Mohon tunggu...
Diky Faqih Maulana
Diky Faqih Maulana Mohon Tunggu... Dosen - PositiveThinker

Check My Blog

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Narasi Jihad Toleransi dari Presiden ke-4 RI oleh Marzuki

25 Februari 2022   07:32 Diperbarui: 25 Februari 2022   07:42 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Musik. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Sekitar tahun 2010, muncul lagu yang menggambarkan sosok KH. Abdurrahman Wahid. Lagu ini sepertinya memang diciptakan untuk mengenang kepergian beliau, sebentar, perlu diingat bahwa Gus Dur kan hanya pulang bukan pergi. Seniman Marzuki Muhammad a.k.a Kill The DJ waktu itu mengemas lirik dengan iringan musik khas Jogja Hip Hop Foundation, kemudian menghasilkan lagu unik nan menarik yang dibawakan Ki Jarot (Kill The DJ, Jahanam, Rotra) berjudul "Gitu Saja Kok Repot".

Ucapan khas Gus Dur dalam judul lagu itu jelas mewakili kepribadian sosok Guru Bangsa yang tidak pernah "grusah-grusuh" dalam menghadapi suatu persoalan, tentunya bukan urusan kecil saja bahkan sampai lingkup negara.

Sekilas, ucapan tersebut terlihat enteng dan sepele. Namun dibalik itu, penelitian mahasiswa Harvard menyebutkan ada dua filosofi mendalam. Pertama ketauhidan, dimana Gus Dur yakin bahwa Tuhan akan memberi jalan keluar setiap adanya persoalan. Kedua keikhlasan, Gus Dur meyakini bahwa sesuatu akan terjadi atas kehendak Ilahi. Disitu sangat terlihat kepribadian Sang Kyai sekaligus Presiden ke-4 RI, yang tak sembarang orang bisa menirunya, untuk selalu mengedapankan hati nurani daripada ego dan emosi.

Terlepas dari lagu itu, setiap lirik didalamnya kaya akan makna dan cukup menarik untuk diulas dari bait pertama sampai ujungnya. Membela minoritas menjunjung toleransi, lirik pertama yang membuat semua orang tau, bahwa lagu itu melekat pada Gus Dur. Mengingat Gus Dur pernah mendapat penghargaan dari Mebal Valor Los Angeles, karena dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas, salah satunya membela umat Kong Hu Cu di Indonesia untuk memperoleh hak-haknya yang sempat terpasung di era sebelumnya. Gus Dur juga dinobatkan sebagai "Bapak Tionghoa" oleh beberapa tokoh Tinghoa Semarang di Klenteng Tay Kak Sie pada tahun 2004.

"Hanya orang bijaksana, yang berani berkata, bahwa Tuhan tidak perlu dibela, karena Dia Yang Maha Kuasa". Sepotong bait ini mengingatkan kembali akan pemikiran Gus Dur yang tertuang dalam berbagai tulisan kemudian dijadikan satu dalam buku. Tulisan-tulisan yang terbit sejak 1970an tapi masih relevan digunakan sampai sekarang. Gus Dur dari jauh hari sudah berpesan bahwa "Allah itu Maha Besar. Ia tidak memerlukan pembuktian akan kebesaranNya. Ia Maha Besar karena Ia ada. Apapun yang diperbuat orang atas diriNya, sama sekali tidak berpengaruh atas kekuasaanNya".

Ataupun fenomena umat tertentu yang melakukan pembuktian keimanan dengan cara arogan dalam tulisan "Mengapa Mereka Marah". Gus Dur tidak menyebutkan bahwa itu sesuatu yang salah, beliau hanya mengajak berpikir apakah tidak ada cara lain yang solutif untuk maslahat tanpa harus menyalahkan antar umat. Tidak hanya masalah Islam, namun bagaimana agama bisa berjalan beriringan dengan modernisasi sehingga mampu menyelesaikan persoalan apapun secara manusiawi dan tercapainya masyarakat madani.

Sebagai tokoh yang peduli terhadap persoalan Hak Asasi Manusia, Gus Dur juga memperoleh penghargaan dari Simon Wiesenthal Center, sebuah yayasan kemanusiaan di Los Angeles. Maka wajar jika Marzuki memasukkan bait ini, "jihadmu lebih akbar dari bom bunuh diri, karena kau adalah humanis sejati".

Pada era pemerintahannya, Gus Dur meminta agar Departemen Agama bekerja secara adil dan bijaksana dengan memerhatikan semua elemen masyarakat. Dengan penekanan bahwa semua umat beragama mempunyai kebebasan untuk berekspresi sesuai dengan keyakinannya. Ya karena itulah sebenarnya cita-cita Gus Dur, dalam buku  Kehidupan Umat Beragama dalam Cita-cita Gus Dur, Djohan Effendi memaparkan "Gus Dur mendambakan kehidupan beragama yang ramah. Masing-masing umat beragama meyakini kebenaran agama yang mereka anut, sebab hanya dalam keyakinan yang tulus terletak makna keberagaman yang hakiki, tetapi pada saat yang sama mereka juga seyogianya menghormati orang lain untuk meyakini kebenaran agama yang mereka anut dan melaksanakan secara bebas".

Menurut Shofiyullah penulis buku K.H. Wahid Hasyim:Sejarah Pemikiran  dan Baktinya Bagi Agama dan Bangsa corak pemikiran Gus Dur tidak terlepas dari sosok ayahnya. K.H. Wahid Hasyim yang tampak banyak mengilhami pemikiran putra sulungnya. Mulai dari berpikir moderat, subtantif, dan inklusif hingga luasnya silaturahmi, baik dari kalangan Muslim, Non muslim, maupun Nasionalis. Secara tidak langsung Gus Dur dapat memahami akan sosok ayahnya sebagai tokoh besar yang welcome terhadap berbagai elemen masyarakat. Hal ini juga sepadan dengan lirik Marzuki "kalau aku jadi orang toleran, karena ayahku yang menjadi panutan. Kalau aku jadi orang rendah hati, karena ayahku yang menginspirasi".

Lain hal lagi ketika Gus Dur dianggap "liberal" karena pemikiran progresifnya oleh sebagian orang. Ya wajar, sejak muda sudah khatam berbagai buku ditambah kelanyahan ilmu agama. Belum lagi faktor pendidikan dan pengalaman selama studi di luar negeri yang membuat iklim cara berpikir Gus Dur lebih luas dan mendalam. Jejak langkah Gus Dur seperti memberikan arah kepada generasi selanjutnya agar sadar akan hakikat menjadi manusia seutuhnya, yakni "menyapa kawan, menyambangi lawan, silaturrahmi tanpa pandang golongan".

Beberapa ucapan, sikap ataupun gagasan Gus Dur hanya mencoba mengejawentahkan serta merekonsiliasi nilai-nilai local wisdom dan nilai Islami. Dimana hal itu jelas sebagai pembuktian Gus Dur sebagai Muslim Indonesia. Agama dalam kehidupan manusia memiliki fungsi yang sangat urgent, yakni sebagai sumber pijakan atau norma agar terciptanya keharmonisan. Keharmonisan yang dimaksud secara universal, baik dengan Tuhannya, sesama manusia maupun kepada alam semesta. Islam sebagai agama yang mengusung misi besar "rahmatan lil 'alamiin"  tidak membenarkan perilaku kekerasan dengan versi apapun, sejatinya jika masih ada tindak kekerasan itu bukanlah ajaran agama, namun karena "menuhankan amarah atas nama agama, ". Padahal di pertengahan Kitab Suci Al-Qur'an disebut dengan jelas satau kalimat dengan tanda tertentu "Walyatalattaf" artinya hendaklah bersikap lemah lembut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun