Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Idul Adha, Ujian antara Cinta Kita Kepada Anak dan Kepada Tuhan

6 Juni 2025   09:42 Diperbarui: 6 Juni 2025   21:04 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.



Idul Adha: Ujian Antara Cinta Kita Kepada Anak  dan Kepada Allah

Oleh Dikdik Sadikin

Dan ketika cinta itu kita letakkan lebih tinggi dari Tuhan, ia berhenti menjadi berkah. Ia menjadi belenggu.


ADA yang lebih berat dari menyembelih anak: yaitu menyembelih cinta itu sendiri.

Ibrahim tak diminta Tuhan untuk membunuh Ismail hanya karena Tuhan senang melihat darah. Tidak. Ibrahim diminta untuk melepas sesuatu yang paling dicintainya. 

Dan dalam setiap cinta, selalu ada bahaya tersembunyi: ia bisa berubah menjadi berhala.

Idul Qurban bukan tentang kambing, bukan tentang sapi. Ia tentang apa yang paling enggan kita lepaskan. Harta? Mungkin. Tapi lebih sering: anak. Atau jabatan. Atau pasangan. Atau kebanggaan atas karya kita sendiri.

Di negeri ini, kita menyebut anak sebagai "anugerah Tuhan," tapi dalam praktiknya, kita perlakukan mereka sebagai proyeksi diri. Kita desain masa depan mereka dengan blueprint yang dibangun bukan atas panggilan mereka, tapi atas kegagalan dan penyesalan kita sendiri.

Dalam laporan World Values Survey 2023, Indonesia termasuk negara dengan skor tinggi dalam indeks "family-centered culture", tapi rendah dalam "individual autonomy". Di sinilah letak paradoks: cinta yang terlalu lekat bisa menjadi tirani.

Dan ketika cinta itu kita letakkan lebih tinggi dari Tuhan, ia berhenti menjadi berkah. Ia menjadi belenggu.

Bukankah ini juga terjadi di negeri lain, hanya dengan cara yang lebih tenang?

Di Jepang, misalnya, fenomena "karoshi" atau kematian karena kerja, sering terjadi karena orang tua terlalu menekan anaknya untuk sukses. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun