Mohon tunggu...
D.A. Dartono
D.A. Dartono Mohon Tunggu... Administrasi - Penggemar bacaan dan pegiat literasi.

Senang berdiskusi, berdialog dan sharing ide. Curah gagasan, menulis dan tukar-menukar pengalaman.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Xi, Khonghucu dan Ide Spiritualitas yang Tak Mati

25 Juli 2015   19:06 Diperbarui: 25 Juli 2015   19:06 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Allah Ta’ala telah berbuat baik kepada kita pada zaman ini dengan mengutus Hadhrat Masih Mau’ud (Imam Mahdi) ‘alaihis salaam untuk menjauhkan kerumitan masalah ini. [Dengan memberi pemahaman kepada kita], beliau as menciptakan kekuatan dalam diri kita untuk mengerti secara mendalam atas masalah itu dan membuatnya terasa mudah bagi kita setelah kita memahaminya dan solusinya terselesaikan. Pada suatu waktu Hadhrat Mushlih Mau’ud radhiyAllahu Ta’ala ‘anhu (semoga Allah meridhai beliau) menyampaikan khotbah Jumat perihal korelasi (kaitan, hubungan) antara moralitas (akhlak), kemajuan materi (capaian duniawi) dan agama, serta sudut pandang Islam tentang masalah ini dan bagaimana Baginda Nabi Muhammad shallAllahu ‘alaihi wa sallam (damai dan berkah Allah pada beliau) menjelaskan hakikat hal ini melalui keteladanan dan perbuatannya. Maka dari itu, sebagaimana telah saya katakan beliau ra telah menjelaskan topik ini dalam salah satu khotbah beliau, dan menjelaskannya secara ringkas. Dalam rangka mengambil manfaat dari penyampaian beliau ra ini, pada hari ini saya hendak menyajikannya kepada hadirin semua.

Kita berkata kepada dunia dengan sungguh-sungguh bahwa Islam adalah sebuah agama yang dikirim Allah Ta’ala sesuai dengan fitrah (sifat dasar dan suci) kemanusiaan sepenuhnya. Hadhrat Mushlih Mau’ud ra menguraikan Islam adalah agama fitrah. Beliau ra bersabda, “Agama, akhlak dan kebutuhan manusia – yang terkait dengan jasmaninya – saling mempengaruhi, saling menyerap dan merasuk satu dengan yang lain, sehingga sulit untuk memisahkan itu semua. Seseorang yang meyakini suatu agama tidak bisa memisahkan moralitas dari agama dan ia juga tidak bisa berikiran, ‘Sesungguhnya agama telah membuatku merasa cukup dari dunia dan tidak peduli dengan dunia sehingga aku tidak memerlukannya.’ Hal demikian karena menghentikan pemikiran untuk memerlukan kebutuhan duniawi akan menghentikan siklus kemajuan materi. Oleh karena itulah semua hal tersebut -- yaitu agama, akhlak dan kemajuan materi itu -- saling berhubungan. Namun, meskipun berkorelasi tetapi juga ada perbedaan. Di satu pihak, orang-orang yang tidak meyakini agama guna tetap dalam pendapat bahwa moral yang baik dan kesuksesan materi dibutuhkan manusia. Namun seorang Muslim sejati akan mempertahankan pendapat bahwa disamping itu semua, manusia juga membutuhkan agama karena itu mengantarkannya pada Tuhan.

Pendeknya, inilah perbedaan pemikirannya, yaitu bagaimana memandang ketiga soal tadi dan bagaimana hubungan antara ketiganya. Agama-agama yang lain telah mengalami stagnasi (kemandegan). Islam sajalah yang dengan tegas mampu membuat korelasi (hubungan) antara satu dengan yang lain (spiritualitas, moralitas dan kesuksesan materi). Namun, sebagian besar umat Islam tidak memahami hakikat realitas (kebenaran) agama sehingga mereka mengait-ngaitkan antara agama dengan moralitas dan keuntungan materi dengan cara yang salah dan berlebihan sedemikian rupa, sehingga mendorong orang-orang menjauh dari agama, bukannya menyajikan agama dalam corak yang indah.

Selain hal yang esensial (pokok mendasar) dalam Islam seperti shalat dan puasa, beberapa ulama bersikeras berpendapat bahwa hal-hal kebutuhan fisik seperti membuat anjuman (organisasi), konvensi/rapat umum dan sebagainya juga merupakan bagian dari Islam dan mereka yang tidak berpartisipasi di dalamnya adalah orang-orang kafir atau murtad.[1]

Inilah yang kita saksikan di dunia Islam. Bahkan, sikap ini sekarang ini bertambah terus dan setiap golongan mengeluarkan fatwa menentang fatwa golongan yang lain dan konflik pun berlanjut hingga berbentuk perang fisik. Setiap golongan mempunyai fatwa-fatwanya masing-masing. Semua ini menjadi penyebab berbagai kelompok ekstremis sibuk dalam pembunuhan dan penganiayaan satu sama lain dalam rangka menyesuaikan diri dengan akhlak dan hukum Islam dalam gambaran yang mereka pahami, jalani dan nyatakan. Situasi pembunuhan warga masyarakat atas nama agama oleh kelompok garis keras di Suriah, Irak, Afghanistan dan Pakistan muncul akibat lahirnya hukum-hukum fiktif (yang dibuat-buat) oleh mereka!

Terdapat Negara Islam yang berdiri di Iraq dan Suriah (ISIS atau ISIL). Seorang wartawan Prancis (Didier Francois) yang dibebaskan dari penahanan ISIL melihat berbagai praktek perbuatan mereka yang bertentangan dengan pengetahuan tentang Islam yang dimilikinya. Ia melihat mereka tidak membaca al-Qur’an dan Hadits. Ia bertanya kepada beberapa individu pengurus/pejabat ISIL, “Apa-apa yang kalian amalkan bukanlah ajaran al-Qur’an.” Mereka mengatakan, “Kami tidak tahu apa yang Al-Quran dan Hadits katakan, apa yang kami ikuti adalah hukum kami sendiri.”[2] Demikianlah mereka merusak Islam.

Situasi saat ini di Yaman juga merupakan gambaran dari pelaksanaan fatwa populer dalam kedok agama untuk membunuh orang yang tidak bersalah melalui serangan udara. Ini benar, bahwa dalam kedua belah pihak terdapat kesalahan, tetapi tidak berarti seseorang tanpa sebab dapat atau boleh membunuh yang lainnya yang tidak bersalah! Jika kita renungkan bahasan ini lebih lanjut, niscaya akan kita temukan bahwa – sebagaimana terekam dalam sejarah Islam dan praktek ini berlangsung hingga sekarang - setiap ulama membangun madzhab khusus buat mereka sendiri. Maulana fulan atau Alim fulan membangun madzhab masing-masing. Dengan demikian, hakikat kebenaran sudah tidak ada lagi di dalam Islam, yaitu di dalam Islam yang mereka klaim telah mereka amalkan itu. Akibatnya, sebagian besar orang Islam menjauh dari Islam yang sebenarnya, dikarenakan sikap taqlid (mengikuti begitu saja) terhadap para ulama dan pemberi fatwa. Tidak mereka ketahui apa itu ruhaniyyat (kerohanian hakiki) dan apa itu sesuatu yang didengungkan atas nama Islam/agama.

Bertentangan dengan itu, dunia Barat yang maju berkembang tetapi non-agamis atau menjauh dari agama, berusaha untuk membuat moralitas dan spiritualitas sebagai bagian dari dunia jasmaniah. Jika mereka memandang fenomena wahyu, mereka katakan itu adalah unsur dinamis manusia (bagian dari perbuatan manusia). Jika mereka memandang moralitas (akhlak), mereka memandangnya sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi mereka secara duniawi. Jika mereka merenungkan soal agama, mereka katakan orang-orang yang mengikuti agama adalah yang tidak berpendidikan, tidak berperadaban atau berperadaban rendah, dan itu ada gunanya dalam batas tertentu, yaitu dengan mengatasnamakan agama dapat sedikit menyelamatkan orang-orang yang berperadaban rendah itu dari melakukan kejahatan-kejahatan karena [kata filosof Barat itu] orang-orang berperadaban rendah itu takut dengan agama. Itu pun jika mereka mengamalkan agama dengan corak yang benar. Dan mereka mengatakan bahwa orang-orang yang sudah bermoral tidak perlu (tidak membutuhkan) agama.

Tetapi, dengan merenungkan moralitas (akhlak), spiritualitas (ruhaniah) dan kesuksesan materi (capaian duniawi), hal itu memberitahu kita bahwa itu semua terjalin begitu dekat sehingga tidak semua orang menyadari awalnya dari mana dan akhirnya kemana. Guna memahami korelasi tersebut kita harus melihat kehidupan penuh berkat Baginda Nabi saw (damai dan berkah Allah atas beliau). Beliau saw adalah pembaharu dunia untuk aspek spiritual, moral dan juga material. Kehidupan beliau nan penuh berkat adalah gabungan dari itu semua.

Pada satu segi beliau saw bersabda, «الدُّعَاءُ مُخُّ العِبَادَةِ» ‘ad-du’aa-u mukhkhul ibaadah’ - “doa adalah sumsum ibadah.”[3] Sementara di segi lainnya, beliau saw menekankan perihal penyempurnaan kerohanian. Artinya, sementara di satu segi ibadah Allah itu penting, beliau saw juga menekankan pada pengembangan spiritual. Tidak cukup hanya mengerjakan shalat saja lalu segala masalah selesai, melainkan harus menapaki tingkat-tingkat shalat dan memajukan kerohanian. Hubungan antara Allah Ta’ala dengan hamba-Nya terkait doa adalah seperti hubungan antara ibu dan anak. Kata bahasa Arab dua berarti memanggil (menyeru) seseorang. Seseorang memanggil ketika yakin yang dipanggil akan membantunya. Tidak ada satu pun yang memanggil musuh guna mengharapkan bantuannya. Saat kita berdoa atau hendak berdoa ada beberapa hal yang hendaknya kita lakukan dan perlihatkan.

Hadhrat Mushlih Mau’ud ra menjelaskan bahwa ada tiga hal yang harus diketahui dalam berdoa. Pertama, seseorang harus yakin bahwa permohonannya akan didengar dan dikabulkan; kedua, seseorang harus memiliki jaminan bahwa siapa yang kita sebut dalam panggilan itu memiliki kekuatan untuk membantu (menolong); dan ketiga, seseorang harus memiliki cinta yang melekat dan pengabdian kepada siapa yang ia panggil, dan mau tak mau untuk berpaling kecuali hanya ke orang itu dan tidak kepada yang lain. Dua yang pertama adalah elemen (unsur) yang berkaitan dengan pikiran. Jika salah satu tidak yakin bahwa panggilannya akan didengar, dan jika seseorang tidak memiliki jaminan bahwa orang yang disebut-sebutnya dalam panggilan itu datang dengan memiliki kekuatan untuk membantu maka itu adalah hal yang sia-sia untuk memanggil orang itu!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun