Di saat konsumen beralih ke platform daring, saat logistik dan customer experience diubah oleh Shopee, Tokopedia, dan Instagram, Tupperware tetap nyaman dengan sistem distribusi lama, bertumpu pada jaringan penjualan tatap muka.
"Success breeds complacency. Complacency breeds failure. Only the paranoid survive." -- Andy Grove, mantan CEO Intel
TUPPERWARE bukan sekadar merek. Ia adalah simbol gaya hidup, simbol kepercayaan sebuah generasi ibu rumah tangga pada wadah yang menjanjikan kesegaran dan keawetan.Â
Berdiri sejak 1946, Tupperware membangun kepercayaan dengan kualitas, komunitas, dan cara distribusi yang revolusioner di zamannya: home party.
Namun, pada 2024, ikon ini runtuh di tanah kelahirannya, dan tak lama kemudian mengumumkan penghentian operasi di Indonesia. Banyak yang terkejut. Tapi bagi mereka yang akrab dengan konsep disruption, ini bukan kisah tiba-tiba.Â
Ini adalah pelajaran manajemen yang datang perlahan, menetes seperti kebocoran kecil yang diabaikan, hingga akhirnya menghancurkan kapal.
Disrupsi Tidak Datang dari Musuh Tradisional
Rhenald Kasali pernah menulis, "Disrupsi bukan hanya soal teknologi, tetapi perubahan pola pikir dan perilaku konsumen." Tupperware gagal membaca pergeseran itu. Di saat konsumen beralih ke platform daring, saat logistik dan customer experience diubah oleh Shopee, Tokopedia, dan Instagram, Tupperware tetap nyaman dengan sistem distribusi lama, bertumpu pada jaringan penjualan tatap muka.
Jeff Bezos menegaskan, "Your margin is my opportunity." Ketika Tupperware mempertahankan marjin tinggi lewat struktur multi-level marketing, para pesaing bermunculan dengan harga lebih efisien, model direct-to-consumer, dan akses satu klik di ponsel.
Inovasi Tak Lagi Cukup Tanpa Transformasi
Tupperware sesungguhnya bukan tanpa inovasi. Mereka pernah memperkenalkan produk tahan microwave, desain ergonomis, hingga kampanye ramah lingkungan.Â