Idul Adha: Ujian Antara Cinta Kita Kepada Anak  dan Kepada Allah
Oleh Dikdik Sadikin
Dan ketika cinta itu kita letakkan lebih tinggi dari Tuhan, ia berhenti menjadi berkah. Ia menjadi belenggu.
ADA yang lebih berat dari menyembelih anak: yaitu menyembelih cinta itu sendiri.
Ibrahim tak diminta Tuhan untuk membunuh Ismail hanya karena Tuhan senang melihat darah. Tidak. Ibrahim diminta untuk melepas sesuatu yang paling dicintainya.Â
Dan dalam setiap cinta, selalu ada bahaya tersembunyi: ia bisa berubah menjadi berhala.
Idul Qurban bukan tentang kambing, bukan tentang sapi. Ia tentang apa yang paling enggan kita lepaskan. Harta? Mungkin. Tapi lebih sering: anak. Atau jabatan. Atau pasangan. Atau kebanggaan atas karya kita sendiri.
Di negeri ini, kita menyebut anak sebagai "anugerah Tuhan," tapi dalam praktiknya, kita perlakukan mereka sebagai proyeksi diri. Kita desain masa depan mereka dengan blueprint yang dibangun bukan atas panggilan mereka, tapi atas kegagalan dan penyesalan kita sendiri.
Dalam laporan World Values Survey 2023, Indonesia termasuk negara dengan skor tinggi dalam indeks "family-centered culture", tapi rendah dalam "individual autonomy". Di sinilah letak paradoks: cinta yang terlalu lekat bisa menjadi tirani.
Dan ketika cinta itu kita letakkan lebih tinggi dari Tuhan, ia berhenti menjadi berkah. Ia menjadi belenggu.
Bukankah ini juga terjadi di negeri lain, hanya dengan cara yang lebih tenang?
Di Jepang, misalnya, fenomena "karoshi" atau kematian karena kerja, sering terjadi karena orang tua terlalu menekan anaknya untuk sukses.Â