Mohon tunggu...
D.A. Dartono
D.A. Dartono Mohon Tunggu... Administrasi - Penggemar bacaan dan pegiat literasi.

Senang berdiskusi, berdialog dan sharing ide. Curah gagasan, menulis dan tukar-menukar pengalaman.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kitab Suci menjadi Tampak Tak Suci Kala Salah Telaah

7 Juni 2015   16:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:18 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tampaknya judul yang saya buat terasa tidak nyaman bagi sebagian orang. Bahkan, saya sendiri awalnya tak nyaman. Namun, setelah membaca dan menelaah beberapa sumber bacaan, saya sedikit paham bahwa sesuci apa pun sebuah kitab, sesempurna apapun sebuah ajaran dan sehebat apapun sebuah penerangan, ternyata itu akhirnya kembali pada sang manusia sebagai obyek penerima, penilai dan yang memutuskan dalam menanggapi sebuah pesan, ajaran atau pendapat.

Beberapa tahun lalu, ada seorang pemerhati agama (saya lupa, yang jelas dari kalangan liberal, dalam negeri tapi mengutip pemerhati dari luar negeri), perihal ketika agama nampak jahat yang ada hubungannya dengan superioritas agama yang dipeluknya. Artinya, ada segi atau corak jahat yang terlihat dari sebuah agama dan itu berhubungan dengan keyakinan superioritas agama. Saat itu, saat saya membacanya, karena belum begitu paham atau karena menelaah dengan sambil lalu, saya pun menjadi kurang perhatian. Namun, seiring waktu berlalu, perhatian saya kembali tertuju. Terutama itu karena penelaahan saya atas nasehat-nasehat dan pidato atau khotbah dari Imam Jemaat Ahmadiyah.

Bulan Februari lalu, saya begitu sangat heran. Hal demikian karena Hadhrat Mirza Masroor Ahmad atba, Khalifah ke-5 dari Jemaat Ahmadiyah, penerus pendiri Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad 'alaihis salaam, Imam Mahdi dan Masih Mau’ud (1835-1908), ternyata menyebutkan bahwa lebih dari 40 tahun lalu, Khalifah ke-2 Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad ra (1889-1965), telah menyebut-nyebut perihal corak negatif atau dampak buruk sebagai kesalahan dalam berkeyakinan atau berkepercayaan (atau cara salah dalam memahami keyakinan) bahwa al-Qur'an adalah kitab suci sempurna, tanpa cacat, tanpa aib dan tanpa kekurangan. Keyakinan semisal atau yang mirip dari itu ialah contohnya, 'Islam agama sempurna', atau 'Nabi Muhammad saw' tanpa kesalahan dan cacat atau kekurangan.

Inti yang ingin saya sampaikan ialah bahwa keyakinan umat Islam umumnya ini tidak salah. Keyakinan atau ajaran bahwa al-Qur'an adalah kitab suci sempurna, tanpa cacat, tanpa aib dan tanpa kekurangan; bahwa 'Islam agama sempurna' atau bahwa 'Nabi Muhammad saw adalah teladan sempurna, tanpa kesalahan dan cacat atau kekurangan secara moral dan rohani’ adalah benar, mutlak benar, tak ada yang salah. Keyakinan umat Muslim bahwa Al-Quran merupakan suatu kitab yang sempurna dan menjadi sumber petunjuk adalah benar.  Kesalahan terletak pada corak atau bagaimana memahami atau menindaklanjuti keyakinan tersebut. Titik besar kesalahan pada corak memahaminya. Kita mendapati keyakinan kesempurnaan Al-Qur’an malah menjadi dalih bagi sebagian kalangan Muslim untuk tidak merenungkannya, menelaahnya secara mendalam dan gagal memahami isinya, termasuk menolak kedatangan imam zaman/imam mahdi beralasan Al-Qur’an sudah cukup dan sempurna. Atau, keyakinan kesempurnaan ajaran yang kita anut atau agama yang kita peluk, bukannya memacu dan memicu kita untuk memperlihatkan keteladanan yang sesempurna mungkin, tetapi sebaliknya, malah dipahami dalam corak yang salah, apa itu? Yaitu arogansi atau kesombongan karena superioritas atau merasa lebih baik. Lalu dampaknya, menganggap remeh pihak lain. Selalu salah. Enggak ada benarnya sama sekali. Atau, dampak negative karena corak yang salah dalam memahami suatu ajaran ‘keyakinanku atau agamaku benar, paling benar’ dan semacamnya ialah timbulnya sikap aniaya, bersikap lalim, menyakiti pihak lain, namun masih dalam anggapan, ‘itu lumrah, atau benar’ karena apa? Pertama: ‘Karena yang dianiaya itu salah atau sesat; kedua: karena kami itu benar maka hal itu dibenarkan, bahkan itu menjadi sarana pengampunan dosa2 kami’ dst.

Kutipan penjelasan Hadhrat Mirza Masroor Ahmad atba ialah sebagai berikut: “Perlu untuk diingat bahwa umat Islam telah diberikan sebuah kitab yang sempurna yakni Al-Quran. Kendatipun demikian, terjadi kesalahan di kalangan mereka yang mau tak mau kesalahan ini berakibat munculnya penyakit dan kekurangan. Perkara terbesar yang menjadi sebab munculnya keburukan secara bersama-sama di kalangan umat Muslim ialah keyakinan mereka, bahwa Al-Quran adalah kitab sempurna yang mengandung penjelasan segala hal, petunjuk bagi manusia dari awal hingga akhir. Kelihatannya dari pembicaraan ini sifat keistimewaan Al-Quran dilukiskan dalam kondisi terdapat kekurangan ketika dikatakan bahwa keistimewaan Al-Quran tersebut (yaitu sebagai Kitab Sempurna) mempengaruhi orang-orang Muslim secara negatif (buruk), tetapi jika kita merenungi maka kita akan tahu bahwa sifat keistimewaan tersebut tidak memiliki sedikit pun keraguan, namun memahaminya (sebagai Kitab Sempurna) dengan corak pemikiran yang salah sehingga terjadi kelemahan yang besar di kalangan umat Muslim.

Tidak diragukan lagi Al-Quran merupakan suatu kitab yang sempurna dan akan menjadi sumber petunjuk hingga hari pembalasan karena segala ajaran luhur terkumpul di dalamnya. Namun demikian, juga tidak diragukan lagi bahwa Allah Ta’ala Yang menciptakan akal manusia Maha Mengetahui bahwa jika manusia menggunakan akalnya untuk berpikir maka dia akan kehilangan fungsi dan kemampuannya untuk berkembang dan meraih kemajuan serta kecemerlangan. Oleh karena itu, meskipun Allah menjadikan Al-Quran itu sempurna dan tanpa kekeliruan, namun Dia meninggalkan satu bagian dari setiap perintah-Nya yaitu supaya akal manusia merenungkannya.

Allah Ta’ala telah mewujudkan dan menjadikan beberapa hal, prinsip, pokok dan kaidah yang sudah jelas dan tegas, sementara berbagai persoalan yang lainnya akal manusia harus dan perlu merenungkan serta memikirkannya. Hal demikian ialah supaya akal manusia memikirkannya sehingga otaknya tidak menjadi sia-sia karena tidak pernah berpikir dan merenung. Dalam rangka itu, Al-Quran telah turun dalam kata-kata dan kalimat-kalimat yang dengan merenungkannya akan memandu kearah perolehan ma’rifat-ma’rifat, dan penjelasan kedalaman kandungannya. Tetapi tidak demikian, jika tujuan Al-Quran secara sama menyampaikan manfaat bagi semuanya, maka tentu saja ia menyebutkan semua tema dan bahasannya secara sederhana mudah dipahami bagi semua yang membacanya, baik mereka menelaahnya atau tidak. Kehendak Ilahi di balik hal ini adalah supaya akal manusia tidak menjadi malfungsi (tanpa guna), sia-sia dan rusak, serta berhenti berkembang karena pemiliknya tidak menggunakannya.[1]

Akan tetapi, hendaknya menjadi jelas, seperti telah saya sampaikan juga, bahwa terdapat peraturan, kaidah dan juga prinsip-prinsip sehubungan dengan hal ini. Pada zaman ini Hadhrat Masih Mau’ud as telah memberikan bimbingan kepada kita perihal peraihan ma’rifat dengan cara menjelaskan banyak sekali pokok-pokok pikiran dan prinsip-prinsip. Selain itu, beliau juga menyampaikan penafsiran yang jelas sendiri sehubungan dengan hal ini. Hendaknya selalu kita perhatikan hal itu. Dan bagi mereka yang ingin mencari poin-poin baru dan ilmu-ilmu baru di dalam Al-Quran maka mau tak mau harus bertindak sejalan dengan bimbingan beliau as. Jika kita seperti orang-orang Muslim lainnya yang hanya berpijak pada tafsir-tafsir kuno terdahulu saja, maka takkan terbuka jalan dan ma’rifat sebagaimana yang telah ditunjukkan Hadhrat Masih Mau’ud as kepada kita. Pada hari ini menjadi hal yang jamak (umum terjadi) bahwa doktor-doktor besar, para ‘alim-ulama, dan para ahli tafsir yang bukan Ahmadi, mereka membaca dan mempelajari buku-buku dan tafsir-tafsir Jemaat, bahkan sebagian ulama juga menelaah Tafsir Kabir (tafsir atau penjelasan atas beberapa Surah dalam al-Qur’an, karya Khalifah ke-2 Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad ra).

Al-Quran merupakan kitab sempurna. Tidak terdapat keraguan di dalamnya dan segala hal terdapat di dalamnya. Namun, mereka yang memperoleh hidayat (petunjuk) hanyalah yang membacanya, merenungkan isinya serta berupaya untuk mengamalkannya. Dalam rangka mendapatkan petunjuk dari Al-Quran, tidak cukup hanya berpegang pada sebagian isi Al-Quran lalu menyatakan diri telah menerima hidayah (petunjuk), melainkan harus melaksanakan seluruh perintah Al-Quran. Hal demikian karena Al-Quran memberitahukan kepada kita mengenai penyakit serta kebaikan secara perorangan maupun yang ada pada suatu kaum/bangsa. Allah Ta’ala telah mengumumkan di dalam Al-Quran bahwa Dia akan mengirimkan utusannya di Akhir Zaman demi mengajarkan kaum aakharin, memperluas akal pikiran mereka dan untuk memberikan pencerahan serta pemahaman Al-Quran kepada mereka.

Namun mereka yang tidak merenungkannya, kendatipun mereka itu disebut ulama (cendikia), tetap saja mereka itu jahil (tuna ilmu), mereka telah menolak orang yang diutus Allah Ta’ala. Dengan berlaku demikian demikian, mereka menjadi kehilangan kesempatan memperoleh keluasan ilmu dan ma’rifat Al-Quran. Mereka hilang dalam ketidaktahuan dan dengan menjelaskan hal-hal yang salah mengenai Islam, bukannya memperlihatkan keindahan Islam, malahan membawa nama Islam dalam citra buruk. Amal perbuatan umat Islam lainnya yang demikian itu hendaknya memacu kita bahkan lebih memacu kita untuk tidak merasa cukup dalam hal-hal lahiriah saja, melainkan seraya memahami semangat ajaran Islam, hendaknya kita menghapuskan setiap penyakit sebelum ia menjadi penyakit komunal (memasyarakat, menyeluruh).”

Saya (Dildaar) berharap apa yang saya tulis ini tidak disalahpahami. Hal demikian karena saya terinspirasi oleh sebuah ayat dalam Surah al-Isra, 17:82; وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا “Dan Kami berangsur-angsur turunkan Alquran yang merupakan penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman; tetapi tidaklah itu menambah kepada orang-orang yang aniaya melainkan kerugian.”

Dan orang-orang yang berbuat demikian (yaitu menjadi zalim atau aniaya atau salah setelah membaca kitab suci dan sejenisnya), bahkan juga dapat menyampaikan keberatan-keberatannya terhadap kalaam (firman) Allah Ta’ala. Inilah mengapa Allah sendiri berfirman di dalam Al-Quran bahwa Al-Quran ini adalah شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ ۙ - Syifa (penyembuh) dan ‘Rahmat’ bagi mu-minin (orang-orang beriman). Namun bagi mereka yang mencari-cari keberatan atau mereka yang melampaui batas, maka Al-Quran bisa menyebabkan bertambahnya kerugian kepada diri mereka sendiri. Mereka terus menjadi semakin jauh dan jauh dari Allah swt dan dan jauh dari keimanan. Bahkan meskipun Al-Quran itu adalah firman-firman Allah swt, namun tidak akan memberikan faedah sedikit pun sebelum Al-Quran dibaca dengan hati yang suci.

Harapan saya, semoga itu semua menginspirasi diri saya pribadi untuk secara hati-hati berkeyakinan dan mengamalkannya dengan sebaik-baiknya. Semoga kita semua terinspirasi secara positif. Aamiin.

 

 

Bogor, 5 Juni 2015

 

Dildaar Ahmad

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun