Mohon tunggu...
D.A. Dartono
D.A. Dartono Mohon Tunggu... Administrasi - Penggemar bacaan dan pegiat literasi.

Senang berdiskusi, berdialog dan sharing ide. Curah gagasan, menulis dan tukar-menukar pengalaman.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Prabowo, Aku dan Darah Banyumasku

8 Juni 2014   17:08 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:43 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sesaat menonton televisi yang menampilkan Prabowo, saya bilang ke istri, "Sebenarnya dari segi darah keturunan (sub-etnis Jawa, yaitu Banyumasan), saya lebih dekat ke Prabowo yang masih keturunan Banyumasan. Dari jalur ayah dan kakek, Prabowo khan dari Kebumen, yang di zaman dulu bupati-bupatinya ada hubungan kekerabatan dari Banyumasan (Purwokerto-Banyumas-Purbalingga)."


Masih dalam setahun ini, ketika ku pulang kampung, bersama keluarga kukunjungi Batur Raden. Di sana, ada petilasan Pancuran Pitu. Mata air pancuran telu (mata air tiga) dan pancuran pitu (mata air tujuh) tempat seorang waliyullah (Maulana Maghribi) mengobati dirinya sendiri yang terkena penyakit kulit. Sang wali memilih tempat itu setelah lama berdoa kepada Allah, meminta petunjuk, obat apa yg tepat utk penyakitnya itu. Di suatu kondisi, ia mendengar suara (ilham dari Allah), agar memilih suatu tempat dan ditunjukkan arah tempatnya. Setelah sembuh, sang wali juga memilih tempat itu untuk membaiat dan mengajar muridnya, seorang pangeran Pajajaran (Galuh-Ciamis), yang karena tidak sependapat dengan rajanya, ia mengungsi ke timur dan menikah dengan wanita lokal. Sang wali pun akhirnya menikah dengan putri dari sang pangeran tsb. Keturunan mereka itu nantinya ada hubungan kekerabatan dengan penguasa lokal.


Di tempat Pancuran Pitu inilah, sekitar setahun ini saya mendapat informasi dari warga pengunjung, bahwa Prabowo jg pernah berkunjung. Info lainnya, Prabowo juga terkadang berziarah ke makam Dawuhan, Banyumas, tempat kakeknya, Margono dimakamkan. Di berita lainnya, Prabowo jg disebut mengunjungi makam Syekh Maghribi di Batang.


Saya yakin, Prabowo sadar akan jati dirinya, siapa dirinya, ayah dan kakek-kakeknya. Saya jg sangat menghormati orang yang tidak lupa akan asal-usulnya. Walau pun sudah melanglang buana ke Amerika atau Yordania.


Ada beberapa ciri khas darah Banyumasan yang terkadang sy lihat dalam diri Prabowo. Pertama, ialah tradisi ketentaraan. Prabowo adalah prajurit dan perwira. Daerah Banyumasan memiliki tradisi ketentaraan sejak lama. Prajurit-prajurit asal Banyumasan berperan dalam menguatkan kembali pertahanan kerajaan Mataram yang telah diserang prajurit Trunojoyo (dari Jawa timur yg bersekutu dengan pangeran Makassar). Para prajurit santri atau santri prajurit jg berperan dalam ketentaraan di pasukan Diponegoro.


Ciri khas kedua ialah cablaka (terus terang apa adanya), kritis dan berjiwa memberontak. Ada beberapa bupati dan keturunan bupati Banyumas yang menjadi Patih (perdana menteri) di Kartasura, Surakarta dan Yogyakarta yaitu Trah (keturunan) Yudhanegara dan Danureja. Danureja I, pendamping Hamengkubuwono I, sendiri pernah dipuji gubernur jenderal Rafless (Inggris), sebagai orang pintar, jujur dan cakap. Disebutkan bahwa kerajaan Ngayogyakarta memiliki kewibawaan karenanya. Peran orang-orang Banyumas, dari pemilihan patih tersebut jelas membuktikan sumbangsih ketentaraan kepada Mangkubumi, yang pernah berperang juga melawan Belanda.


Di sisi lain, ternyata ada kalanya sikap kritis tersebut, berdampak tidak baik. Trah (keturunan) Yudhanegara dan Danureja ada yg sedemikian rupa diberhentikan jadi patih atau dihukum mati karena kekritisannya.


Tokoh kritis dan pemberontak lainnya yang mungkin dikenal oleh orang-orang Bandung ialah Dipati Ukur. Dipati Ukur, jelas dari segi keturunan ialah campuran antara Banyumasan dan Bandung, dulu namanya bukan Bandung tetapi Ukur.


Riwayat-riwayat menyebutkan bahwa motivasi pemberontakan Dipati Ukur ialah sikap keras Sultan Agung yang tidak mau begitu saja kalah tanpa ada hukuman. Saat itu beliau ingin menginvansi Batavia, menyerang Belanda yang bercokol di sana untuk dijadikannya wilayah Mataram. Karena informasi di jaman itu sarananya masih sederhana, terjadi kesalahpahaman antara para perwira yang berasal dari beberapa wilayah soal kapan tepatnya menyerang. Inilah yg menyebabkan kegagalan dalam perang tsb. Sultan Agung sendiri tidak mau tahu, yang jelas sabda beliau jelas, perang harus menang, kalau kalah para perwira dihukum pancung. Kisah selanjutnya bisa dibaca dalam sejarah.


Pak Prabowo, yakinlah ada sepotong di dalam hatiku yg terikat dengan diri dan hatimu. Hanya saja, saya meminta maaf sedalam-dalamnya.  Saya berpendapat memilih pemimpin hanya dengan dasar kedekatan sub-etnis saja tidaklah tepat. Saya mengamati proses dari awal. Dari pengumpulan koalisi partai. Isi berita soal pembicaraan di sana. Ketegasan Jokowi dan PDI-P soal platform kerjasama (koalisi). Penolakan enteng Jokowi dan PDI-P atas permintaan Ical yang belum2 berjuang sudah minta jatah menteri. Dari situ saja sudah terlihat jelas kualitas yg lebihnya.


Saya memilih Jokowi, Pak Prabowo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun