu🌻

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melihat Mahasiswa Gondrong dari Kacamata Berbeda

18 Oktober 2020   15:24 Diperbarui: 18 Oktober 2020   15:28 2500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pict by idntimes.com

Sudah lama aku ingin sekali menuangkan ide dan gagasanku tentang mahasiswa gondrong lewat menulis. Awalnya aku bingung ingin mengisi tulisan tersebut tentang hal apa. 

Aku sudah mencoba untuk mencari referensi di situs pencarian, namun tidak ada satu pun sumber referensi yang mampu mewakili keresahanku secara menyeluruh. Atau hanya aku saja yang merasakannya?

Lalu, terbesit di benakku sebuah pertanyaan, kenapa tidak mulai menulis tentang lingkungan terdekatku saja?  Bukankah gagasan atau mungkin keresahan ini lahir dari lingkunganku? Dan akhirnya aku pun mengulas tentang pria gondrong yang ada di sekelilingku.

Aku tak tahu sejak kapan aku mulai mengagumi mahasiswa gondrong. Yang jelas, di kampusku, bahkan di fakultasku sendiri adalah gudangnya mahasiswa gondrong. Namun, tidak semua mahasiswa gondrong aku kagumi. 

Aku hanya mengagumi mereka yang suka baca buku dan berdiskusi. Itu mencerminkan keliaran mereka dalam mengolah pikiran dan juga kebebasan.

Hampir semua sahabat dekatku tahu bahwa aku mengagumi mahasiswa gondrong. Namun, bukannya maklum, mereka justru sering membully diriku meskipun masih dalam tanda kutip guyonan.

Aku berkutat di fakultas sosial-keagamaan di mana banyak lelaki gondrong yang menjadi penghuninya. Fakultasku ini terkenal dengan mahasiswanya yang gemar berdiskusi, menulis dan membaca buku. 

Kami sering mengadakan diskusi mengenai berbagai macam hal, baik topik yang sedang populer maupun yang sudah purba.

Mahasiswa kami terkenal dengan orang-orang yang literat. Hal ini bukan sesuatu yang baru diketahui, mengingat budaya literasi memang sudah dipupuk dan dikembangkan bahkan sejak kampusku masih menyandang status sebagai STAIN.

Lantas, apa yang ada dibenak kalian ketika membayangkan lelaki gondrong? Nakal? Urakan? Tidak rapi? Tidak disiplin? Ya, mungkin kebanyakan orang masih menilai sedemikian rupa. 

Mereka memukul rata bahwa semua lelaki yang memiliki rambut panjang berkepribadian seperti itu. Rupanya stereotip masyarakat dari dulu hingga sekarang tetap menempatkan cowok gondrong pada sisi negatif semata.

Padahal, hal tersebut tidak seratus persen dapat diakui kebenarannya. Dari lingkungan akademik, kita bisa tahu bahwa banyak mahasiswa yang merupakan kaum terpelajar lebih memilih memanjangkan rambutnya daripada memendekkannya.

Hal ini bisa dibilang sebagai wujud sikap idealisme dan tidak berusaha untuk mengikuti tren rambut pendek-rapi. Barangkali, rambut gondrong juga sudah dianggap sebagai tren oleh beberapa kalangan mahasiswa. Makanya beberapa diantaranya memilih untuk memanjangkan rambut tanpa tahu arti penting substansinya.

Perlu diketahui bahwa tidak semua mahasiswa yang berambut gondrong itu menarik untuk dilihat. Banyak mahasiswa yang masih terlihat biasa-biasa saja walaupun sudah berambut gondrong lantaran tidak memiliki suatu keunikan atau keunggulan tertentu yang mampu meningkatkan prestis dalam dirinya.

Bahkan, menurutku hal tersebut tidak hanya berlaku kepada mahasiswa gondrong saja, melainkan juga seluruh individu yang merasa merdeka dengan kapabilitas dirinya. Setiap orang tentu akan terlihat bersinar jika memiliki sesuatu yang dapat ia kenalkan kepada dunia; sebut saja bakat dan minat.

Dengan mempunyai bakat dan minat, maka seseorang bisa terlihat lebih menonjol dan eksistensinya dapat diakui oleh orang lain. Maka dari itu, kampus atau perguruan tinggi merupakan panggung yang tepat untuk menunjukkan kemampuan diri.

Melalui kampus, setiap mahasiswa boleh-boleh saja menunjukkan bakat dan minatnya. Bahkan, banyak diantara mahasiswa yang baru mengenali dan mengetahui apa yang menjadi passion-nya setelah menjadi bagian dari civitas akademika.

Barangkali, dari situlah aku mulai mengagumi mahasiswa-mahasiswa gondrong di kampusku. Aku kagum bukan karena apa-apa. Hanya saja, mereka begitu terlihat menarik karena menjadi mahasiswa aktif dan progresif yang kegiatannya bukan hanya kuliah-pulang-kuliah-pulang.

Rata-rata, mereka merupakan aktivis kampus yang bergerak di organisasi atau UKM tertentu. Hal ini tentu membuat mereka semakin terlihat "hidup" di mataku. Maka dari itu, tidak ada salahnya jika kamu memiliki rambut yang gondrong.

Asalkan kamu memiliki sesuatu yang menjadi pegangan hidupmu dalam mencapai nilai-nilai kehidupan yang lebih manis. Tak apa jika dicap sebagai mahasiswa urakan atau penampilan acak-acakan. Tak apa dipandang sebelah mata oleh orang-orang yang tidak mengenalmu dengan baik. Pastinya, orang yang cerdas tidak hanya akan menilai dari penampilan, melainkan dari isi kepala dan tindakannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun